Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggil Aku "Mas"

30 Januari 2019   06:18 Diperbarui: 30 Januari 2019   07:56 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Mendapatkan perhatian dari seseorang merupakan hal yang istimewa dalam hidupku, lelah dan sibuk sangat melupakan aku dari sentuhan debar rasa pada yang disebut rindu. Wanita matang yang masih menawan itu hadir lewat belai sajaknya, lewat untaian pesona kasih mesra. Hatiku tertawan,  tak ada keraguan. Kan kuajak dia melewati tapak tapak asmara yang mulai berpendar menyeruak di dada.

Perkenalan awal mampu membius pengetahuan bahwa dia lebih tua dariku. Tawarannya menjadi kakak saja tak kuhiraukan. Kupikir dia juga mempunyai debar kasmaran yang sama denganku. Maka tak ada alasan bagiku menarik diri dari pesona hasrat yang terus merambat ini.

Aku tak pandai berbasa basi, maka seketika kuutarakan niatku menjadikannya pasangan abadi. Mulanya dia menolak, ingin menjadi sahabat saja katanya, mengingat usianya yang lebih tua beberapa tahun dariku.

Pertautan rasa ini tak mau berhenti, pesona hati tak dapat kuhindari. Aku sungguh ingin memiliki. Maka kutawarkan padanya hubungan dengan ikatan. Supaya dia tahu aku tak ingin keindahan ini hanya menjadi candaan. " Maukah kau menjadi istriku?"

Senja jelang malam menjadi saksi, perjumpaan singkat kebetulan yang dilatari alasan berteduh dahulu menanti reda hujan membuatku meluncurkan begitu saja kalimat itu.

Di teras swalayan kukatakan hal itu, tak ada janji sebelumnya. Pemicunya hanya sebuah keingin tahuan sedang apa dia saat hujan deras begini. Maka kutanya dia, " Kakak sedang di mana?"

" Owh aku sedang di swalayan belanja." Perempuan yang minta kupanggil kakak itu menjawab tanyaku lewat chat WA.

"Hujan ini kak, deras pun, kakak sama siapa?" Kutanya dia.

" Aku sendirilah, mau sama siapa? Kau tahu aku hidup sendiri kan?"

Penjelasannya menghawatirkanku, hujan ini sungguh derasnya, ditingkahi angin kencang membuat hatiku takut dia akan basah dan kedinginan. Mengingat hanya sepeda motor yang dikendarainya.

" Tunggu aku ya kak. Aku akan datang menemani kakak."

" Hujan ini dek, tak apa aku sendiri, kan kutungu hingga hujan reda. Ada beranda nyaman di teras swalayan. Aku bisa habiskan waktuku di sana, sambil makan kudapan dan teh panas. Jangan khawatir ya?"

Jawabannya tak membuat rasa khawatirku surut. Segera kupesan taxi on line. Aku tak ingin basah juga karena hujan. Kubawa mantel hujan besar. Siapa tahu dia nanti bersedia kubonceng. Ini akan menyenangkan. Sedikit pikiran nakal mulai hadir di otak lelakiku.

Tak sampai sepuluh menit tlah sampai aku di hadapan wanita dewasa yang kupanggil kakak itu. Kulihat dua tangannya sedang memegang gelas plastik berisi minuman panas. Tentu itu adalah teh yang dibelinya di swalayan ini.

 Nampak bibirnya tak henti meniup teh panas itu. Memikat hatiku. Pemandangan ini telah memantik keinginan lain dari hatiku. Aku tak ingin hanya menjadi adek. Aku ingin memiliki bibir yang dipakai meniup itu.  Pun wajah teduh yang terheran menatapku datang.

" Loh, kau datang?" Takjub dia menyaksikanku muncul di hadapannya.

" Aku tak suka dipanggil kau." Bisikku setengah mendekatkan wajah padanya. Reflek mukanya mengelak kaget. Satu kursi kuseret, duduk tepat di dekatnya.

Terkesiap rona mukanya. Diletakkan gelas panas yang sedari tadi dipegangnya. Dua bola matanya menyiratkan keheranan.
" Kok? Kenapa, tak mengapa bukan memanggil  'kau' ? Ada masalah?"

" Jelas masalah,  mana ada istri memanggil suaminya dengan sebutan 'Kau'. Aku tak suka."


" Istri? Hehehe aku bukan istrimu kan?" Tergelak dia mendengar perkataanku.


" Iya istri. Panggil aku 'Mas' saja ya? Sebentar lagi kau akan menjadi istriku."
Berondongku dengan penjelasan yang membuat bibirnya terbuka. Terpana, tak ada kata- kata.

Ajakanku menikah tak dijawabnya. Heran, padahal aku tahu dia juga menyimpan rasa suka padaku. Apa ini terlalu cepat? Tapi bukankah katanya dia tak mau menjalin hubungan sembarangan? Cuma kencan dan pacaran?

Saat ini kutawarkan hubungan serius, menikah itu bukan main-main. Kok malah dia terdiam? Bukankah kedekatanku dengannya cukup menjadi alasan menerima? Apalagi yang dipikirkannya? Masak iya dia ingin seperti ABG yang mengawali hubungan dengan percakapan romantis. Mengumbar kata cinta. Memang tak pernah kukatakan cinta padanya. Tapi kupikir itu tak perlu. Kuyakin dia tahu maksudku.

Tak ada jawaban. Senyap. Sejurus kemudian dia berkata. " Emh, kupikir  duli nanti , sekarang aku mau pulang. Kalau tak keberatan, Mas bawa motorku yah. Aku mau pesan Taxi on line sekarang."

Wow..hatiku memekik kegirangan, dia memanggilku 'Mas'. Terasa mesra membelai telinga. Apakah ini pertanda dia mau menerima lamaranku?  Tanpa ba bi bu. Kuajak dia naik motornya saja, seperti rencanaku semula. " Aku tadi bawa mantel kok, kubonceng ya?"

" Oh tidak, aku tak mau, kita bukan mahram, tak baik duduk berdekatan begitu bukan? Aku takut ada setan yang membisikkan keinginan lanjutan." Sergah wanita yang baru kupinang itu menolak.

Duh, rencana berdua, beromantis ria dibawah mantel dan hujan nampaknya harus menemui kegagalan. Dia terlalu keukeh dengan prinsipnya. Perempuan langka, yang kutekadkan untuk mendapatkannya, menjadi pendamping hidupku selamanya.

Demi menyenangkannya, ku iyakan saja. Segera kusentuh bar Android. Memilih aplikasi. Memesan satu taxi untuk tujuan rumahnya. Dia tersenyum menatapku, seraya berkata." Terimakasih ya."

Aku tak tahu apakah ini isyarat dia menerima lamaran, atau hanya basa basi saja. Duh aku tak mengerti hati wanita. Baiknya nanti kutanyakan lagi  saja. Terserah bagaimana jawabannya. Yang penting ada kejelasan.  

Kedatangan taxi telah membawanya berlalu dari hadapanku. Segera kubawa motornya mengikuti taxi itu. Hujan deras dan angin kencang membawa hawa dingin sebetulnya. Tapi aku tak merasakannya. Kecamuk pikiran telah melupakan aku dari rasa dingin yang harus kutahan. Hanya satu pikiran menggelayuti kepala. Apakah dia akan menerima?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun