Baru sekali, kejadian ini menimpa teman seperjuangan saya, sesama pegiat literasi. Gelar buku di jalanan yang biasa dilakukan komunitas Wahana Baca Pasuruan dihentikan petugas. Â
Kegiatan buka lapak buku itu adalah untuk menarik minat baca masyarakat yang sedang berlalu lalang  sekedar menengok atau membaca buku koleksi yang disediakan komunitas. Free, tidak ada biaya. Hanya ingin diampiri saja. Memberikan stimulus pada masyarakat tentang cinta membaca, salah satu dari ruh literasi.
Kegiatan itu rutin dilakukan, sukarela saja. Berbagi tugas sesuai kesempatan. Ugik dan Putra menjadi yang paling sering ikut menjaga. Laiknya kaki lima emperan mereka menggelar buku. Bedanya ada tulisan Gratis Baca. Siapapun boleh meminjam, dibaca di tempat atau dibawa pulang. Hanya dengan syarat mengisi presensi di buku  peminjaman.
Komunitas wahana baca itu memang menggunakan pedestarian GOR untuk menggelar lapaknya. Satpol merasa bahwa ini jalur pedestarian tidak boleh ada gelaran. Hanya boleh untuk pejalan kaki saja. Sementara pihak Wahana Baca berkeras ini untuk Literasi, harusnya ada ruang khusus di ruang publik. Sebagaimana aturan yang tertulis.
Fahrizal sang jurnalis radar Bromo menjelaskan, "Soalnya kita pake jalur pedestrian. Buat orang jalan. Mungkin kita bisa pake taman. Untuk pedagang di bolehkan. Karena sementara aturannya boleh berjualan dimana aja, asalkan bukan pedestrian, bukan di alun-alunkota, dan terminal wisata."
Ada yang menyarankan, untuk menggeser satu langkah ke samping kanan. Hingga kemudian Mas Ugik sang Panglima Wahana Baca lalu memberitakan dengan bahagia, "Oyi lapak lanjut. Monggo hadir. Sini sini ke GOR dulu."
Sepakat, saya rasa komunikasi ramah memang perlu dikedepankan. Karena kalau tidak hal ini bisa membunuh spirit literasi pada kaum muda yang telah berjuang konsisten dengan susah payah.