Halal bihalal menjadi ritual yang lazim dalam masyarakat kita, menjadi budaya, menjadi tradisi yang terus mengakar. Pola dan cara merayakannya sesuai perkembangan zaman. Mulai dari sekedar anjangsana, selamatan, hingga dibuat panggung besar untukperayaan. Dengan satu inti yang sama yakni merayakan lebaran dengan maaf memaafkan.
Tradisi ini bergulir hingga kini, pergeseran nilai budaya akibat perubahan zaman tak membuat spirit orang bersilaturahmi saat lebaran surut. Ini bisa dilihat dari tradisi mudik yang terus berlanjut dari tahun ke tahun, dengan pilihan transportasi yang makin beragam. Udara, darat, laut, sungai semua ramai dijadikan tempat lewat menuju kampung halaman.
Halnya di kota, ternyata pulang mudik tak membuat masyarakat kota mengenyahkan begitu saja tradisi silaturahmi ini. Bertamu ke tetangga,ke rumah yang dituakan atau ke rumah tokoh masyarakat setempat menjadi agenda yang dipupuk hingga sekarang. Seperti yang diceritakan sahabat saya Tatik. 13 Juni lalu dia bersama teman organisasi di kediamannya yang termasuk kota yakni di kawasan Depok Jabar berkesempatan mengunjungi Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Sepulang mudik, anggota fatayat setempat merencanakan acara jalan-jalan halal bi halal dengan salah satu tujuan utama rumah perempuan yang pernah menjadi ibu negara itu. Untuk silaturahmi, salim, salaman.
Pada penulis mbak Tatik mengaku bahagia bisa bertemu bu Sinta, "Saya bahagia melihat kesederhanaan dan kelembutan juga humorisnya beliau, ibu Sinta menyambut seluruh tamunya dengan senyum khasnya yang penuh keramahan."
Satu pesan dari Bu Sinta yang tak dilupakan yakni tentang silaturahmi. Kehidupan kota, kesibukan beliau dalam berbagai acara ternyata tak membuat beliau menjadi 'orang kota'. Ciri khas Nahdiyin -sebutan untuk warga NU- yang suku kumpul, jagongan, selamatan beliau apreasiasi. Â Bahkan tentang tradisi silaturahmi lebaran ini, bu Sinta sangat menyukai. Hingga ada pesan khusus tentang ini, "Â Tetap jaga ukhuwah, serta upayakan melestarikan budaya silaturrahmi untuk tetap abadi terutama di Hari Idul Fitri."
Untuk diketahui menurut Wikipedia, Dra. Hj. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum lahir di Jombang, 8 Maret 1948 adalah istri dari Presiden Indonesia keempatAbdurrahman Wahid. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia keempat dari tahun 1999 hingga tahun 2001.
Pada tahun 1992, Sinta menjadi korban kecelakaan mobil yang melumpuhkan separuh tubuhnya. Ia menjalani terapi fisik selama satu tahun agar dapat menggerakkan lengannya.
Sejak suaminya dimakzulkan, Sinta menjadi aktivis pendukung Islam moderat. Ia memulai tradisi buka puasa lintas agama pada bulan Ramadhan. Dianugerahi gelar 'Ibu Bangsa' oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada tahun 2018.
Ibu dari Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah Chofsoh ( Yenni Wakhid ), Anita Hayatunnufus serta Inayah Wulandari ini sampai saat ini dikenal pula sebagai aktifis perempuan. Sebagai buah dari ghirrah keilmuannya di bidang Kajian Perempuan Universitas Indonesia saat menempuh S2.
Intelek, berpendidikan tinggi, itu semua tak membuat Bu Sinta menjadi perempuan yang menarik diri dari pergaulan. Keramahan ditampakkan, sungging senyum selalu dikembangkan. Menyambut tamu, memberikan kehangatan pada yang bertandang. Inilah wujud keindahan.