" Dia sudah bekerja bapak,  hanya gajinya tidak cukup untuk  membayar UKT. " Begitu jawab saya pada sang Kajur.
"Di mana? "
Sebuah lembaga pendidikan saya sebutkan beserta profesi terakhirnya sebagai tenaga tata usaha lepas. Tidak lagi  di Kafe, anak saya beralasan sulit melaksanakan shalat jamaah.  Satu pesan yang bapaknya dahulu sangat menekankan.
" Lalu ibu, Â bapak, Â bekerja sebagai apa? "
" Saya guru swasta, suami saya juga, Â hanya saja dia sudah tiada. " Lirih, Â parau saya menjawab.
Hening sejenak, Â sampai kemudian dia memaklumi. Â "Owh, Â bapaknya sudah meninggal ya. "
" Kalau menurut saya,  mahasiswa yang sudah niat kuliah,  dia harus berusaha memenuhi kebutuhan  biayanya.  Kalau perlu dengan  bekerja. Jangan jadi guru, apalagi swasta,  karena gajinya kecil.  Tidak akan cukup untuk biaya kuliah.  Jadi kuli bangunan, gajinya besar itu.  Sehari 100 ribu, dari situ dia bisa membiayai kuliah dan kehidupannya. Kalau jadi guru paling hanya 400 ribu. Itu yang selalu saya katakan pada mahasiswa jika mau bekerja sambil kuliah."
Terdiam, sambil membayangkan anak saya yang baru beberapa waktu lalu menjalani operasi tulang belakang akan bekerja sebaga kuli bangunan. Â Baiklah, Â saya menyetujui saran pak ketua jurusan itu. Â Bekerja sambil kuliah, Â itu mutlak dilakukan bila bukan dari orang tua berada. Â Tetapi untuk jenis pekerjaan biarlah mahasiswa tersebut yang memilih. Â Sesuai kemampuannya, sesuai kondisi yang dia hadapi saat ini. Â
Akhirnya rekom penurunan UKT saya dapatkan, Â meski hanya turun sedikit saja. Masih ada meja terakhir bertemu dekan. Mungkin hari ini akan saya lakukan. Dengan harapan bisa diturunkan lagi. Â Supaya wacana berhenti yang dikemukakan anak saya tidak terjadi.
Ditulis Anis Hidayatie, Â untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H