Dahulu, sekira satu semester yang lalu, lelaki muda itu menarikku masuk ke dalam pusaran melenakan diri. Digulung rasa entah yang melupakan identitas diri, kuikuti saja tawar kedekatannya.
Mengabaikan keharusan menjaga gelar bahwa aku adalah perempuan baik-baik yang tak seharusnya menerima keakraban selain pertemanan.Â
Dia tetiba merasuki imajinasi, menghancurkan logika berpikir seorang wanita hampir senja yang harusnya melewatkan masa sendiri saja. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba hadirnya, Â lelaki muda dengan tubuh menjulang tinggi dan tatap mata tajam itu kurindukan.
Kupanggil adek karena usianya yang pantas untuk itu, tetapi syarat yang diajukannya  begitu menggelikan. " Boleh panggil adek asal dengan satu syarat, kakak mengizinkan adek ini memilikimu seutuhnya. Kita halalkan hubungan ini."
Sungguh, ini mengagetkan, tak tahu rupa sesungguhnya, tak kenal latar belakang juga. Mengapa tetiba ada penawaran begitu? Mestinya aku marah karena sikap kurang ajar itu.Â
Namun keyakinan bahwa dia bersungguh-sungguh membuatku hilang marah. Yang ada rasa hangat yang kutak tahu ini apa. Berbunga, bercengkerama dengannya menjadi sesuatu yang istimewa.
Halal, satu kata yang perlu pembuktian, bukan hanya omongan dan janji semata. Aku terlena, tak waspada, ini bisa jadi rayuan semata. Lelaki, punya seribu cara mendapatkan tubuh wanita. Meskipun seolah cinta menjadi satu-satunya alasan melakukan pendekatan.
" Kan kuhalalkan hubungan kita. Menikah. Segera, kau mau kan?"
" Sungguhkah penawaranmu itu? Apa sudah kau pikirkan masak-masak? Aku lebih pantas menjadi kakakmu, bukan istrimu."
Tersipu, seperti menolak tapi setuju.