Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, "saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istikamah dan saya ikhlas jika dia berangkat". Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.
Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.
Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di provinsi kecil ini.
Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah menteri luar negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha.
Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.
Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini tampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara.Â
Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia untuk Pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.
Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya Surin selalu "hadir" di sini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.
Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin.
Ramadhan kemarin, saat kita makan malam-ifthar bersama-di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) Conference di Walailak University dan dia ingin undang saya ke Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa pesan pendek meyakinkan saya bahwa ke "Ban-Tan" lebih utama daripada ke "Ban-Dung".
Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya mengubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya salat Isya berjamaah duduk di samping Surin, selesai salat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya.Â