"Kami hidup di lombok sudah hampir 18 tahun. Sudah biasa mendapat gempa-gempa kecil. Tapi gempa kali ini memang sangatlah besar. Tapi mendiskreditkan seseorang karena berbeda politik dengan alasan theologis. Sungguh anda tidak sopan. Beliau absah untuk di kritik, silahkan.Tapi di depan musibah?"
Aku tahu lanjutan bait nelangsa teman Lombokku, dia mengalaminya beberapa waktu lalu, sungguh tak sopan memaki seseorang saat musibah datang, saat ada kejadian musibah bencana.
Baiklah, mungkin seseorang itu tidak sempurna, atau mendekati ekspektasi yang diharapka. Namun mengkritisi kelayakannya sebagai tokoh, sebagai pemimpin, mengoreksi keburukannya, apalagi menistakan kebijakannya, di tengah derita demi alasan politik semata sungguh mengguncangkan jiwa.
Bait-bait ucapan di atas disuarakan sahabatku. Dia telah menetap di Lombok selama kurun 18 tahun lamanya, suaminya seorang Profesor, dirinya sendiri memilih mengabdi di rumah sembari menjadi editor atas buku-buku yang ditulis suaminya. Pasangan serasi, kompak, Â yang bikin iri .Â
Kali ini aku tahu menderitanya dia. Rumah asri yang dihuni, tak lagi dia berani tempati, tenda darurat dia dirikan bersama pemukim lainnya di perumahan. Sekedar menghindari getaran, yang siapa tahu akan makin membesar dari detik ke detik sesuai pergerakan lempengan. Aku berempati, aku ikut rasakan, betapa susahnya dia.Â
Dingin malam tertidur tak berani mendengkur. Waspada antara mata terpejam dan awas pendengaran, siapa tahu ada sirine gempa dibunyikan. Itu artinya, malam tak bisa dilewatkan dengan lelap, nyenyak. Harus segera bangkit, selamatkan diri dari reruntuhan yang mungkin menimpa kepala atau badan ini.
Bencana ini siapakah yang menginginkan? Tapi memaki seseorang saat musibah terjadi sungguh memekakkan pendengaran.
"Yuk, apakah njenengan sampai saat ini masih tidur di tenda?"
"Injeh nis."
Ya Allah, aku ingin memeluknya, sekedar memberikan kehangatan, merasakan gempa ini berdua, yang menggetarkan rasaku sebagai manusia, andai aku jadi dia.
" Big Hug Nis."
Hanya itu yang dia butuhkan, pelukan sayang bersahabat, kata-kata penguat, agar hidupnya tetap semangat, kalau ada yang mau beri nasehat, bahwa bencana ini adalah adzab, pengingat agar kita makin dekat, karena mungkin kita telah terseret jauh dari mengingatNya, baiklah.
 Itu bisa diterima dengan lapang dada, karena nyatanya manusia demikianlah adanya, seringkali salah atau alpa, baik sadar, atau tersembunyi tampaknya.
Bila ada yang berkenan mengirim sumbangan uang, makanan, minuman atau pakaian, sungguh itu pengharapan besar yang diidamkan. Ribuan terimakasih untuk para penyumbang, teriring doa pada yang kuasa agar yang terketuk hatinya memperoleh balasan kebaikan di dunia dan akhiratnya.
Namun bila ada komentar atau penilaian kurang mengenakkan terhadap kami. Apalagi terhadap tokoh pemimpin kami, rasanya kami tak terima, bukan karena mau bela beliau, bukan karena kami pendukung partainya, tapi lebih pada sebuah rasa kebersamaan. Beliau sama menderita dengan kami juga, upayanya beri kami sesuatu meski tak berarti buat mereka, buat anda kami hargai. Setitik simpati dari siapapun akan kami sambut, seperti gerimis hujan di musim kemarau.
Entahlah, rasaku tetiba menyatu dengannya, hingga aku menjadi kami, turut rasai deritanya. Saat ini kami butuh do'a dan penguatan, tolonglah hentikan makian, kritikan, bersabarlah hingga keadaan tenang, sampai bencana gempa tak lagi meradang, bebaskanlah kami dari rasa sakit akibat kata-kata menukik, menyinggung siapapun saudara kami di tanah Indonesia tercinta ini.Â
Untuk politisi, yang ingin memanfaatkan keadaan ini, dengan tebar pesona atau cari simpati, mohon sudahilah, berilah jeda, munculkan tenggang rasa. Tak apa ada bendera-bendera  di tanah apapun berkibar saat memberi bantuan, tapi tolonglah katakan saja sesuatu yang memberi kesejukan, bukan umpatan atau makian terhadap seseorang.Â
Kami ingin bersih dari prasangka dan rerasan, agar kebersihan hati ini bisa menjadi jembatan, ucapan doa tanpa hijab, tanpa halangan, agar Allah berkenan memberikan pengabulan.
Satu hal yang kami inginkan, kami pintakan untuk saat ini, yakni pembebasan dari segala bencana alam yang tampak dekat di depan mata ini.
" Aku malu ada yang berkata begitu yuk, Â Tak kethak e yo, masio konco. Kujitak ya meskipun teman kita."
" Lempar dia ke Mars."
Begitu jawabnya saat kutawarkan pembelaan, menunjukkan betapa dia tidak ingin melihatnya di muka bumi ini. Mungkin dengan melempar ke planet lain, Â dia, sang komentator pedas bisa tersadarkan, bahwa di bumi ini kita butuh bergandengan tangan menghadapi cobaan, bukan malah ajak berperang memanfaatkan kegentingan.
 Berperanglah untuk kepentingan politik, saat nanti masanya tiba. Di panggung terbuka, saat betul-betul waktunya. Untuk kali ini. Tolong sudahilah berpolitik di tengah musibah.Â
Kuketuk hati para politisi, atau mereka yang sedang ingin berpamer tebar pesona. Untuk kepentingan sebuah kompetisi pemilihan apapun nama jabatannya, agar hanya beri kami dukungan dan do'a penguatan, agar kami bisa selamat lewatkan bencana ini.
 Membawa kepentingan politik di tengah musibah? Memanfaatkan nestapa saat bencana? Tolonglah, sudahilah!Â
Malang, di tempat Dr.Gigi Yudhi Yudhono. 28122018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H