Menyunting Air Mata
Tlah purna bahagia kucecapi bersama, baju senyum, rekah tawa tak henti kunikmati mengiring tiap tarikan nafas yang kupunya. Tiada murung kuhadirkan pun tekuk muka kala jiwa kita masih sempurna.
Lalu kau pamitan, menuju pemanggilmu pulang, dari persinggahan sementara di rumah kita. Istana dunia yang kuhiasi dengan cinta, yang ramai dengan buah kasih kita. Jiwaku tak lagi sempurna. Tinggal separuh saja.
Maka buliran ini menutup saujana, dirundung duka, lara, nestapa awalnya, air mata itu penanda duka karena nyawaku tinggal separuh saja. Mata air tangis ini tak pernah habis, hingga jadi pemandangan indah, bak mutiara jatuh kilaunya.
Waktu berhasil menggerus duka cita, kenangan peninggalan, kobar semangat wujudkan pesan, menjadi bara yang tak pernah padam apinya. Melangkah, berlari, kulalui sepenuh hati, walau kadang tertatih langkah, tersandung onak duri, bahkan darah nanah memenuhi telapak kaki ini. Kunikmati.
Untuk semua yang kulewati tanpamu, kujejakkan air mata. Bukan hanya kala duka, derita, menerpa, pun saat desir bahagia kurasa. Lihatlah buah cinta kita, dia jadi seperti yang kau cita, kuderaikan tirta dari bening netra untuk itu semua. Karena aku telah menyunting air mata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H