Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siswa Berani pada Guru, Salah Siapa?

14 Februari 2019   17:03 Diperbarui: 14 Februari 2019   17:25 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siswa berani pada guru. Itu sudah menjadi berita sejak beberapa tahun lalu. Masih teringat di pelupuk mata. Berita siswa menganiaya guru didukung orang tua yang berprofesi tentara di Sidoarjo. Ada pula guru seni di tantang duel muridnya sendiri, berujung maut karena sang guru enggan melayani di tanah Madura. Dan beberapa berita lain dari belahan bumi Indonesia. Terkini, beberapa minggu ini terulang kembali viral video siswa berani dengan guru. Pada video seorang siswa meneriaki guru dan menarik krah baju gurunya.  Tepatnya kejadian ini diwilayah kab. Gresik.

Siapa yang salah? Orang tua, murid atau guru? Menurut saya yang salah adalah pelaku. Terlepas dia guru atau murid atau orang tua murid.  Maka bila ada yang melakukan kekerasan. Siapapun dia,  hukum harus berlaku. Tidak tebang pilih. Supaya ada efek jera. Supaya ada teladan bahwa mengedepankan ketahanan emosional itu juga sangat penting.

Bagaimanapun kekerasan fisik menunjukkan  rendahnya tingkat penguasaan kecerdasan emosional  kita. IQ, intelligence quotient,  yang tinggi tidak dibarengi dengan EQ, emotional quotient yang seimbang. Ujungnya kemampuan akademik menjadi tidak berarti manakala berhadapan dengan kasus yang memerlukan kecerdasan emosional dalam menangani. 

Yang muncul adalah sikap mudah marah. Terkena gesekan sedikit saja langsung merah muka. Tersenggol badan sudah menimbulkan tantangan. Tatapan biasa dianggap melotot ajak adu otot. Ini bukti lemahnya penanaman cinta kita pada sesama.

Sebagai pendidik bila cinta yang kita berikan pada siswa tak lagi berbalas, apa mau dikata? Saya yakin tak ada guru yang mengajar anaknya bertindak kekerasan. Mungkin bila ada guru yang melakukan kekerasan verbal atau fisik itu sangat kasuistik. Tidak bisa digebyah uyah. Tapi apakah lantas bila ada guru demikian harus ditantang, dihajar untuk memberikan pelajaran? 

Terus terang saya rindu dengan guru saya dulu. Siswa dipelototi sudah menunduk. Penghormatan kepada guru demikian tingginya. Sebagaimana tertuang dalam bait lagu

"Oh ibu dan ayah selamat pagi, kupergi sekolah sampai kan nanti. Selamat belajar nak penuh semangat, Rajinlah selalu tentu kau dapat. Hormati gurumu sayangi teman. Itulah tandanya kau murid budiman."

Pesan moral dalam lagu tersebut luar biasa. Terasa betul pesan cinta pada guru dan teman oleh orang tuanya. Tak ada kata " Balas! jika kau diganggu". Atau " Hancurkan jika kau disakiti". 

Yang terjadi sekarang ini sepertinya pendidikan karakter dengan rasa cinta telah terkontaminasi ke egoisan. Undang- undang perlindungan, baik terhadap guru maupun anak rupanya tidak cukup berperan meminimalkan tingkat kekerasan pada guru atau siswa. 

Baiklah ada HAM. Tapi itu malah menjadi senjata orang tua atau murid melakukan tuntutan. Dan guru, seringkali dihadapkan pada ketakutan terkena pasal bila melakukan pembelaan ketika mendapat kekerasan. Buah simalakama. Mau dilawan terkena aturan, tak dilawan babak belur sendiri. 

Terjadinya kekerasan menurut hemat saya bukan karena muatan pendidikan kita. Tetapi lebih kepada penanaman rasa cinta kita yang gagal pada anak. Kerjasama, membangun sinergi antara wali murid dan guru dalam lembaga pendidikan tidak bisa tidak harus dilakukan. Kesepakatan terhadap visi misi serta aturan yang akan kita berlakukan dalam mendidik siswa merupakan keniscayaan.

 Penanaman cinta sesama ini bukan hanya tanggung jawab guru tapi lebih dari itu juga orang tua. Dimana pendidikan rumah lebih banyak diterima dibandingkan sekolah. Mari lawan kekerasan di dunia pendidikan dengan cinta, tentu dengan segala piranti cinta yang melekat padanya. Menyebut nama  dalam do'a, bertutur dan bersikap pada semua elemen pendidikan dengan penuh cinta.  Bagaimana menurut anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun