Mohon tunggu...
Yedija Luhur
Yedija Luhur Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer

Based on Jakarta Greater Area i'm a full time photographer, specialized in portrait and company profile. also doing content creation at social media platform, website, and blogging.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Estetika: Perjalanan dan Evolusi Keindahan dalam Dunia Fotografi

5 Juli 2024   11:17 Diperbarui: 5 Juli 2024   11:17 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Estetika adalah sebuah istilah yang sering digunakan belakangan ini, terutama oleh generasi Z, untuk menggambarkan sesuatu yang indah. Mereka sering mengatakan "estetik banget" ketika melihat sesuatu yang mereka anggap indah. Istilah ini memiliki makna yang dalam dan kompleks, yang dulu aku bahkan membutuhkan 2 SKS di kampus untuk membahasnya. Secara singkat, estetika memiliki jamannya masing-masing. Jika ditarik mundur jauh, bisa ditelusuri sejak tahun 500 SM hingga 300 Masehi, ketika budaya Yunani dan Romawi kuno menguasai seni dengan fokus pada proporsi, simetri, dan kesempurnaan, yang dilambangkan dengan "Vitruvian Man."

Abad Pertengahan dan Seni Gothic (500M-1400M)

Di abad pertengahan antara, Eropa mengalami masa dark age dengan dominasi seni Gothic yang berfokus pada agama Kristen, Katolik, dan Ortodoks. Contoh dari seni ini bisa dilihat di Sagrada Familia di Barcelona, yang menampilkan ukiran pahatan kompleks dan kaca patri berwarna-warni.

Masa Keemasan Peradaban Arab

Pada saat yang sama, peradaban Arab mengalami masa keemasan. Karena larangan penggunaan gambar makhluk hidup pada jamannya yang sampai sekarang pun di dunia islam masih ada, maka dari itu seni kaligrafi, pola-pola mosaik, dan pattern geometris berkembang dengan pesat, seiring dengan perkembangan ilmu matematika. Hingga saat ini, pengaruh estetika masa itu bisa dilihat di masjid-masjid seperti Masjid Al-Aqsa dan Dome of the Rock di Yerusalem.

Renaisans, Barok, dan Rokoko (1400-1800 M)

Di Eropa, terjadi beberapa perubahan besar pada era Renaisans, Barok, dan Rokoko. Salah satu faktor yang memulai era ini adalah jatuhnya Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) dan kontak antara Eropa dengan perdagangan Islam yang memicu Perang Salib. Asimilasi budaya ini menciptakan nilai-nilai estetika baru. Penemuan mesin cetak Gutenberg mempercepat penyebaran informasi, menjadikan kebudayaan Eropa lebih maju daripada kebudayaan Arab pada masa itu. Alkitab adalah salah satu buku pertama yang dicetak oleh mesin Gutenberg ini, menyebabkan perkembangan agama Protestan menyebar cepat ke seluruh penjuru dunia. Meski teknik mencetak sudah ditemukan di China dan Korea, teknik tersebut tidak tersebar luas.

Setelah Renaisans, berkembang Romantisme klasik yang menantang nilai-nilai saat itu yang banyak dipengaruhi oleh pikiran mistik dan agama. Untuk karya visual, banyak seniman terkenal seperti Michelangelo dan Leonardo da Vinci muncul pada masa itu. Selain itu, karya sastra terkenal seperti "Romeo and Juliet" lahir di awal tahun 1600. Pada masa itu juga di dunia visual juga mulai berkembang karya-karya realisme seperti karya Monet yang berfokus pada efek cahaya, bayangan, bentuk, dan warna.

Abad ke-20: Modernisme dan Postmodernisme

Pada abad ke-20, muncul gerakan-gerakan yang "melawan" realisme, seperti surealisme, abstraksi, dan kubisme yang tidak lagi melihat suatu bentuk realistis, melainkan melawan dengan metafora dan personifikasi dari realisme itu sendiri dengan bentuk-bentuk minimalis. Hingga saat ini, kita melihat desain minimalis, humanis, dan masih banyak lagi.

Jika kalian orang awam yang ingin melihat perkembangan estetika ini, sebenarnya paling mudah ditemukan melalui arsitekturnya. Contohnya, Notre-Dame di Prancis yang masih bergaya pada masa kegelapan Eropa, kota-kota di Arab yang melambangkan kebangkitan Islam, Katedral Santa Maria del Fiore di Italia dengan gaya Renaisans, Basilika Santo Petrus di Vatikan dengan gaya Barok, Pantheon di Paris, dan Istana Westminster di London yang bergaya Neoklasik, Crystal Palace di London yang bergaya Victorian, Empire State Building yang bergaya Art Deco, hingga gaya kontemporer dan arsitektur hijau yang banyak kita lihat di Singapura, gedung UMN di Indonesia, dan masih banyak lagi.

Estetika Abad ke-21: Era Globalisasi

Cukup dengan sejarahnya, kita masuk ke masa kini, yaitu estetika di abad ke-21, dimulainya perkembangan teknologi komputer dan internet yang mewujudkan era globalisasi. Pada masa sebelum ini, informasi tersebar lambat hingga ke luar negeri, tapi di era internet ini, semua hal saling berhubungan. Bahkan dalam hitungan detik, informasi dari Indonesia bisa sampai ke Amerika dengan sangat cepat, bahkan sebelum kita manusia bisa memproses informasi tersebut.

Mulai dari paragraf ini merupakan hipotesaku sendiri, atas estetika yang berkembang di abad globalisasi ini. Di sini aku hanya akan berhipotesis dari segi karya-karya estetika visual saja karena hal itu adalah yang paling aku kuasai dibandingkan karya seni lainnya.

DEFINISI ESTETIKA


Sebelum masuk lebih dalam ke pembahasan estetika visual, aku mau mendefinisikan estetika terlebih dahulu dari sudut pandangku. Di masa sekarang ini, kata "estetik" sudah terlalu banyak disalahgunakan dan di abuse, menjadikan estetika butuh diredefinisi ulang. Estetika sebenarnya adalah cabang dari filsafat yang mempelajari tentang Keindahan, Seni, dan Rasa. Dan faktor terbesar yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah pengalaman estetis, persepsi, interpretasi, dan dorongan sosial.

Estetik itu bukan suatu nilai (value) atau suatu tren saja, tapi lebih dari itu. Estetika bersifat subjektif dan kolektif, artinya apa yang estetik di satu kalangan atau wilayah atau ras, belum tentu estetik di golongan lainnya. Sebagai contoh, apa yang dianggap 'cantik' oleh Asia, berbeda dengan yang dianggap 'cantik' oleh negara Eropa. Foto yang dianggap bagus oleh warga Jakarta, belum tentu bagus oleh warga Makassar, dan masih banyak lagi.

Estetika yang bersifat subjektif bisa juga didefinisikan sebagai "idealisme". Dan estetika yang kolektif akan membentuk suatu kesepakatan (contohnya, wanita yang cantik adalah wanita yang memiliki badan tinggi, kulit putih cerah, dan kurus. Sedangkan di zaman dahulu, wanita yang cantik adalah wanita yang berisi. Bahkan di beberapa daerah, wanita yang cantik adalah yang memiliki tato dan tindik yang banyak, dan masih banyak lagi norma kecantikan di masyarakat kita). Hal ini tidak hanya berlaku di dunia offline, tapi juga di dunia online dan di semua bidang, tidak hanya seni visual.

Jika dibahas lebih dalam lagi, maka ada estetika timur dan barat, yang nanti akan aku bahas di blog lainnya lagi, karena bisa menjadi satu bab sendiri.

FILM FOTOGRAFI & DIGITAL FOTOGRAFI

Dimulai dari abad ke-19, sekitar tahun 1830-an, kamera modern pertama dibuat. Sama seperti lukisan, yang dikejar dari teknik menggambar dengan cahaya ini adalah realisme dari suatu objek atau subjek. Perkembangan ini terus berlanjut hingga memuncak di sekitar tahun 2000-an awal, hingga matinya film fotografi, digantikan oleh fotografi digital. Yang pada akhirnya juga memuncak pada tahun 2013-2017an digantikan oleh kamera mirrorless, Sedangkan saat itu kamera mirrorless, atau yang bisa aku istilahkan dengan (direct sensor readout, karena bisa langsung dianalisa per pixel-nya oleh komputasi fotografi) masih dalam tahap pengembangan juga, jadi belum banyak yang menggunakan dan menolak teknologi baru tersebut di awal perkembangannya. Jika ditelusuri hingga tahun 2024, teknologi kamera digital ini sudah mulai mature, dikarenakan perkembangannya yang mulai tidak signifikan lagi beberapa tahun belakangan ini.

Balik lagi ke ngomongin estetika, di masa ini yaitu kembali ke estetika di abad Yunani, yang dikejar adalah keseimbangan, komposisi, cahaya, bentuk (meliputi bentuk tubuh manusia dan benda-benda mati). Kamera berlomba-lomba menghasilkan warna yang seakurat mungkin dengan detail sebanyak mungkin, menangkap gradasi cahaya sehalus mungkin dengan tone yang senatural mungkin. Sama seperti perkembangan lensa yang ke arah tersebut, menciptakan suatu gambar yang perfect, bebas dari distorsi dan artifact-artifact lain yang mengganggu. Maka dari itu, tahap ini adalah puncak dari foto model, foto street, dan beberapa genre fotografi lainnya yang kita kenal sampai saat ini.

Juga pada tahap ini, lahir banyak teori-teori fotografi yang dimulai dari Ansel Adams, hingga beberapa fotografer senior yang saat ini kita kenal seperti Arbain Rambey, Darwis Triadi, Kristupa Saragih, dan masih banyak lagi dan kalau di luar negeri, dikenal juga fotografer YouTuber seperti Peter McKinnon, Jared Polin, Chris Hau, dll. Semua ini adalah peopor teori fotografi dan berkembang hingga sampai saat ini, dan yang kedepannya akan menjadi acuan & fundamental buat semua orang yang ingin belajar fotografi.

Alat dan teknik menjadi fundamental dalam perkembangan ini, menyebabkan di masa ini banyak sekali brand wars (antara Canon dan Nikon, sony fuji), perang alat (besar-besaran sensor), anggapan bahwa Fullframe lebih baik dari APSC, teknik satu lebih bagus dari teknik lainnya. Itu menjadi perdebatan panas di masa itu, yang masih bisa kita rasakan hingga saat ini, terutama di kalangan generasi 80-an, 90-an termasuk aku yang generasi 90-an awal.

Perdebatan ini selalu berulang ketika teknologi baru mulai muncul. Jika ditarik ke belakang lagi di awal 2000-an, perdebatan antara film fotografi dan digital fotografi juga sama hebatnya seperti perdebatan DSLR vs Mirrorless pada masa ini. Dan perdebatan antara fotografi digital dengan fotografi AI masih akan berlangsung saat ini hingga beberapa tahun ke depan.

Akhir dari digital fotografi ini, dimulai dengan banyaknya gerakan fotografi kontemporer yang berkembang sejak era COVID-19 berbarengan dengan "the rise of smartphone", menentang trend tradisional fotografi yang mengutamakan akurasi warna dan pencahayaan yang sempurna. Pada masa ini banyak sekali trend foto dengan efek blur, penggunaan losion pada lensa untuk menciptakan efek dreamy, warna vintage dan klasik, serta pencahayaan eksperimental menjadi populer. Tren ini mencapai puncaknya sekitar tahun 2023, bersamaan dengan diperkenalkannya fotografi komputasional dan AI fotografi.

Perkembangan teknologi menyebabkan perubahan estetika fotografi yang lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Selanjutnya yaitu fotografi komputasional, yang akan memanfaatkan teknologi pembacaan langsung sensor, memungkinkan penggunaan filter, augmented reality, dan AI dalam fotografi. Kamera mirrorless, termasuk smartphone, menggunakan sistem pembacaan data langsung dari sensor, memungkinkan perubahan real-time pada foto.


KOMPUTASIONAL FOTOGRAFI

Saat ini, hampir semua foto sudah bisa dibilang kalau diambil dengan filter. Jika di DSLR telah memperkenalkan preset yang memungkinkan pengaturan ketajaman gambar, profil warna, dan lainnya. Pada kamera mirrorless, tahap tersebut makin advance lagi karena setiap gambar pasti memasuki proses filtering dan layering melalui beberapa tahap komputasional fotografi seperti penggabungan exposure, local tone mapping, masking, HDR, dll di dalam processor. Selain itu fotografi komputasional memungkinkan fitur seperti face detection, bokeh buatan, dan pengolahan gambar real-time dengan preview langsung pada layar kamera.

Di sisi lain teknologi augmented reality memungkinkan animasi pada foto, seperti masker wajah, telinga kelinci, latar belakang dengan efek animasi, dan lainnya. Estetika visual yang sebelumnya menuntut kesempurnaan komposisi, pencahayaan, dan fokus, kini tidak lagi berlaku. Beberapa menganggap ini sebagai kemajuan, sementara lainnya melihatnya sebagai kemunduran estetika.

Teknologi yang mempermudah segalanya masih dipandang belum cukup matang pada awal perkembangannya, seperti filter make-up yang terlihat tidak alami atau filter warna Instagram yang berlebihan pada awalnya. Banyak orang masih menggangap (terutama professional) jika editing photoshop masih lebih bagus. Tapi jangan salah, dengan naiknya era media sosial yang mempercepat proses berbagi foto, menyebabkan oversharing dan overload konten visual. Efeknya development teknologi di bidang augmented reality, filter-filter, face detection dll menjadi semakin cepat dan dikerjakan secara kolektif oleh banyak pengguna dan developernya sendiri. Di tahap ini, terjadi oversupply konten, sehingga kita bisa melihat dalam sehari mungkin ada banyak story instagram, tiktok, post, twitter dll yang menurutku bisa sampai ribuan yang kita lihat dalam 1 hari. Sehingga menyebabkan nilai dari konten tersebut menurun sesuai dengan hukum ekonomi supply dan demand.

Adopsi teknologi yang masif menyebabkan kemunduran estetika dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pandemi COVID-19. Namun, kita tidak perlu takut karena itu hanyalah sebuah awal dari estetika baru yang muncul dan memiliki keindahannya sendiri, didorong oleh overload informasi visual, menyebabkan banyak konten creator bereksperimen untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih kreatif dalam membuat kontennya, supaya berbeda dari yang lain.

pertentangan pasti terjadi. Jika kita ambil contoh di dunia foto wedding, ada tren baru ini seperti foto-foto pernikahan dengan efek blur atau foto hitam-putih yang kabur dengan efek-efek cahaya, komposisi yang aneh, konsep video wedding yang terkesan "ngasal" atas nama estetik, dll. Hal tersebut ditentang oleh fotografer senior yang lebih mengutamakan nilai-nilai teori fotografi. Tapi sejarah berulang, gerakan baru akan muncul sebagai reaksi terhadap status quo yang terlalu dominan atau berlebihan.


AI FOTOGRAFI & GENERATIVE AI

Pada tahun 2024, AI fotografi dan generative AI mulai mendominasi pasar. Teknologi ini mengubah definisi foto, ilustrasi, dan lainnya. Proses pembuatan foto sekarang bisa dilakukan hanya dengan menggunakan prompt atau instruksi, tanpa perlu sumber cahaya seperti pada fotografi tradisional.

Dengan perkembangan ini, estetika pasti akan diredefinisi ulang lagi. Pada tahap ini, AI turut serta menentukan tren estetika dalam masyarakat, yang sebelumnya ditentukan oleh perilaku sosial manusia saja. Pertarungan antara "apakah algoritma yang membentuk perilaku masyarakat, atau perilaku masyarakat yang memprogram algoritma" menjadi sangat relevan di masa ini.

AI yang sebelumnya dianggap tidak akan menyentuh ranah kreativitas kini berkembang pesat, membuat kreativitas manusia yang sebelumnya berasal dari olah pikir dan rasa, di-outsource-kan ke entitas AI. Ini menyebabkan "Inflasi Kreativitas" di mana nilai dari sebuah kreativitas menurun karena adanya hukum supply dan demand.

Saya hanya seorang manusia biasa yang mengolah informasi dari berbagai sumber. Silakan menambahkan, menyanggah, mendebat, atau memberikan saran.


Cheers,
@Yedijaluhur
2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun