Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[RTC] Ainun dan Cinta Pada Ilalang

15 Januari 2019   05:30 Diperbarui: 15 Januari 2019   21:03 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Gadis kecil polos hitam dekil itu datang padaku, minta salim. Tangan mungil kotornya mengulur, ditingkahi ingus berbunyi "sraat, sruut".

Tangan yang minta salim itu mengusap, mengulur lagi.

"Bu, salim!" Tuturnya polos tanpa merasa bersalah.

Aku terpana,  menolak, menyakiti niat tulusnya, menerima,  nyata sungguh rasa jijiknya. Tak tega kuterima uluran tangannya. Punggung tanganku dicium bareng ingus yang akan keluar. Duh, eneg tapi kutahan, terpukau tatap mata polosnya.

"Ini bu, Ainun mau ikut mengaji di sini, nopo angsal, apa boleh?" Tanya ibu gadis kecil  bernama Ponisri itu suatu siang di rumahku usai aku pulang dari mengajar.

"Nggeh mesthi angsal, ya tentu boleh,  tapi apa tidak terlalu jauh, di sana kan ada TPQ  to bu?" Jawabku pada Ponisri sekaligus bertanya. TPQ, adalah Taman Pendidikan Al-Qur'an.

"Ada bu, tapi si Ainun minta sama ibu, di sana nangis terus. Temannya banyak menghina." Papar Ponisri menjelaskan alasan.

" Owalah, ini to permasalahannya." Aku membatin. Ainun adalah anak Ponisri  bakul mlijo, tukang jual sayur keliling, Ainun usia 6 tahun,  tiap hari ikut ibunya berjalan kaki menjajakan sayur mayur dan lauk, dari rumah ke rumah. Rumahnya sekitar 10 kilo meter dari rumahku, nun  di puncak gunung, jauh dari pemukiman, di pinggir hutan. 

Suaminya, Paijo kesehariannya mencari kayu di hutan, dijual dan dipakai sendiri untuk masak sehari hari. Tiap hari aku  bertemu Ponisri, saling sapa di jalan.  Sesama pedagang keliling, aku menjual makanan dan minuman.

  Bedanya dia berjualan sembari jalan kaki sedangkan aku naik sepeda motor. Meski butut aku bersyukur, ternyata ada yang lebih parah dariku. Sering kuberi Ainun susu, ibunya pun begitu, kadang satu ikat kangkung dia paksakan menaruh di krat daganganku.  

Tak kusangka, kedekatan permukaan, keramahan jalanan, mendekatkan persaudaraan. Dia menghormatiku seperti layaknya ibu, sungkem, salim, dibiasakannya bila bertemu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun