Sudah puluhan tahun tradisi dalam keluarga suami saya ini berjalan. Berkumpul dengan keluarga, di sebuah rumah tangga secara bergantian. Sungkem, salim, jabat tangan mewarnai perhelatan yang kami sebut sebagai pertemuan keluarga Bani Jamil. Secara keturunan mbah Jamil -begitu kami biasa memanggil- hadir semua di situ.
Anak, cucu, cicit tak terkecuali. Hampir seratus orang hitungan jumlah keluarga Bani Jamil ini. Ada yang lahir, ada yang meninggal, semua kami perhatikan. Mengadakan tahlil dan berkirim doa pada yang tlah tiada pun mengenalkan anggota keluarga baru, bila ada yang menikah atau melahirkan. " Ben Gak Kepaten Obor". Supaya tak putus hubungan keluarga. Begitu alasan yang pernah kudengar dari para sesepuh.
Maka untuk acara seperti ini sesepuh selalu kami prioritaskan, kehadiran mereka adalah magnet yang mampu membuat anggota Bani Jamil meminggirkan banyak alasan untuk datang.Â
Agar mendapatkan doa dari sesepuh itu tujuan kedatangan kami. Syukur masih banyak yang hidup, sehat dan kuat. Saksi sejarah berbagai generasi, para pinisepuh itu rerata terlahir sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, ada banyak cerita yang bisa kami dengar tentang orang tua kami pun masa yang menyertainya.
Mendengar kisah mereka tentang sebuah zaman yang tak saya alami merupakan keasyikan tersendiri. Zaman perjuangan, dimana Kakek kami, Mbah Jamil juga seorang pejuang, bagaimana istri bersama anak mendampingi adalah cerita yang selalu saya tularkan kepada anak-anak saya penuh kebanggaan.Â
Lalu berturut kisah anak turun mbah Jamil yang saya memanggil mereka dengan sebutan pakde atau bude saya simak secara khusuk. Penuturan mereka tentang bagaimana mengasuh anak-anak hingga menjadi 'orang' menjadi referensi pengalaman yang bisa saya terapkan dalam mendidik anak-anak saya.
Mengutamakan pendidikan, mengasuh dengan kasih sayang. Itu yang saya dapatkan ketika mendengar kisah mereka, pun kisah dari anak-anak mereka tentang cara para sepuh itu mengasuh buah hatinya. Sabar, menjaga kata-kata itu salah satu yang membuat anak anaknya jadi orang. Semenjengkelkan apapun sang anak tak ada sedikitpun umpatan.Â
Tetap senyum dengan doa dipanjatkan. Sebutan nakal atau mbethik untuk menilai perilaku sang anak tak saya dengar. Telaten, mereka mencontohkan kalimat menyejukkan pendengaran. " Sini sayang, anak pinter kok."
Mengagumkan, amarah, jengkel, emosi ditahan dengan cara yang elegan, pantaslah jika anak anak mereka sukses menjadi orang. Ini bukan tentang jadi orang besar, berkuasa, atau kaya raya.Â
Namun ketaatan buah hati dan keturunannya kepada orang tua dan menjalankan syari'at agama itu yang saya dapatkan pelajaran darinya. Bukankah hanya doa dari sang pewaris yang mampu menyelamatkan kita ketika menghadap sang kuasa?
Pada para sesepuh itu saya banyak mengambil hikmah tentang cara mengatasi onak dan duri kehidupan. Kesabaran, keikhlasan adalah modal dasar memperjuangkan harapan.Â
Dengan satu-satunya senjata paling ampuh yang menjadi pegangan, yakni DOA. Ya, sebelum apapun dilakukan, Â setelah usai segala upaya diusahakan, doa menjadi pengiring yang tak pernah terlupakan. Selalu ada doa dalam ucapan dan hati mereka, tak pernah putus.
Inilah yang memikat saya untuk selalu datang ke pertemuan keluarga ini. Walau tak ada lagi belahan hati. Kami tetap diakui sebagai bagian dari keluarga. Hingga tercetuslah ide dalam kepala saya, untuk mendokumentasikan kiprah sesepuh itu sebagai orang tua beserta doa-doanya, dalam sebuah buku.
Saya wacanakan para sepuh itu untuk menuliskan kisah, atau biar para muda yang mencatatnya berdasarkan penuturan mereka, Â tentu dengan doa yang selalu terkulum untuk anak turun semua, ditulis, dicatat. Agar kami bisa belajar, meneladani cara mereka mendidik anak-anak peninggalan yang telah berpulang.
Pula, agar kami bisa mengenal keluarga baru, baik melalui pernikahan maupun kelahiran, saya tawarkan ide membuat tulisan tentang para keluarga itu.Â
Satu kepala keluarga satu cerita, berisi narasi atau deskripsi tentang keluarga mereka. Bersambut, harapan saya tahun depan buku itu telah bisa kami miliki, saat pertemuan keluarga di tahun berikutnya.
Satu harapan saya panjatkan, tetap bisa mencium tangan para sepuh itu. Yang doa doanya sungguh ampuh. Tak ada penghalang dari panjatan yang dipintakan dari ucapan mereka, terlebih untuk anak-anaknya.Â
Saling mendoakan, senyampang nyawa masih dikandung badan. Untuk itulah saya datang, berharap doa, dari pengucapan yang tulus ikhlas, agar Tuhan jadikan hidup kami dipenuhi kebaikan, Â baik ketika menjalani sunnatullah sebagai hamba, maupun kelak bila tiba masa kami berpulang. Menutup mata selamanya, menghadap Sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H