Menyaksikan Reuni Liburan Afatar Dengan Getar Kerinduan
Reuni, siapakah yang menyangkal bisa menjadi tempat lepas berhaha hihi? Tak ada, Â saya yakin semua orang sepakat dengan hal ini. Bertemu kawan lama, bercerita tentang masa lalu, dengan kenakalan dan keseruan yang menyertai, Â menumbuhkan rasa muda kembali. Â
Itulah aura yang selalu saya dapatkan ketika bersua kawan. Keakraban, pelukan, tangis haru mengiringi dukungan yang senantiasa diberikan selalu saya dapatkan ketika bersua dengan mereka. Rasa ingin mengulang memori itu demikian kuatnya hingga tak terasa polah tingkah bisa kembali seperti jaman muda dulu. Lupa usia, tertawa, berfoto ria, Â lepas saja. Â
Padahal, telah jauh hari saya mempersiapkan diri untuk  mengikuti acara itu.  Didapuk menjadi MC sedianya.  Konsep dan script acara telah saya rancang dengan kawan, Copex,  Wawa, Inung. Kami telah menyepakati  itu semua untuk dieksekusi pada 15 Desember di Kediri. Basement Gedung Simpang Lima.Â
Monumen Simpang Lima Gumul atau biasa disingkat SLG, salah satu bangunan yang menjadi ikon Kabupaten Kediri replika Arc de Triomphe  Paris, Prancis.
Bungsu saya, Â dia adalah alasan terbelenggunya keinginan ini. Â Sedih, menangis tentu saja. Â Galau ini saya utarakan pada Copex dan Wawa sembari menunjukkan flyer panggilan tes beasiswa untuk anak saya. Â
" Aku gak datang gak papa ya. "
" Ngawur! "
" Lha trus yang ngurusi anakku sopo? "
" Kalau memang sangat penting dan tidak bisa di nego lagi, yo yok opo maneh, itu lebih wajib untuk diurusi," Tutur Copex putus asa. Â
Aku pun.  Tak ada pilihan, anak adalah prioritas.  Beasiswa itu saya inginkan untuk  kelanjutan pendidikannya. Mendapatkannya melewatkan seleksi ketat,  tinggal satu langkah pintu terbuka,  tidak mungkin saya lewatkan begitu saja. Â
Maka ketika hari H, grup WA Avatar saya pantau terus.  Keseruan itu, tawa ceria,  wajah- wajah kawan lama yang telah membersamai dalam suka dan duka mendebarkan jantung saya.  Ingin ini sungguh sangat.  Hadir di antara mereka. Kukatakan hal ini pada Inung,  Icon Avatar,  karib ketika kuliah dulu,  teman makan dalam keterbatasan keuangan. Yang sekarang  telah menjadi Profesor di salah satu PTN Surabaya.
" Dirimu tetap hadir di sini kok. Â I know. However we also understand with ur situation." Begitu dia menghibur saya.
Aku rindu,  tak terbantahkan itu. Hanya titik air mata hadir menyaksikan live streaming kegiatan  mereka. Libur akhir pekan yang menyenangkan sebetulnya  tapi saya melewatkan.  Mereka menikmati,  saya mengamati.  Duh  sedih hati ini. Â
Tetiba nostalgia masa lalu menyeruak. Beberapa di antaranya mengungkapkan, Mereka menuliskan kembali bagaimana kesulitan yang pernah mereka alami jaman kuliah dahulu. Â Ada yang harus jadi marbot masjid, Â bekerja serabutan, Â guru privat, Â buruh menulis tugas mahasiswa kaya dan seterusnya. Tulisan saya mengingatkan betapa merekapun tak mudah menjalani perkuliahan. Biaya, itu kendala utama. Â
Kini teman-teman saya itu sudah banyak yang jadi orang. Dari yang dahulu ketika mahasiswa mereka sering mengalami kesulitan keuangan, Â kini banyak diantara mereka yang berkecukupan. Jadi orang gedean, sukses finansial. Â
Termasuk saat saya berada dalam posisi terjepit secara finansial. Mereka mengulurkan tangan,  padahal  saya sekalipun tak pernah meminta.
Malu hati. Mereka masih menerima saya saja itu sudah membuat  saya bahagia kok. Saya bukan apa-apa, dibandingkan mereka.  Jadi, saya tak ingin lebih mempermalukan diri saya dengan meminta minta belas kasihan mereka.
Ternyata memang ada donasi khusus pada sahabat  yang kekurangan,  terutama terkait  pembiayaan pendidikan. Ini membuat saya terharu.  Menangis kala diberitahu mereka akan membantu biaya pendidikan anak saya.
Empati mereka, Â mampu menggetarkan hati ini. Doa-doa mengalun. Ada tangan ringan mengulurkan bantuan. Saya mengetuk pintu langit, Â untuk kebaikan yang telah mereka usahakan.
Masya Allah, Â barokallah. Â Hanya itu yang bisa saya ucapkan menyambut empati mereka. Â Tak kan saya lupakan. Â Untuk saat ini saya hanya bisa mendoakan mereka agar senantiasa dimudahkan pula hidup mereka oleh Allah subhanahuwata'ala.Â
Tak ada lain. Â Sambil berharap semoga suatu saat saya juga diberi jalan oleh Tuhan untuk bisa membalas kebaikan-kebaikan mereka. Â
Maka bertemanlah, bersahabatlah dengan siapa saja. Jangan buat jarak,  apalagi berselisih paham.  Karena satu musuh itu terasa sangat banyak, mampu menggelisahkan pikiran. Sedangkan  seribu teman serasa masih kurang, kekayaan yang tak bisa dinilai dengan uang. Bukankah demikian?
Anis Hidayatie, Â Untuk Afatar, Â untuk Kompasiana. Â Sembalun, Â LombokÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H