Maka,  entah darimana ide itu datang.  Beras itu kutanak,  kujadikan  nasi goreng,  kubungkus,  kujual seribuan.  Aku datang lebih awal, sekitar satu jam an sebelum bel masuk berbunyi. Tidak memakai  seragam  sekolah, baju harian dengan satu kresek hitam berisi kira-kira dua puluh nasi goreng bungkus. Â
Seorang murid mendatangiku,  salim, menyapa, " Tumben ibu ke sekolah  pagi,  eh itu apa bu? "
Malu sungguh awal mula, Â namun kuberanikan mengatakan pada muridku itu. "Ibu membawa bungkusan nasi goreng, seribuan saja. Kira kira laku apa tidak ya? "
" Laku bu, saya mau, Â teman- teman pasti mau pula. Â Saya beritahukan ke mereka ya bu. "
Secepat kilat bungkusan nasi goreng itu tandas,  mereka  suka,  maunya aku jualan terus begitu setiap hari.  Buat ganjal perut katanya,  karena kadang tak sempat sarapan. Â
Aku  bersyukur, bisa melewatkan hari itu tanpa kendala.  Segera pulang dengan belanjaan di tangan.  Beras untuk makan hari itu dan persediaan dijual esok hari,  juga tempe andalan sebagai lauk pelengkap makan. Bahagia,  satu aral kulewati. Ada harapan bisa makan untuk hari itu, juga esok hari,  dan esok esok lagi. Â
Sebagai guru,  aku masih bisa mengabdi,  semoga diberi keikhlasan memenuhi hati. Sebagai ibu dua lelaki,  aku diberi jalan Tuhan menghidupi tanpa harus mengorbankan jam mengajar yang menjadi kewajiban. Dua hal sederhana yang  kusyukuri hingga  kini. Â
Aku sungguh  mencintai profesiku sebagai guru. Tak pernah  berpikir  untuk  berhenti meski secara finansial penghasilan tidak mencukupi.  Karena aku percaya jalan lain dari Tuhan untukku mengais  rejeki akan diberikan tanpa harus meninggalkan siswaku,  temanku, pun civitas sekolahku.
Maka untuk  guru-guru dengan cerita nasi bungkus ini kusampaikan  salam hormat. Ingin sekali aku berbuat sesuatu  demi siswa seperti guru yang diceritakan mbak Leya. Mulia. Semoga suatu saat Tuhan memberiku kesempatan melakukan  itu pula.  Mungkin dalam bentuk lain,  dengan ruh yang sama,  untuk siswa agar semangat  belajarnya terjaga.
Sementara belum bisa seperti itu,  kulakukan yang kubisa,  tetap sebagai  guru yang masih memikirkan perutnya. Bagiku,  asal tidak meninggalkan kewajiban  mengajar. Itu tsah saja. Maka untuk  guru seperti aku,  jika ada.  Kusampaikan salam cinta hangat ingin berpelukan. Semoga Tuhan selalu memberi kita kemudahan jalan dalam kehidupan untuk tetap bisa mengajar.  Menjadi guru, menularkan ilmu, meski belum bisa sepenuhnya fokus mengabdi untuk anak-anak negeri ini.
Ditulis Anis Hidayatie, Â untuk Kompasiana, Pujon, Â 26/11/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H