Saya ingin berbagi cerita tentang desa masa kecil. Desa yang menyimpan sejuta kenangan indah bersama Almarhum Embah teman saya, Mbak Novie --Novelis asal Surabaya-- dan teman-teman masa lalunya di Desa Keongan, Semarang. Sebagai Oleh - oleh cerita usai menggelar workshop menulis dan launching buku di UDINUS bulan November 2018 silam.
Secara garis besar masih sama seperti yang teman saya mbak Novie, ingat saat kecil. Ketika turun dari bis di Terminal Bawen yang sudah kece banget, butuh waktu sekitar 20 menit berjalan kaki masuk ke dalam sebuah jalan masuk desa yang melegenda.
Bintangan. Ada banyak kisah mistis di sepanjang jalan bernama Bintangan, beberapa ratus meter panjangnya sebelum masuk ke desa Keongan. Di samping kanan-kiri terdapat ladang dan sawah terhampar luas. Cericit burung terbang mencari makan. Jeritan serangga memekakkan telinga. Di jalan selebar 3 meteran ini, cerita yang menghantui masa kecil terngiang.
Legenda setan usil yang bernama gundul pringis mengintai para warga yang tengah malam melintas. Hantu kepala yang terbahak-bahak mengejek penduduk apes yang kebetulan melibas sekat astral. Meskipun matahari masih gagah, melintasi jalan ini menyisakan merinding pada tengkuk.
Desa keongan tepat di penghujung jalan Bintangan. Semua rumah sudah terlihat bagus berdinding bata. Kecuali rumah peninggalan almarhum Embah yang sekarang ditempati paman. Rumah beratap semi Joglo ini masih sama seperti dulu saat pertama kali dibangun. Beratap genting, berdinding kayu jati dan berlantai semen.
Paman mbak Novie menyambut dengan pelukan hangat. Mereka melepas rindu sambil menikmati segelas teh panas. Ah, nikmat sekali. Apalagi suasana dalam rumah belum ada yang berubah. Meja dan kursi kayu menyambut. Ranjang bambu ukuran 3x3 meter masih terletak di bawah jendela. Tempat Mbak  Novie belajar berjalan dahulu kala.
Tak terasa mata Mbak Novie berkaca-kaca. Kehidupan pamannya yang menduda setelah ditinggalkan almarhum istrinya 20 tahun lalu masih sangat sederhana. Pekerjaannya sebagai penjual asongan di terminal Bawen hanya cukup untuk menghidupi kedua anaknya.
Pagi ini terasa sangat gigil. Mbak Novie sengaja menginap sehari di rumah Pamannya. Mbak Novie dan anaknya yang biasa dipanggil Agha, tidur di atas kasur tipis di kamar penuh asa. Kamar ketika dia dulu dilahirkan. Kamar berdinding kayu yang sudah dimakan usia. Udara dingin menerobos ganas, membuat tulang-tulang ini terasa ngilu. Alhamdulillah Adik Agha pintar. Ia tertidur lelap semalaman.
Paman sangat mirip dengan Bapak Mbak Novie. Adik Agha memanggil Paman dengan sebutan Mbah No. Padahal nama Paman adalah Min. Ah, terserah Adik Agha mau memanggil apa. Yang penting dia suka dan krasan.
Paman membuat perapian di pawon, di atas tungku satu lubang yang terbuat dari batu bata di susun. Lelaki berambut gondrong itu dengan tangkas mulai membuat perapian. Mencoba mengusir dingin dengan menghangatkan diri dekat perapian sembari menunggu air mendidih. Paman menyiapkan teh hangat buat saya dan Adik Agha. Saat Mbak Novie mau membantu nggak boleh. Paman khawatir akan batuk terkena asap tungku.
Ketika matahari sudah menguapkan embun, Adik Agha berburu belalang bersama Mbah No, paman. Mereka asyik menangkap binatang peloncat hebat itu di rerumputan depan rumah. Mereka berhasil menangkap dua ekor belalang dan dimasukkan ke dalam plastik bening. Rona ceria tersirat dari wajah Adik Agha. Dia sangat menikmati kebersamaaan dengan Mbah Nonya.