Bertemu nama besar adalah keinginan, bisa berjabat tangan adalah kebanggaan, kesempatan foto bersama adalah impian, bercengkerama dengan mereka satu meja, satu suasana, bertautan mata dengan mata adalah kenyataan yang tak kupungkiri itu menyenangkan.
Aku bukanlah orang yang mudah terkagum dengan fisik seseorang, ketampanan, kecantikan tak akan abadi walau mampu menghentikan pandangan.Â
Beberapa kali aku bersua  artis waktu masih menjadi jurnalis, sebagian dari fans mereka histeris, ada yang menangis, bahkan yang bikin miris, kok ya mau maunya mereka dipeluk dicium segala. Padahal tidak ada hubungan darah apapun yang membolehkan mereka bersentuhan.
Inikah hedonis? Kesenangan bertemu dengan idola dunia, merayakan dengan pesta pora. Para fans itu rela menghamba demi sua pujaan, disuruh apapun rela, dari sekedar cium tangan, Â sampai cium macam-macam, ngesot di depan pintu, nyanggong mereka keluar, histeris meneriakkan nama. Kegilaan yang ditepoki setan.
Bahkan ada yang rela mengeluarkan uang dengan bilangan nol  berderet, jutaan, demi bertemu pujaan, menikmati hubungan singkat atas nama cinta pada idola agar dianggap sebagai fans setia atau demi kepuasan semata. Bagiku ini sungguh menyedihkan.Â
Apa bedanya dengan jual beli badan? Ada sentuhan fisik yang diinginkan dari sebuah pertemuan, ujung-ujungnya tetap perilaku sarat maksiat didapatkan.
Sama-sama merendahkan diri, menghamba, lalu bedanya apa? Yang utama tentu niat, golongan pemuja selebritis itu serupa kehilangan akal sehat, mereka rela dalam kegilaan, tergila-gila hingga berlaku seperti orang gila, nirhikmah, cuma dapat senang dan kepuasan.Â
Itu menurut aku loh ya, kalau berbeda pendapat monggo saja. Belum ada undang-undang yang melarang perbedaan pendapat. Hehe
Untuk santri kepada Kyai aku tak berani katakan itu kesalahan, semua tergantung niat, itu bagian dari kesantunan, tawadhu', kultur budaya kita, nguwongno wong tuwo bukan pengkultusan. Karena secara berjamaah guru murid berada dalam satu wadah, menghamba, sujud, tunduk pada yang kuasa saat sholat bersama.Â
Kalau budaya tawadhu' ini digugat sebagai pengkultusan lah bisa musnah akar tradisi kesantunan kita. Sebagai wong Jowo, sebagai  bangsa Indonesia, saya kok nyaman saja ya dengan tradisi itu, bentuk kasih sayang dan  penghormatan kepada orang tua yang do'a-do'anya kemungkinan besar diijabah, tanpa harus menuhankan mereka.
Bukankah ridholloh fi ridhol walidain. Ridho Allah terletak pada kedua orang tua kita. Di rumah ayah bunda adalah orang tua. Di luar rumah, sekolah, pesantren, atau tempat lain yang ada pengajarnya, guru adalah perwakilan orang tua, padanya kita dititipkan.Â
Jadi bukan suatu kesalahan bila kita memberikan penghormatan, pada guru atau pada orang-rang shalih yang menjadi panutan. Toh masih ada sekat syari at, untuk tidak bersentuhan dengan yang bukan mahram. Ini bagian lain dari lebih mengutamakan Tuhan, taat pada ajaran.
Hamba menghamba, kita ini cuma hamba mengapa menuhankan manusia? Podo mangan segone, podo butuh turu, butuh duit. Sama sama makan nasi, butuh tidur, butuh uang. Manusia yang kita puja tak ada beda dengan kita, linier saja, sejajar, tanpa harus melakukan tindakan tidak wajar atau kurang ajar.
 Tawadhu' , menghormati sesama manusia, dengan segala piranti adab dan tatacara. Bukan menghamba merendahkan diri senyata nyatanya sebagaimana kita sujud pada-Nya. Kita ini sama sama manusia mbok yang wajar saja.Â
Sesama manusia kok menghamba, apa yang digantungkan padanya? Tak ada beda. Hanya taqwa parameternya. Itupun nanti baru terlihat saat penghitungan akhirat. Sepertinya kita atau malah aku sendiri yang  sedang mengalami kebuntuan  nalar sehat? Wallahu alam bishowab.
Di tulis Anis Hidayatie untuk Kompasiana, Ngroto. Pujon-Malang 14012018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H