Melakukan perjalanan mudik naik Kereta Api baru pertama kali saya alami. Tadi sore saya berniat pulang ke Malang dari rumah ibu saya di kota Bangil Pasuruan. Seperti biasa, rencana beli tiket dulu supaya dapat tempat duduk. Tiket ini bisa dipesan sejak pukul 9 sampai pukul 4 sore.Â
Mulanya saya tak mengerti ketika petugas hanya meminta saya menyerahkan KTP untuk dicek, baru ngeh saat petugas loket menyerahkan struk tiket yang berbunyi Rp. 0.
Berkah Ramadhan, uang itu bisa dipakai untuk membeli makanan berbuka puasa, atau keperluannya lainnya, misal beli paketan untuk menayangkan tulisan di Kompasiana.
Yakni Tumapel, Â Penataran, Tawang Argo dan Probowangi. Kelas ekonomi saja, tidak menyentuh kelas di atasnya. Secara kelas ini tiketnya paling murah dan penggunanya juga masyarakat kebanyakan seperti saya, yang merasa sangat bahagia ketika mendapat tiket gratis. Sedekah yang tepat sasaran, bukan untuk hurang kaya gitu loh.
Ini menyenangkan tentu saja, masih ada persiapan untuk perjalanan hari hari ke depan. Untuk pemesanan tiket pagi sampai sore hari rata-rata telah sold out, habis, yang masih tersisa cukup banyak yakni untuk perjalanan malam.
Terus terang saya agak kurang suka berdiri, resiko kena senggol lalu lalang orang besar sekali. Itu buat saya tak nyaman, secara badan saya kurus kecil, kalau terkena senggolan, apalagi sama yang tampan, mudah oleh. Hehe
Melewatkan perjalanan malam hari membuat suasana kereta api sunyi, jarang terdengar perbincangan seperti bila melakukan perjalanan siang. Anak anak banyak tlah tertidur, demikian pula orang dewasa, yang masih bangun lebih sibuk dengan gawainya.Â
Halnya saya, keinginan menulis tertunda gegara mata yang mulai sepat, akhirnya gawai saya matikan sembari mengisi baterai menggunakan aliran listrik yang tersedia di tiap area tempat duduk.
Tiket gratis menyenangkan memang, tapi kalau harus mengalami nasib tidak turun di tempat tujuan, ini bakal menyedihkan.Maka, saya bergegas turun, melewati pintu keluar, penumpang yang berhambur turun, satu persatu telah hilang dari pandangan, ada yang dijemput saudaranya, atau naik kendaraan online yang mereka pesan. Saya masih menanti sulung saya menjemput, maka duduk di bantaran taman menjadi pilihan.Â
Tempat duduk yang biasanya saya pergunakan menunggu di pintu masuk telah tertuyup rapat. Penanda ini kereta terakhir yang lewat. Waktunya istirahat.
Suka dan duka suasana mudik