Sebuah kata-kata yang terbesit di pikiranku secara dadakan. Aku mau berpendapat mengenai kata-kata diatas. Pasti banyak sekali Perdebatan dan kalian yang tidak setuju, kita diskusiin di kolom komentara ya, atau bisa DM ke instagram ku di @yedijaluhur
Diluar ranah faktor biologis, semua manusia diciptakan setara, terlepas dari suku, agama, ras, gender dan golongan tertentu. Semua manusia memiliki hak yang sama untuk hidup dan diasuh. Hampir semua ajaran agama pun mengajarkan hal itu, lalu mengapa kita masih membeda-bedakan satu dengan lainnya. Suatu ketidaksetaraan itu merupakan salah satu sumber masalah utama yang selalu terjadi di antara society kita. Biasanya para influencer dan SJW meneriakkan equality ini. Kaum feminis pun mengutarakan hal yang sama.
Lalu, apakah ketidaksetaraan itu hal yang salah?
Supaya tidak salah tangkap, aku akan membreakdown makna dari ketidaksetaraan ini terlebih dahulu. Ketidaksetaraan berbeda dengan ketidakadilan. Tidak setara belum tentu tidak adil, dan tidak adil belum tentu tidak setara.
Tentunya kita tidak bisa menyetarakan antara laki-laki dan perempuan ketika mereka diciptakan berbeda, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita tidak bisa menyetarakan antara manusia yang lahir dengan normal dan lahir dengan kekurangan, dan masih banyak lagi contoh ketidaksetaraan. Di sisi lain kita tidak bisa berkelakuan adil dengan memberikan hal yang sama kepada tiap orang. Memberikan gaji yang sama pada tiap orang dan memberikan penghargaan yang sama kepada tiap orang, karena setiap orang membutuhkan hal yang berbeda-beda.
"People are created equal"
Terlepas dari unsur biologisnya. Manusia dilahirkan, seperti kertas kosong yang bisa dibentuk, dicoret dan digambar apapun. Sejak saat manusia keluar dari kandungan seorang ibu, disaat itulah nilai-nilai ketidaksetaraan mulai kita pelajari secara sadar dan tidak sadar. Mungkin aku bisa bilang yang secara sadar itu hanya 10-20%. Sisanya 80%, nilai-nilai tersebut masuk ke alam bawah sadar kita melalui panca indra yang kita miliki.
Aku sering sekali mempertanyakan hal ini. Semisal sejak bayi, jika diasuh oleh keluarga yang hidup di hutan sendirian, seumur hidup hanya berinteraksi dengan hewan dan alam (seperti tarzan), bagaimana etika yang dia miliki ketika dewasa disaat harus hidup di society manusia? Atau bagaimana bahasa yang ia dapatkan, ketika seumur hidup dia hanya berinteraksi dengan alam? bagaimana pandangan dia terhadap alam jika dibandingkan dengan enviromentalist saat ini? semua pertanyaan itu mungkin hanya bisa dibuktikan oleh peneliti. Yang aku penasaran apakah semua hal itu sudah terpatri didalam DNA kita, atau semua informasi yang ada di dalam pikiran kita adalah hasil dari pengaruh external. Hipotesaku lebih dari 90% hasil buah pikiran kita berasal dari hal external. Kalau ada yang pernah tau penelitiannya, bisa kasi info ke aku ya.
Kesetaraan itu bersifat subjektif di level individu dan di level kelompok. Tapi ketika kita mencari objektifitas dari kesetaraan ini, justru menurutku yang kita temukan adalah ketidaksetaraan yang makin banyak lagi. Sama seperti diwaktu mencari kesamaan diantara kita atas nama toleransi, justru perbedaan yang didapat. Dan toleransi itu bukan mencari kesamaan, tetapi menyetujui kalau kita berbeda. Mungkin di lain kesempatan aku mau berpendapat mengenai toleransi ini, karena akan menjadi pembahasan yang sangat menarik dan panjang.
"We Create Inequality"
Ketidaksetaraan sudah menjadi stigma kita sebagai mahkluk hidup untuk bisa bertahan hidup. Banyak sekali faktor pembentuk ketidaksetaraan ini. Seperti pengalaman pribadi, dimana dan bagaimana kita dilahirkan, apa dan siapa yang pernah menyakiti kita, dan apa yang diajarkan, dan masih banyak lagi. Semua kompilasi dari pengalaman ini, menyebabkan otak kita memiliki "defense menchanism" tertentu untuk bisa menghadapi hal-hal tersebut dikemudian hari. Kita hanya berkumpul dengan kelompok tertentu saja, menghindari beberapa orang yang menurut kita berbahaya, dan masih banyak lagi yang membuat kita menjadi mengeksklusifkan diri yang berbuah kepada ketidaksetaraan.
Hal-hal diatas menciptakan timbulnya sebuah organisasi, sebuah negara, kerajaan, adanya kasta dan hierarki. Dan menurutku hampir mustahil menciptakan society yang setara jika yang berada di dalam society tersebut adalah manusia. Kecuali jika kita semua sudah tergantikan oleh robot.
Stigma yang melekat kepada seorang individu bisa saja bersifat plural, dan bisa beradaptasi sesuai dengan kebutuhan kita di suatu kondisi tertentu. Misalkan kita sedang berada di tempat ibadah agama kristen. Maka secara tidak sadar, kita sudah terlekatkan oleh stigma bahwa "aku adalah bagian dari agama kristen". Ketika kumpul-kumpul berada di keluarga yang memiliki multi religion, kita tidak akan mengidentifikasi diri kita sebagai agama kristen tulen, karena tahu hal tersebut akan membuat masalah, jadi kita memakai banyak topeng dan akan berlaku seolah-olah kita adalah bagian dari mereka.
Ketika kita berani ke luar negeri yang notabene kiblat manusia pada hakekatnya adalah menghindari pergi ke tempat yang asing, Tapi memberanikan diri dengan menghipnotis diri untuk mengidentifikasikan kalau "Disana masih sama-sama orang asia kok, ga masalah aku kesana", atau "Kita masih sama-sama manusia, jadi pasti aku akan aman-aman saja berada di negara mereja". Dengan menggali-gali informasi lebih dahulu tentunya. Atau masih berkaitan dengan contoh keluar negeri diatas, Misalkan kita mengikuti sebuah tour berangkat dalam kelompok kecil maupun besar, kita akan merasa lebih aman karena memiliki teman bepergian yang "Setara". Menciptakan barrier antara "Kelompok kita" dan "Kelompok mereka".
Refleksi Diri
"Aku melabeli diriku kalau aku adalah manusia, Laki-laki, hetero, memiliki build badan yang tidak terlalu atletis, memiliki ras chinese indonesia, beragama kristen, hidup di kalangan pekerja lepas, Hidup di lokasi yang bisa dibilang A+, Hidup dengan kondisi ekonomi biasa-biasa saja"
"Aku adalah supporter klub Bola MU. Disaat aku menonton olahraganya, aku sudah pasti akan menjadi bagian dari MU, mau siapapun musuhnya. Di sisi lain aku adalah orang Indonesia, memiliki jagoan klub lokal, misalkan persija. Aku akan mengganti identitas dari pendukung MU menjadi pendukung persija (berganti golongan). Ketika persija bertanding, aku tetap akan mendukung persija mau siapapun lawannya. Tetapi jika lingkupnya sudah naik ke pertandingan Indonesia Vs Malaysia, aku mengganti identitas, dari supporter Persija ke supporter Indonesia, meskipun yang duduk disebelahkan misalkan pendukung persib dan pendukung chelsea"
"Aku adalah pecinta musik Indie, dan genre yang aku suka adalah Japanese Rock, maka aku akan menganggap orang yang mencintai musik pop bukan merupakan bagian dari diriku. Aku akan merasa nyaman berkumpul dengan para wibu dan pecinta musik japanese rock lainnya. Ketika ada kelompok lain yang mencela selera musik ku, aku bisa saja bersifat defensive dengan membela diri kalau setiap orang memiliki selera musik masing-masing, bisa saja berdiam diri saja, suapay tidak terjadi perdebatan atau bisa saja aku bersifat offensive mengganggap bahwa selera mereka terlalu mainstream dan ga asyik"
Dan masih banyak lagi jika kita identifikasi satu per satu. Hal itu menyebabkan dalam kondisi tertentu, aku akan berkelompok, entah berkelompok dengan para pekerja lepas lainnya, berkelompok dengan orang-orang yang tidak memiliki badan atletis, berkelompok dengan ras / agama yang sama, berkelompok dengan sesama fans, Dll. Dengan aku mengidentifikasi diriku "sama dengan mereka", menciptakan kedekatan ku dengan orang lain dan rasa aman karena aku tidak sendirian.
"We and Them"
Hal tersebut sudah pasti akan menciptakan terbentuknya stigma : "WE AND THEM" atau kita dan mereka. Hal ini tidak bisa dihindari, mau seberapapun tolerannya kita kepada golongan lainnya. Kita hanya bisa membentengi pikiran kita sendiri. Hanya moral, etika, hukum, dan keterbukaan pikiran saja yang menghalangi kita untuk tidak mencela orang lain dan tetap memanusiakan manusia dan tidak bertengkar dengan mereka.
Tentunya moral, etika, nilai dan hukum, bersikap subjektif tergantung lokasi dimana kita berada dan budaya yang ada ditempat tersebut.
Ketidaksetaraan antar manusia ini membuat manusia bisa bertahan hidup di kondisi apapun. Karena kita berbeda, justru itu membuat umat manusia tetap hidup sampai saat ini. Bisa melewati berbagai macam bencana, sakit-penyakit, perang, dan masih banyak lagi. Bayangkan kalau kita semua adalah satu spesies yang benar2 equal, kehancuran itu sudah pasti.
Loh kok kalau kita benar2 equal kok adanya kehancuran?
Bayangkan jika semua manusia tidak pernah berkonflik, tidak ada perang, maka populasi manusia menjadi terlalu banyak dan resource di bumi kita mungkin tidak cukup untuk menampung manusia yang sangat banyak. Jika Kita menjadi sama semua dalam biologis maupun psikis, maka dengan adanya satu penyakit, semua manusia akan langsung punah. Jika semua manusia berbahagia, maka apalah arti bahagia itu sendiri? Sebuah pernyataan yang sangat filosofis, tetapi akan menjadi pembahasan yang sangat menarik juga yang akan aku bahas di lain kesempatan.
My Belief on This Take,Â
Jadi apa yang seharusnya kita lakukan ?
Aku lebih memilih untuk menyerahkan otoritas kepada alam semesta melakukan tugasnya untuk menyeimbangkan apa yang terjadi di muka bumi ini. Dengan kata lain aku percaya dengan adanya Yin & Yang. Harus ada equality & inequality secara berimbang, yang jahat dan yang baik harus berimbang. Yang kaya dan miskin harus berimbang, Agama dan logika harus berimbang.
Ketika berat di salah satu sisi saja, maka alam semesta yang akan menciptakan sebuah equilibrium baru. Tugas masing-masing individu dari kita adalah menjadi pribadi yang memiliki manner sesuai dengan dimana kita ditempatkan. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Menjadi pribadi setoleran mungkin, menjadi versi terbaik dari diri sendiri dan biarkan alam semesta melakukan tugasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H