Yang kuceritakan benar-benar terjadi akhir-akhir ini. Entah kamu percaya atau tidak, tapi kamu yang memintaku lebih awal untuk setidaknya sekali mencoba bercerita.
Saat awal kejadian, jujur saja perutku mual dan persendian antara tulang-tulang tubuhku serasa copot. Aku yang seorang pemberani ini, setidaknya itu yang kupikirkan kala aku satu-satunya yang tegak dan tidak gentar sedikitpun tatkala menonton film horor atau sesekali mengalaminya secara langsung di antara teman-temanku. Namun, subgenre yang kuceritakan bahkan tak sebanding satu kodi kengerian film-film.
Pernah tahu genre gore yang berdarah-darah? Anggap saja demikian dikurangi darah dan jeritan massal. Yang terjadi bakal membuatmu tak sanggup bereaksi apa pun. Termasuk berteriak panik dan memohon bantuan.Â
Musim panas, baru tiga bulan lalu. Maaf, haruskah kuralat jadi musim kemarau? Yang jelas, cuacanya sedang panas-panasnya saat itu.Â
Aku bahkan bisa nekat tidur di kasur bongkahan es batu bila tak memikirkan kemungkinan terkena radang dingin sehingga kemudian mengurungkannya.Â
Dengan kondisi jalanan yang ramai, panas, dan lalu lalang bercampur bau apak keringat orang-orang yang terlalu banyak pikirannya itu, aku dengan santainya membawa sekantung plastik berisi tiga macam es krim. Satu dengan cone, satu dalam cup, satu lagi dengan stik. Buatku, garis bawahi, itu semua untukku. Jadi kamu tahu seberapa panasnya, bukan?
Meski tidak, anggap saja kamu sedang menyetrika baju di tengah lapangan sepak bola siang hari terik sembari memakai baju hitam yang menyerap kalor. Kalor, jangan salah baca agar tak terlihat konyol.
Kamu tahu pelican crossing di depan pusat perbelanjaan? Yang bunyinya agak menyebalkan sebab seperti satu suara yang diulang-ulang hingga lampu penyeberangan mati dan kita sampai ke seberang jalan. Kwakwakwakwak, saat itu tidak berbunyi seperti ini. Suara yang sangat lain, bahkan mendahului tombol.
'Duarr' kantung plastik berisi tiga buah es krim di tanganku jatuh. Bagian paling memalukan, es krimnya merembes ke lengan baju dan hampir ke celana sebab tertindih. Yang kusadari hanya satu, aku terlampau terkejut hingga pandangan mataku tak mampu berpindah dari apa yang menjadi objek keterkejutan.Â
Orang-orang berlalu lalang semburat sesaat, panik tak karuan, lantas sebagian sama anehnya sepertiku yang terduduk lemas di trotoar.
Hari itu bahkan bukan perayaan pesta halloween dan bukan sesi memukul pinata. Namun tersuguh di hadapanku, confetti merah, putih pucat, dan abu-abu dengan penampakan yang menjijikkan.Â
Satu orang, dua, tiga, kemudian seterusnya, beranjak hilang kesadaran. Terutama ibu-ibu hamil tua yang tadinya sempat meminta didahulukan saat kami bersinggungan di kasir, sepertinya hilang kesadaran dan terantuk tempat sampah di depan.
Hari itu, satu kepala pria paruh baya yang masih mengenakan jas dengan kemeja yang tampak kusut dan membawa satu cup es kopi di tangan, meledak.Â
Bukan kopinya, kepalanya. Ia yang seperti itu masih meneruskan menebar kengerian ada orang-orang dengan berjalan santai tanpa beban ---lebih tepatnya beban tubuhnya berkurang sekitar satu kilo tanpa kepala.Â
Semua terkena efek penonton, tak ada yang mampu melakukan apa pun kecuali menjerit atau melotot sambil memastikan satu-satunya jantung yang dipunyai tidak ikutan meledak. Memanggil ambulan? Aku bahkan tidak yakin harus berkata apa terkait kondisi bapak itu.
Sepekan, dua pekan setelahnya. Kukira dunia akan heboh membicarakan kejadian itu sebagai hal yang mengerikan. Tidak, yang punya kepala jadi sama anehnya dengan yang tidak.Â
Mulai bermunculan tren yang mengkampanyekan hilangnya semua beban pikiranmu hanya dengan mengonsumsi pil stimulasi bom kepala. Head bomb? Yah begitulah bahasanya supaya terdengar wah. Bagiku malah seperti item tersembunyi dalam game yang punya efek menjerumuskan.
Aku juga tak tahu bagaimana hal ini bisa menarik di pikiran orang-orang. Belakangan riset mengenai hubungan hilangnya kepala banyak orang itu dengan tingkat stres yang melanda di negeri ini ---yang sempat porak meski sampai saat ini bukannya lebih membaik--- dilakukan. Dan, kurasa kebanyakan data-data tak logis lebih mudah untuk dikonsumsi banyak orang.Â
Lingkungan yang menggila tiba-tiba ini kemudian membuatku merasa begitu asing. Aku yang sebelumnya mudah berlarut-larut saat di manapun ke dalam buku bacaan karya penulis favoritku, lantas cenderung lebih banyak merasa waswas pada setiap jengkal jalan yang kulalui saat hendak berangkat maupun pulang sekolah. Khawatir dihadang sekumpulan kelompok pendukung stimulan itu kemudian dipamerkan sebagai testimoni keberhasilan mereka.Â
Apapun masalah atau beban hidup yang kamu punya, baik itu menyangkut hidup perseorangan atau kelompok, selama kamu menenggak sebutir pil stimulan itu maka kamu akan terbebas, begitu kata mereka.Â
Tidak perlu takut kekurangan uang untuk makan di tengah kenaikan harga bahan pokok yang semakin melambung, tidak perlu pusing memikirkan bopeng, jerawat atau keriput di muka yang perlu perawatan bermacam.
Tidak perlu membeli sampo atau obat penumbuh rambut sebab kebotakan dini, tidak perlu merasa sakit kepala akibat cecaran sambil lalu yang setiap katanya tak pernah dipikir oleh yang memiliki lisan.Â
Sore itu, tatkala hampir seperempat orang yang kukenal mulai berjalan tanpa kepala, satu pertanyaan terbersit di pikiranku.Â
Jadi, kira-kira apa permasalahan yang pernah kualami dan dapat menempatkanku secara irasional untuk memutuskan mengonsumsi pil stimulan itu di masa mendatang?Â
Namun makin kuingat-ingat, semakin kabur dan semakin tak dapat kutemukan satu pun masalah yang padahal sebelumnya terasa begitu besar dan berat.Â
Mungkin terlampau ngeri dengan alternatif yang ada. Bagaimana bisa segampang itu masalah menghilang seiring kepala yang di dalamnya menyimpan pemikiran atas masalah tersebut menghilang?
'Sudah kamu pertimbangkan dengan baikkah, keputusanmu, teman?'suara dengan getaran yang tak lazim itu menghampiriku atau lebih tepatnya mendekati tabung kapsul miliknya yang menggelinding ke arahku. Crik, crik, ctak. Bunyinya begitu berhenti di ujung sok sepatuku.
Dan aku kebingungan ke arah mana harus menatap sebab pemilik suara tak lagi memiliki apa yang biasanya menempel di atas leher.
Selesai dituturkan oleh 8tanpakonsonan pada 3 Juni 2024, setelah mengendap sekian tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H