Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ojin (Bagian 3)

27 Agustus 2019   08:05 Diperbarui: 27 Agustus 2019   08:20 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit diatas daerah Dotondori gelap gulita, tak satu bintang di sana. Ada mendung menggantung, dengan udara dingin menggigit kulit. Jaket yang kupakai rupanya tak cukup tebal untuk mengusir dingin malam di jalanan Dotondori.

Bertemu teman lama, Lilian dan Emma, dua sahabat dari Belanda yang sedang ada tugas di Osaka. Siang tadi dia menelpon, mengajakku jalan-jalan menyusuri sebagian Osaka. Maka kuusulkan daerah Dotondori ini untuk dinikmati. Mereka setuju. Kupilih satu tempat di pinggir sungai untuk menikmati Shake malam ini, sembari mengusir dingin yang tak jua pergi.

Langit kelam bukan berarti tak ada cahaya, benderang lampu jalanan dan pijar yang dipantulkan dari gedung pencakar langit di sepanjang jalan Dotondori menimbulkan suasana terang., Tidak seperti siang memang, tapi sangat cukup bila untuk memandikan seluruh penghuni Dotondori dengan cahaya. Hingga malam hampir berakhir manusia-manusia yang menjadi bagian dari penikmat keindahan malam masih saja ada.

Kami pun, canda tawa tak ada habisnya, bergelas sake kami habiskan hingga hampir fajar. Satu pertanyaan Emma, membuatku mengakhiri tegukan minum.

" Ojin, kenapa kau tak menikah? Kau hampir 40 loh. Apa mau ngikutin pameo. Life begin at fourty?"

" Haha, yes Ojin menikahlah. Enak loh."

Dua sahabatku itu betul, usia terus merangkak, tak sadar hampir memasuki gerbang 40. Mereka hafal karena setiap ulang tahun tiba kami selalu bertukar ucapan. Mereka, Lilian dan Emma, sahabat dekat ketika aku bermukim di Belanda 5 tahun yang lalu. Sudah menikah, aku kenal dengan suami keduanya, yang bekerja di kementerian pariwisata pula. 

Mereka datang ke Osaka ini bersama suami mereka, tapi kali ini tidak diajak menemuiku, karena harus menghadiri meeting dengan orang penting lain di kota ini. Makanya Emma dan Lilian dibebaskan untuk menikmati jalan- jalan berdua saja, dan aku mereka pilih untuk menemani. 

Cipika cipiki mengakhiri pertemuanku dengan Emma dan Lilian, kembali ke apartemen dalam keadaan terhuyung. Tetiba ada yang menyesakkan dada. Mulanya batuk biasa, lalu menjadi makin sering. Sungguh tak nyaman. Satu gelas air putih kuhabiskan. Masih terbatuk. Ouh, dadaku panas. Mataku berkunang-kunang. Kurasakan kepalaku pening, demam. 

Ann, kuhubungi Ann, di Indonesia sudah pukul 10 pagi kuperkirakan, pasti dia tak keberatan. Langsung kutelpon.

" Assalamualaikum." Aku, menyapa demikian, karena kutahu dengan kata itu dia pasti menjawab.

" Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Ada apa Ojin?"
Suaranya, oh sungguh kurindu.
" Honey, aku sakit, badanku demam."

" Coba minum air putih hangat ya, jangan lupa makan, terus istirahat, kalau masih berlanjut, bawa ke dokter."

Ann mengatakan dengan lembut, membelai telinga. Sejurus aku ingat, dia benar,  aku lupa makan,  hanya menghabiskan bergelas-gelas sake non alkohol semalam. Mungkin ini yang membuatku sakit.

" Iya sayang, akan kulakukan. Kau sedang apa?"

" Ish, masih pakai sayang pula. Aku sedang meliput lomba panjat pinang ini. Maaf ya, kalau berisik."

" Iya, tak apa. Lanjutkanlah. Good luck. Assalamualaikum."

" Wa alaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh."

Kulaksanakan semua sarannya, mencoba tidur, tetap tak bisa. Malah ada darah di batukku. Harus ke dokter berarti. Satu vonis sakit mengharuskanku opname. Typus, begitu kata dokter. Kesendirian menumbuhkan sunyi yang sangat. Temanku sibuk bekerja semua, meminta tolong mereka sama dengan mencuri jam kerjanya. Aku tak mau itu. Situasi ini membuatku rindu pulang sangat. Di Indonesia ada keluarga, Ibu. Ah, tentu dia akan merawatku. Dan Ann, andai dia sudah jadi istriku.

Sekelumit rintik menggenang di dua bola mata, kali ini rumahku dengan belai ibu teramat kunanti. Maka kutengok gawai,  melihat email, berharap semoga ada balasan dari konsulat, untuk aku bisa pulang tanggal  25. Belum ada balasan. Ini buatku gelisah. Mengapakah, terasa lama urusan perizinan ini bagiku.

Gelisah ini makin bertambah saat kutatap penanggalan gawai, 24 Agustus dan aku masih berkutat dengan sakit typus ini. Kalau izin keluar, secepatnya aku mau pesan tiket. Namun sakit ini, duh sungguh aku seperti dipenjara dilema. Antara menyembuhkan sakit dahulu dan keinginan pulang yang menggebu.
Terus terang kukatakan hal ini pada dokter, untuk mempercepat penanganan.

" Please help me, aku harus segera keluar dari rumah sakit ini dokter."

" Okey, kita lihat perkembangan hari ini ya, kalau tidak ada masalah hari ini pula Ojin San bisa pulang."

Jawaban dokter itu sungguh melegakanku, masih ada kesempatan.

Kutatap lagi gawai di tangan, ada wajah Ann tersenyum manis di wallpaper. Mengundang hasrat besar untuk kembali ke Pasuruan, Indonesia. Sampai kemudian terdengar notifikasi berbunyi. Penanda pesan masuk melalui email. Benar, dari konsulat, segera kubuka , kubaca, isinya membuatku terpana.

(Bersambung)

Pujon, 27 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun