Karena Aroma Buku Tak Lekang Oleh Waktu
Malam Minggu kemarin menjadi torehan perdana sejarah hidupku, melewatkan waktu dengan muka muka bercahaya, dengan semangat hidup membara nan mampu menularkan aura indah yang menyeruak dalam dada. Santun dalam berbicara, terstruktur berkata kata, indah, ramah, damai suasana.
Ada undangan umum bagi para penikmat buku di kota Malang, Taqi, mahasiswa UM, Universitas Malang yang juga suka meresensi buku mengatakan akan ada pertemuan dengan para pecandu buku di sebuah Kafe yang sangat welcome bagi kutu buku. Di sana sering ada kumpul kumpul komunitas, atas nama pecinta buku. Dialektik Cafe. Customer diperbolehkan memakai ruang Kafenya hingga pukul 2 dinihari. Ini tentu saja menyenangkan, karena para pecandu buku itu biasanya tak pernah selesai membahas buku yang telah dibacanya.
Cerita Buku Booklicious nama komunitas yang di admini Taqi. Terdiri dari bermacam-macam profesi, mahasiswa, guru, pemusik, jurnalis, pengamen, dan entah apa lagi sebutan namanya. Yang jelas komunitas ini terhubung karena kesamaan minat. Kebetulan berpusat di kota Malang, tempat mayoritas anggota sedang bertempat tinggal. Jadi, Kami semua adalah pecandu buku.
Malam lepas isya, acara dibuka oleh Zia perempuan manis yang mempunyai kemampuan bahasa Inggris aktif itu  menyebutkan ada sebuah buku yang akan menjadi door prize dan bisa dibawa pulang oleh anggota yang beruntung. Buku, keberuntungan yang sungguh kami tunggu. Selanjutnya dia mempersilahkan hadirin untuk bercerita tentang masing masing buku yang dibawanya.
 Kali ini Kukuh sang pemain biola, sekaligus guru di sebuah SMK mengambil alih kendali suasana, dia baru saja selesai membaca buku tebal bertajuk Kosmos, karya Karl Sagan membahas asal mula alam raya hingga teori relativitas Darwin. Gaya penulisan populer membuat buku yang sangat tebal itu menjadi ringan untuk dibaca. Rekomendasinya menggiurkan juga. Kami jadi ingin pula ikut membaca. Buku jendela dunia, berkat buku kami jadi tahu banyak hal yang tak terpikirkan sebelumnya.
Begitulah, bergantian kami menceritakan isi buku yang telah kami baca. Halim  dengan 3 buku tebal yang di bawa meminta ditaruh di sesi akhir, jadilah Taqi yang menjadi giliran berikutnya sebelum Halim. Sebetulnya anggota komunitas ini mencapai 31 orang, hujan dan beberapa hal menjadi alasan mereka untuk tak datang. Meski demikian ada live streaming lewat Instagram, jadi anggota tetap bisa mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir.
Hanya aku satu-satunya yang menceritakan isi buku yang kutulis sendiri. Lebay,  seperti ingin promosi saja. Untunglah mereka tak keberatan, bahkan mengapresiasi. Ada 3 buku yang kubawa, 2 buku novel berjudul Salikah dan Negeri Somplak serta  1 buku esai karya bersamaku dengan Saifullah Syahid dan teman penulis lain bertema sosial spiritual.
Beberapa bukuku yang masih dalam projects pengerjaan kuceritakan pula. Untuk ini mereka meminta bulan depan dihadirkan, tertarik dengan konten yang kusajikan. Rencanaku  buku "Samuderaning Asmara" yang bernuansa Jawa serta "Buku Meniti Jalan Kembali" karya pemuisi Kompasiana, Ropingi, akan kubawa untuk pertemuan berikutnya.