Tinggal satu lagu harus kumenari ikuti alunan musiknya, gemulai dalam pilu menahan sakit tak terperi. Satu sesi tari wajib kuselesaikan. Mata-mata nyalang memelototi tubuhku. Satu persatu memamerkan lembaran merah atau biru. Lelang ini belum diketukkan palu.Â
Maka aku harus menari lagi. Mamih memintaku dengan kerdipan. Dua lagi irama lagu harus kugoyangkan badan. Dia tak mau tahu betapa sakit kaki ini setelah siang tadi terantuk duri. Gegara lari dari kejaran kakak yang sengaja kutemui.
Ingin kutitipkan beberapa lembar padanya untuk ibu yang kudengar kabar sakit badan karena memikirkanku. Lewat lembar itu aku ingin berkabar, anakmu ini tlah mampu berdiri tak perlu susah mencarikan sesuap nasi.Â
Kakak memaksaku mengajak pulang. Tak kuhiraukan. Bagiku terpenting ada segepok uang. Matanya merah padam. Katanya tak perlu lembaran ini. Ibu hanya ingin dirimu. Makin keras, lantang, suara diteriakkan. " Ayo Pulang!"
Ketakutan, aku tak mau ikut pulang. Jalan cepat kutinggalkan kakak sendirin. Tak kuhiraukan terik panggilnya. Berlari, lupa sedang memakai sendal hak tinggi. Jatuh, tersungkur, ngilu di kaki. Pun saat dipakai menari.
Sakit sungguh, apa daya dilarang mengeluh. Liukan harus dilakukan demi kobaran sahwat menantang. Sedikit pelan gerakan, mata mamih melotot mau keluar. Makin kuhentak gerakanku, tak kepedulikan sakit menjalar di sekujur tubuh.Â
Melayang angan mengingat betapa kakak pasti menggendongku bila terjatuh, membopong bila lunglai tubuh. Ibu, dia akan mengusap sakitku. Meniup ubun-ubun agar lupa pada laraku.Â
Musik makin keras, tak kurasakan lagi sakit sekujur badan. Sepertinya aku terbang, ringan. Dalam igauan terkapar kubisikkan. " Kakak Ajak Aku Pulang."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H