Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengakhiri Tahun dengan Kerinduan pada Gus Dur

31 Desember 2018   07:43 Diperbarui: 31 Desember 2018   18:22 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya." (Gus Dur)

Tak ada yang yang tak kenal dengan Gus Dur waktu itu, terutama saat beliau hidup. Sosoknya mempunyai magnet bagi media, baik cetak maupun elektronik, semua tertarik memberitakan apa saja yang keluar dari mulut seorang Gus Dur, serta pemikiran yang dituliskannya. 

Sebelum menjadi presiden, saat menjabat sebagai orang nomor satu negeri ini, maupun ketika dilengserkan manusia-manusia yang mengaku paling benar, serta saat beliau menjadi rakyat kembali, berbaur, membumi dengan kami. Gus Dur tetap fenomenal. 

Dia hadir sebagai kontroversi tak lazim yang menyejukkan kalangan pembela kemanusiaan dan dia juga menjadi sosok yang menuai hujatan karena rangkulannya kepada seluruh umat manusia tanpa memandang muasalnya.

Sumber : deskgram.net
Sumber : deskgram.net
Sebagai salah seorang pengagum ketokohan Gus Dur, saya merindukannya. Penghujung tahun ini dan tahun-tahun kemarin selalu saja rasa itu muncul. Saya ingin dia hadir dengan cintanya, dengan kemanusiaannya kepada sesama. Rangkulannya tanpa pandang agama menyejukkan rasa, mendamaikan hubungan umat manusia, meminggirkan pertikaian antar umat beragama. 

Konsep "lakum dinukum waliyadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku", telah diterapkannya di kehidupan dunia ini dengan harmoni yang indah. Cintanya pada manusia tidak memberikan sedikitpun ruang permusuhan pada yang berbeda keyakinan. Dia diterima seluruh kalangan, bahkan umat yang berbeda iman menjadikannya sebagai panutan.

Pixabay.com
Pixabay.com
Tak ada paksaan dalam beragama. Ini satu konsep yang saya lihat pula mewarnai pemikiran dan cinta seorang Gus Dur pada manusia. Saya mengamini, saya mengikuti wejangannya. 

Iman adalah tentang hati, yang pemiliknya adalah pencipta-Nya. Mengumbar kebencian pada sesama manusia dengan alasan berbeda iman adalah satu hal yang sungguh memiriskan saya. Karena hanya Dia yang maha membolak-balikkan hati. Lalu kenapa manusia merasa paling benar dengan hatinya?

Gus Dur memberikan contoh betapa indahnya bergandengan tangan dalam perbedaan, ini mengagumkan. Saat kebencian bertebaran mengatas namakan pembelaan terhadap keimanan dia hadir sebagai tokoh welas asih, menebar cinta pada semua manusia, bahkan yang berbeda iman sekalipun.

Ini tentu tak lepas dari latar belakang pendidikannya. Dia adalah putra dari KH. Wahid Hasyim sekaligus cucu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari ini lahir di Jombang, 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman "Addakhil" dan terkenal sebagai Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur.

Peran ayahnya ketika ditunjuk sebagai Menteri Agama, pada tahun 1949 sangat besar. Di Jakarta ia diajarkan oleh Sang Ayah agar membaca majalah, buku-buku non-Muslim, karya sastra dan koran untuk memperluas pengetahuan Gus Dur sendiri. Saya pikir inilah yang melatarbelakangi pemikiran dan sikap Gus Dur bagaimana dia bisa mencintai seluruh umat manusia tanpa melihat bajunya. 

Pada akhir tahun 2018 ini saya merindukannya. Sepanjang tahun telah saya lewati dengan beberapa berita memiriskan terkait perbedaan keyakinan. Ujaran kebencian, unjuk kekuatan, kontak fisik, bahkan rela menghancurkan diri dengan alasan pengharapan surga yang absurd sebagai balasan.

Itu di luar nalar sehat saya. Mengapa demi membuktikan kekuatan lebih atas keyakinan seseorang dia harus mengorbankan umat manusia? Padahal Indonesia tidak dalam keadaan perang. Saya pikir perang yang sedang kita hadapi sekarang adalah perang menghadapi kebenaran versi diri sendiri. Bukan murni perang melawan keangkara murkaan. 

Sebagai ilustrasi, kisah Umar bin Khattab saat tak jadi menghunus pedang pada musuh yang meludahinya bisa kita jadikan rujukan. Dia menghentikan laju tangan menebas musuh, karena takut ada pengaruh setan yang membisiki. Dia tak mau jihadnya dinodai kemarahan yang notabene identik dengan perangai setan. 

Umar Bin Khattab tak mau terlibat dengan kemarahan. Dia hanya ingin melakukan demi Tuhan, bukan pujian makhluk apalagi bisikan setan. Satu hal yang saya tangkap dari kegarangan Umar adalah, dia tak pernah mengumbar kebencian, baik dengan kata kata atau perbuatan, saat perang sekalipun.

Gus Dur dan Umar Bin Khattab, dua contoh teladan bagi saya tentang indahnya mencintai sesama manusia. Di Indonesia ini, di penghujung tahun ini saya ingin Gus Dur hadir kembali. Paling tidak spiritnya, wejangannya untuk saya pribadi atau umat yang sekeyakinan dengan saya, mencintai saja, menolak benci, melenyapkan kemarahan pada siapa saja umat manusia.

" Kita butuh Islam yang ramah, bukan Islam yang marah." Itu salah satu pesannya.

Dan untuk dunia yang lebih indah, pesan Gus Dur berikut rasanya tepat di resapi.

"Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali." (Gus Dur)

Ditulis Anis Hidayatie untuk Kompasiana, untuk jiwa-jiwa yang mencintai manusia.
Ngroto, 31 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun