Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Percakapan dengan Usus

17 Desember 2018   16:11 Diperbarui: 17 Desember 2018   16:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belukar dingin masih menyemut, runtut menerpa kulit epidermis pipi, telapak tangan dan kaki, baru menghangat setelah kusibak dengan segelas susu coklat, uapnya kuhirup nikmat, kubaui panasnya, kudekap gelasnya dengan kedua telapak tangan, baru pelan kuangkat, bismillah, sruput, ahh, nikmatnyaa.

Saat lidah mengecap, jilatan rasa manis gurih bersemayam lebih lama, melewati kerongkongan sedikit demi sedikit, mengalirkan hangat hingga berjumpa usus perut, dia bernyanyi lagu rindu makanan berat, bukan hanya minum yang dibutuhkan usus, tapi pengganjal lapar berwujud karbohidrat.

Baiklah kan ku urus kau nanti usus, tunggulah sebentar biarkan aku membungkus susu coklat ini menjadi ber bungkus-bungkus plastik terlebih dahulu, nanti kutukar mereka dengan lembar uang, hingga menjadi seperangkat menu makanan, siap kupersembahkan untukmu wahai usus di perutku.

Belantara pagi dingin berkabut menyambutku di jalanan, tak ada orang, pada siapa harus kutawarkan? Biasanya ibu-ibu menggendong putra bayinya berjemur, anak-anak pun tak kulihat berlarian di perempatan, sepi.

Sebetulnya ada tempat lain yang ramai, biasanya laris manis bungkusan  susu ini terjual, di sana tempat sapi kambing di perdagangkan, tapi aku tak ingin ke sana, karena mereka para blantik dan kuli itu, tak hanya ingin membeli susu plastikku, tapi menggoda kurang ajar pula, entahlah,  kenapa lelaki begitu bila mendengar teriakanku  ," sussuuu!"

Tertumbukku pada sebuah pos kamling, berhenti sebentar, dingin masih merasuki tulang, agar sedikit hangat kurasakan, pada dingin ini kuteriakkan," Sussuuu, susssuu!" Lantang sekeras mampuku melakukan, memecah kesunyian, memunculkan uap hangat di bibir ini saat melantunkan teriakan berbunyi " Susu".

Bak penyanyi yang sedang olah vocal, teriakan itu kurasa makin merdu terdengar. Satu anak menghampiri, " Beli susunya bu !" 

Alhamdulillah, dialah pembeli pertamaku, penglaris, pemecah utuhnya dagangan, selanjutnya, datang beruntun pembeli menghampiriku, tak perlu susah lagi aku harus berkeliling, di poskamling itu bungkusan susu coklatku tandas dengan cepatnya, mungkin karena masih panas, mereka, para pembeli itu butuh panas untuk mengusir dingin.

Krat dagangan susuku telah ringan, kosong, berganti lembaran uang, bergegas ku mampir ke warung nasi empog mbak sih, membeli sebungkus nasi untuk ususku nanti.

"Sabar ya ususku, kita makan di gubuk saja, kan kubagikan bungkusan nasi ini dengan emak yang sedang menunggu di sana. Kasihan dia, pasti ususnya pun sedang mendendangkan lagu lapar, sama dengan dirimu".

Mentari mulai mengintip, hangat sejenak menyapa wajah, dingin kembali kurasakan saat motorku membelah angin jalanan, menuju gubuk kecilku yang disebut orang rumah.

Sambutan senyum ramah menjamah mataku dari sosok keriput emak yang mulai menua. " Wes entek tah ndok, kok wes moleh?" Heran dia bertanya dengan gembira, seolah tak biasa aku pulang cepat.

" Nggeh mak sampun, ini ada nasi empog kesukaan njenengan, kita makan di dalam saja nggih?"

Berbinar matanya saat bungkusan kubuka, warna kuning nasi, sambal tomat, ikan asing, dan oseng sayur merayu tangan ini untuk segera meraih, melahap, semangkuk air wijik an tangan diambilkannya. Aku dan emakku makan muluk, dengan tangan. Inilah kelezatan sarapanku, ususku tak lagi bernyanyi,  tenang rupanya sesudah terisi, kini dia bisa istirahat sebentar, sebelum datang siang berbunyi lagi.

Pada tembok dingin kubisikkan," Tenanglah kau di sana duhai kekasihku, kan kujaga emakmu, emak kita, sesayang yang kupunya, hingga saatnyapun dia atau aku yang lebih dulu akan menyusulmu ke sana."

Anis Hidayatie, Ngroto Pujon Malang, 17122018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun