Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[RTC] Ainun dan Cinta Pada Ilalang

15 Januari 2019   05:30 Diperbarui: 15 Januari 2019   21:03 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay.com, travelling yuk.com

" Nggeh bu, ngesto aken." Singkat Ponisri menjawab.

Kami sholat layaknya dua kerabat yang telah kenal lama. Usai sholat kami bersalaman, dia mencium tanganku lama sekali, kurasakan air menggenangi telapak tanganku, hangat. Sesenggukan kudengar suaranya.

" Sembah nuwun nggeh bu, kami diterima. Tutur Ponisri lirih.

" Ya Allah Yu Sri, mpun ngoten tah, jangan begitu," kurengkuh tubuhnya. Memeluk dengan segenap jiwa. Keharuan menyeruak. Kami saling berbagi tangis usai menghadap pada sang pencipta.

Aku tahu prasangka, ajineng rogo ono ing busono, berharganya jasad dinilai dari pembalut tubuhnya. Bukan bagusnya tapi suci dan bersih, agamaku mengajar kebersihan, mewajibkan kesucian. Ku hargai , kuhormati, tapi bila hanya kukoarkan, terutama pada yang di pinggirankan, manalah mereka bisa mengerti? Ajak , lakukan, dan mereka akan memaknai, bisa melaksanakan.

Ponisri dan Ainun hanya sejumput rumput pinggiran, ilalang diantara tumbuhan utama, ilalang yang sering dibabat habis, dibuang. Kurasa aku ingin menemaninya, menjadi ilalangpun tak mengapa, sepertinya pula aku telah jatuh cinta pada ilalang itu. Yang padanya seringkali mata enggan menatap, hati tertutup menyapa, tangan terlipat tak mau menyentuh. Tak ada arti. Wujuduhu ka adamihi. Hadirnya seperti ketiadaannya. Hampa, tak ada yang peduli, bahkan kalau bisa dienyahkan saja.

 Meski wujud mereka tetaplah manusia. Sama seperti kita, berhak menghadap Tuhan tanpa risau derajat dunia. Bahkan bisa jadi mereka bisa melewati kita saat perhitungan dunia, karena kemiskinannya tak mengharuskan dia banyak menjawab, mempertanggung jawabkan kepemilikan duniannya. 

Kubiarkan Ponisri dan Ainun beristirahat di rumahku sambil menunggu waktu mengaji tiba, ketika kutanya bagaimana dengan sisa dagangannya, dia menjawab," Tak apa bu nanti  akan saya kelilingkan lagi sepulang mengaji. Kalau boleh saya mau belajar mengaji juga. Mboten nopo nggeh bu, tak mengapa ya bu sudah tua begini belajar ngaji?"

" Owalah, nggeh mboten nopo Yu. Tak mengapa Yu, belajar itu tidak ada batasan umurnya." Jawabku padanya.

Rimbunan rasa indah di dada bermekaran. Menghangatkanku dari kesunyian. Bahagia melihat kasih tulus  terpancar.

*
karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Cerpen RTC Duka Indonesiaku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun