Begitu satu kalimat yang terus diulang-ulang oleh Ketua Jurusan anak saya di sebuah Perguruan Tinggi Negeri ketika saya mengajukan surat pemohonan penyesuaian UKT. Dia berkata begitu setelah  saya menyodorkan  surat permohonan ke hadapannya. Memohon keringanan biaya. Â
"Kenapa minta keringanan, dulu kan ketika mau kuliah sudah mengetahui  biaya yang akan dikeluarkan,  mestinya  ya harus  disiapkan. " Tuturnya menyambut  kedatangan  saya di meja ruangan.
Tetiba menggenang air di dua bola mata saya,  tercekat.  Mengingat  kembali bagaimana anak saya mau masuk kuliah dahulu.  Saat bapaknya masih ada. Dia dulu ikut menyetujui pendaftaran anaknya di perguruan tinggi ini. Waktu  itu kami setuju dengan  UKT,  Uang Kuliah Tunggal,  semacam SPP per semester yang ditetapkan pihak kampus.Â
Susah payah kami mencarikan biaya, Â cukup mahal untuk pasangan orang tua dengan profesi sebagai guru swasta seperti kami. Biaya awal kuliah sangatlah mahal, hutang menjadi pilihan akhir. Â Bersyukur ada yang bersedia memberi pinjaman. Hingga pada saat deadline pembayaran, biaya kuliah awal itu bisa terpenuhi. Â
Kegiatan sulung saya kuliah berjalan seperti  biasa. Dengan keterbatasan kemampuan kami membiayai, dia mengikuti perkuliahan. Biaya hidup, biaya kuliah demikian tingginya,  hingga kadang kami sering terengah mengirim sejumlah uang yang diminta.  Mengetahui demikian, sulung saya mulai berpikir mencari pekerjaan part time. Menjadi pelayan Kafe,  itu yang dia dapatkan pada mulanya.
Menangis sedih begitu mengetahui dia bekerja.  Siang kuliah,  malam bekerja di Kafe hingga dini hari. Sesuatu yang dahulu tidak pernah saya alami. Ya, dahulu untuk  kuliah,  ayah dan ibu saya memberikan apapun,  berapapun yang saya ajukan. Mereka hanya ingin saya berprestasi, tidak memikirkan yang lain,  apalagi biaya kuliah.
Berbalik dengan kondisi anak saya saat ini. Jangankan untuk living cost, untuk biaya kuliah resmi di kampusnya saja saya sering mencarikan terlebih dahulu. Begitupun dia masih bisa menunjukkan indeks Prestasi lumayan,  3.8. Lebih bagus sulung saya,  dibanding milik ibunya ketika kuliah dahulu, yang mentok di 3.6. Ada beda memang,  saya keranjingan kegiatan organisasi seperti  HMJ, Senat, penerbitan serta beberapa  kegiatan lain yang lumayan menyita waktu,  sementara dia full,  fokus kuliah dengan bekerja.
Dijalani hari-hari kuliahnya seperti itu setiap hari.  Tanpa keluhan, untuk biaya hidupnya  sudah tak lagi ada hambatan.  Kami hanya mencarikan biaya kost dan UKT saja serta beberapa hal lain yang dia katakan.  Bukan untuk kehidupan  sehari hari.
Kondisi  ini berjalan lancar sampai musibah itu datang,  ayahnya dipanggil ilahi Rabbi.  Satu penopang kehidupan saya hilang, duka tentu saja,  hampir saya tak igin apa apa.  Sampai kemudian kebutuhan membiayai dua buah hati kami menyadarkan saya untuk bangkit.  Saya tetap bekerja sebagai guru swasta,  dengan penghasilan kurang dari 1 juta rupiah, juga berjualan makanan dan minuman keliling, titipan tetangga.
Alhamdulillah,  ekonomi saya tercukupi . Untuk  makan sehari - hari dengan satu ibu mertua suami di rumah.  Satu hal yang menjadi  pikiran selalu datang yakni ketika harus tiba saat membayar biaya kuliah dan sekolah anak saya yang di pesantren.  Beberapa alternatif jalan keluar harus saya tempuh untuk hal itu,  termasuk meminta keringanan biaya ke lembaga anak- anak saya menempuh pendidikan.
Memohon penyesuaian UKT juga merupakan satu jalan yang saya tempuh untuk membiayai sulung saya.  Terpaksa saya lakukan,  mengingat penghasilan sulung saya tidak bisa memenuhi biaya UKT itu. Karena berbarengan dengan biaya KKN yang saat ini harus  dia tempuh. Â
" Dia sudah bekerja bapak,  hanya gajinya tidak cukup untuk  membayar UKT. " Begitu jawab saya pada sang Kajur.
"Di mana? "
Sebuah lembaga pendidikan saya sebutkan beserta profesi terakhirnya sebagai tenaga tata usaha lepas. Tidak lagi  di Kafe, anak saya beralasan sulit melaksanakan shalat jamaah.  Satu pesan yang bapaknya dahulu sangat menekankan.
" Lalu ibu, Â bapak, Â bekerja sebagai apa? "
" Saya guru swasta, suami saya juga, Â hanya saja dia sudah tiada. " Lirih, Â parau saya menjawab.
Hening sejenak, Â sampai kemudian dia memaklumi. Â "Owh, Â bapaknya sudah meninggal ya. "
" Kalau menurut saya,  mahasiswa yang sudah niat kuliah,  dia harus berusaha memenuhi kebutuhan  biayanya.  Kalau perlu dengan  bekerja. Jangan jadi guru, apalagi swasta,  karena gajinya kecil.  Tidak akan cukup untuk biaya kuliah.  Jadi kuli bangunan, gajinya besar itu.  Sehari 100 ribu, dari situ dia bisa membiayai kuliah dan kehidupannya. Kalau jadi guru paling hanya 400 ribu. Itu yang selalu saya katakan pada mahasiswa jika mau bekerja sambil kuliah."
Terdiam, sambil membayangkan anak saya yang baru beberapa waktu lalu menjalani operasi tulang belakang akan bekerja sebaga kuli bangunan. Â Baiklah, Â saya menyetujui saran pak ketua jurusan itu. Â Bekerja sambil kuliah, Â itu mutlak dilakukan bila bukan dari orang tua berada. Â Tetapi untuk jenis pekerjaan biarlah mahasiswa tersebut yang memilih. Â Sesuai kemampuannya, sesuai kondisi yang dia hadapi saat ini. Â
Akhirnya rekom penurunan UKT saya dapatkan, Â meski hanya turun sedikit saja. Masih ada meja terakhir bertemu dekan. Mungkin hari ini akan saya lakukan. Dengan harapan bisa diturunkan lagi. Â Supaya wacana berhenti yang dikemukakan anak saya tidak terjadi.
Ditulis Anis Hidayatie, Â untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H