Kupu Hitam
Tonggeret mulai berbunyi. Tanda alam jelang musim kemarau. Debu beterbangan mengusik hidung. Panas luar biasa. Sawah-sawah mulai kering. Berundak-undak turun naik Tanaman kayu putih daunnya mulai menguning. Tanahnya menganga lebar. Retak- retak di seluruh bagian sawah. Lungkah sebutannya. Burung layang-layang beterbangan di langit. Pohon ketela pohon alias singkong daunnya tak serimbun dulu. Air di saluran air kering kerontang. Kemarau tahun ini terasa begitu panjang. Desaku Kalipancur.
Kata orang-orang kemarau kali ini pemicunya kupu-kupu hitam. Ah kupu-kupu hitam. Sudah tiga rumah warga didatanginya. Ke-tiga warga itu istrinya sedang mengandung. Mereka bertiga melanggar adat, istrinya menjadi pasienku di Puskesmas Kecamatan. Desaku masih memegang teguh adat istiadat. Diantarainya ibu hamil dilarang memeriksakan kandungan di Puskesmas atau Bidan. Akibatnya akan muncul bencana ditandai munculnya kupu-kupu hitam.
Setiap hari aku berpraktik di Klinik Bidan Desa, tepatnya di desa Kali Pncur desaku sendiri. Hari ini penyuluhan gizi seimbang untuk ibu hamil dan menyusui. Hingga siang tak ada satu pun ibu hamil muncul. Hanya lalu lalang orang-orang. Mereka menatapku tajam sambil berbisik-bisik diantara mereka. Sayup- sayup kudengar isi percakapan mereka.
“Lihat itu bidan baru, lagaknya sok pintar”, seorang ibu paruh baya memulai percakapan
“Iya jangan didengarkan,benar kata suami saya penunggu desa marah” sahut ibu gemuk disebelahnya.
“ Bikin sengsara saja”
“ Perintah mbah Mijan sesepuh desa agar penunggu desa tak marah jauhi bu Bidan”, kata ibu gemuk.
“Ibu-ibu tunggu!”, kukejar mereka berdua namun nihil sudah pergi. Ini tak boleh dibiarkan kataku dalam hati. Bagaimana nasib ibu hamil disini. Bencana itu karena alam bukan karena kupu-kupu atau binatang lainnya.
Tak ada yang berani melanggar peraturan itu. Tapi aku berani. Nyawa manusia lebih berarti bagiku. Akan kulakukan apapun demi keselamatan ibu dan bayi. Segera kuayunkan langkah menuju rumah Tetua Adat. Mijan nama Tetua Adat di desaku. Sorot mata tajam menyimpan banyak misteri. Guratan usia terlihat jelas diwajahnya. Lelah lapuk termakan usia. Bibirnya hitam bekas rokok lintingan. Kepulan asap rokok tak pernah berhenti bagaikan asap rokok. Giginya menghitam. Pendekatan manusia kuharap bisa mengubahnya. Sedikit-demi sedikit pasti bisa. Tak ada kata tak mungkin. Batu saja bisa lapuk karena tetesan air manusia juga bisa berubah.
Gelap. Penuh sarang laba-laba. Debu beterbangan dimana-mana. Cahaya matahari bahkan lewat gendeng kaca sekalipun tak mampir melalui atap rumahnya. Lantainya masih terbuat dari tanah. Bintang melata seperti kelabang, kecoa dan sejenisnya muncul dari lantai rumah mbah Mijan.
“Assalamualaikum”
“Assalamulaikum”
“Assalamualaikum”
Tak ada jawaban dari dalam rumah. Sepertinya tak ada orang di dalam rumah. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah.
“Pergi”
“Jangan datang lagi”
“Jangan buat keluargaku sial, Bapakku sebentar lagi pulang kamu nanti dalam masalah”, suara seorang perempuan yang kukenal sebagai Saritem anak Mbah Mijan, sekaligus teman dekatku.
Sesosok tubuh lemah tergolek di ranjang reyot di ruang tamu. Mukanya sayu, tatapan matanya kosong.
“Saritem...,” perlahan aku panggil dia dengan lembut.
“Ah..ah...ah,” hanya itu suara yang keluar dari mulutnya.
“Kamu sehat !” iya hanya menganguk sambil meremas tanganku.
“Peergiii, jangan ke sini nanti ada bahaya yang muncul di sini!”, Saritem tiba-tiba berteriak keras. Mengusirku dari rumah
Tak lama kemudian Bapaknya muncul. Diikuti oleh ratusan warga dengan wajah garang ingin menghabisiku. Api kemarahan berkobar di mata mereka.
“ Habisin saja dia mbah!”
“Iya habisin. Akibat ulahnya desa kita kena bencana,” serempak suara mereka mengema di udara. Terasa panasnya suasana hari ini.
“Bakar-bakar dia hidup-hidup”
“Jangan dia cuma wanita lemah, aku tanyakan dulu sama penunggu desa” Mbah Mijan mengambil alih suasana meskipun terasa panas membakar.
Mbah Mijan mulutnya komat- kamit membaca mantra. Entah apa itu. Badanku terasa sakit. Panas merambati tubuhku. Tubuhku sulit bergerak. Akukan kalah. Kata ibuku bacakan ayat kursi maka Alloh SWT akan melindungi. Segera saja kubaca ayat kursi dalam hati. Keringat deras mengucur di badanku. Aku takut setengah mati. Mungkin ini hari terakhirku di dunia.
DUAR...DUAR...
Terdengar suara ledakan hebat. Kulihat nyala api memancar. Sesaat kemudian penglihatanku buram badanku tak sanggup lagi menopang tubuhku. Aku jatuh pingsan.
KEBAKARAN...KEBAKARAN! sayup-sayup ramai terdengar teriakan orang silih berganti.
“ Maya kamu tak apa-apa” sebuah suara membangunkanku.
“Bapaaak!” sepertinya itu suara bapakku sendiri.
“ Jangan bicara kamu masih lemah nak, maafkan tak menolongmu dari tadi. “, ku tak bisa melihatnya, kurasakan harum tubuhnya sambil membawa tubuhku yang lemah pulang.
“Mayaa ibuku segera memelukku erat”
“Ibu...bapak Saritem nasibnya bagaimana?”
“ Saritem tewas sama bapaknya nak, Alloh SWT telah menghukum mereka berdua. Rumah Mbah Mijan tersambar petir kemudian terbakar hebat. Semua orang lari menyelamatkan dirinya masing-masing. Mbah Mijan terkena atap rumah dan tewas. Kemudian turun hujan lebat Nak,” ibuku bercerita panjang lebar.
Kulihat kumpulan kupu-kupu hitam terlihat beterbangan menjauhi puing rumah mbah Mijan. Terlihat dari rumahku yang berjarak 200 meter dari rumahnya. Semoga ini pertanda baik untuk desaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H