Peran ayahnya ketika ditunjuk sebagai Menteri Agama, pada tahun 1949 sangat besar. Di Jakarta ia diajarkan oleh Sang Ayah agar membaca majalah, buku-buku non-Muslim, karya sastra dan koran untuk memperluas pengetahuan Gus Dur sendiri. Saya pikir inilah yang melatarbelakangi pemikiran dan sikap Gus Dur bagaimana dia bisa mencintai seluruh umat manusia tanpa melihat bajunya.Â
Pada akhir tahun 2018 ini saya merindukannya. Sepanjang tahun telah saya lewati dengan beberapa berita memiriskan terkait perbedaan keyakinan. Ujaran kebencian, unjuk kekuatan, kontak fisik, bahkan rela menghancurkan diri dengan alasan pengharapan surga yang absurd sebagai balasan.
Itu di luar nalar sehat saya. Mengapa demi membuktikan kekuatan lebih atas keyakinan seseorang dia harus mengorbankan umat manusia? Padahal Indonesia tidak dalam keadaan perang. Saya pikir perang yang sedang kita hadapi sekarang adalah perang menghadapi kebenaran versi diri sendiri. Bukan murni perang melawan keangkara murkaan.Â
Sebagai ilustrasi, kisah Umar bin Khattab saat tak jadi menghunus pedang pada musuh yang meludahinya bisa kita jadikan rujukan. Dia menghentikan laju tangan menebas musuh, karena takut ada pengaruh setan yang membisiki. Dia tak mau jihadnya dinodai kemarahan yang notabene identik dengan perangai setan.Â
Umar Bin Khattab tak mau terlibat dengan kemarahan. Dia hanya ingin melakukan demi Tuhan, bukan pujian makhluk apalagi bisikan setan. Satu hal yang saya tangkap dari kegarangan Umar adalah, dia tak pernah mengumbar kebencian, baik dengan kata kata atau perbuatan, saat perang sekalipun.
Gus Dur dan Umar Bin Khattab, dua contoh teladan bagi saya tentang indahnya mencintai sesama manusia. Di Indonesia ini, di penghujung tahun ini saya ingin Gus Dur hadir kembali. Paling tidak spiritnya, wejangannya untuk saya pribadi atau umat yang sekeyakinan dengan saya, mencintai saja, menolak benci, melenyapkan kemarahan pada siapa saja umat manusia.
" Kita butuh Islam yang ramah, bukan Islam yang marah." Itu salah satu pesannya.
Dan untuk dunia yang lebih indah, pesan Gus Dur berikut rasanya tepat di resapi.
"Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali." (Gus Dur)
Ditulis Anis Hidayatie untuk Kompasiana, untuk jiwa-jiwa yang mencintai manusia.
Ngroto, 31 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H