"Oh ya, mulia sekali anda Pak Ping."
"Ah biasa aja bu, ini sambil bisnis, nanti anak-anak yang numpang saya kenakan biaya seribuan, kalo ibu jadi bareng saya, nanti tolong yang minta uang ke anak-anak ibu yah, keuntungan 30-70, untuk ibu 30 persen."
Lancar, tanpa berdosa dia menjelaskan tugas dan fungsiku yang mirip kenek.
Oh Em Ji, Helloooo...wajah manis begini mau dijadikan kenek, wah bisa-bisa bukan hanya uang yang kudapatkan, tapi hati merekapun bisa aku luluh lantakkan.
"Waduh pak, maaf bukan menolak, tapi saya lebih suka naik sepeda motor, kalau naik mobil suka mual, mungkin gak bakat jadi orang kaya kali ya?"
"Ah ibu bisa aja, dicoba dulu deh bu, siapa tahu dengan saya, tidak mual, bersama Mas Ping, hilangkan rasa mual."
Gila ini , dia sudah memanggil dirinya dengan sebutan Mas, itu panggilan sayang bagi orang jawa, dengan tampang ke gantengan lagi, iya sih dia emang ganteng mirip Shaheer Seikh tapi kalau harus jadi kenek? Duh, duh, makin emoh saja rasanya.
" Ah Pak Ping, maafkan daku ya pak? Bukan tak mau, tapi saya terlanjur komitmen sama Si Gigip, anak didik kita. Mengingkari janji tak baik kan pak? Mungkin lain kali yah, kalau sedang tidak ada janji dengan Si Gigip ."
" Baiklah bu, saya tunggu, semoga suatu saat ibu tidak terikat komitmen lagi, kutunggu jandamu."
Kata-kata Pak Ping mengingatkanku pada tulisan yang sering kutemukan di bak truk pengangkut sapi. Dia menjawab seraya berlalu sambil ngeloyor pergi meninggalkanku sendiri dengan Bu Ester, Â menghabiskan sisa bubur jenang merah berdua.
"Kan emang sudah janda, ngapain ditunggu lagi," gumam Bu Ester menggoda.