Mohon tunggu...
Ani Juwita
Ani Juwita Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMAN 1 Panarukan

Perubahan kecil dalam kelas merupakan awal dari perubahan besar dunia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Potret Keberagaman: Kerukunan Beragama Masyarakat Desa Wonorejo

10 November 2024   20:53 Diperbarui: 10 November 2024   20:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya kerukunan di Desa Wonorejo ini antara lain: 1) kesadaran masyarakat Desa Wonorejo akan pentingnya kerukunan menjadi landasan dalam hidup bermasyarakat. 2) Masyarakat Desa Wonorejo telah mengenal sikap saling menghormati sebagai sebuah tradisi dan norma. 3) Perbedaan agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang baik diantara mereka merupakan hasil dari keyakinan mereka yang kuat dan tradisi saling menghormati tersebut. 4) Tradisi saling menghormati tersebut dikukuhkan dengan interaksi dan komunikasi diantara pemeluk agama yang berbeda. Interaksi tersebut bukan hanya tertumpu pada tokoh-tokoh yang tergabung dalam subuah forum kerukunan namun, lebih dari itu masyarakat juga telah terbiasa meniadakan pebedaan dalam interaksi kehidupan sehari-hari meskipun mereka berbeda agama dan keyakinan. 

Proses Terbentuknya Kerukunan Umat Beragama

Masuknya agama ke suatu daerah akan membawa perubahan dalam masyarakat tersebut. Masyarakat dapat berinteraksi dengan agama lain yang bukan agamanya melalui proses. Masyarakat Desa Wonorejo juga melakukan interaksi tersebut, yaitu untuk membentuk kehidupan berdampingan dengan umat agama lain dilalui proses sangat panjang. Mulai dari dibukanya Desa Wonorejo yang memiliki masyarakat beragama mayoritas Islam.

Awal mula masuknya agama-agama di Desa Wonorejo adalah dimualinya Kristenisasi dari wilayah Jember.  Pertentangan tersebut berupa pertentangan fisik maupun mental. Pertentangan fisik terbuka dilakukan dengan pertentangan btentang batas desa. Sedangkan pertentangan mental lebih diarahkan pada adu opini secara terbuka. Namun pertentangan-pertentangan tersebut diselesaikan dengan jalan komunikasi antar tokoh agama.

            Perilaku masyarakat desa sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang telah disepakati dan berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut oleh masyarakat Desa Wonorejo lebih dikenal sebagai aturan kesopanan, yaitu peraturan yang mengikat mereka dalam berinteraksi di dalam masyarakat. Misalnya harus saling menghormati kepada setiap masyarakat tanpa memandang mereka umat agama  lain. Bergotong royong juga mengedepankan norma yang harus membantu sesama misalnya, bila ada hajatan ditetangga ataupun pada saat membangun rumah.

            Permasalahan-permasalahan keagaaman di Desa Wonorejo juga diserahkan dan dipercayakan pada pemimpin masing-masing agama. Sehingga dari mereka yang dianggap tokoh sebuah agama akan mengatasi persoalan-persoalan keagamaan. Jalan yang paling sering ditempuh dan diutamakan masyarakat adalah berdialog dan bermusyawarah. Yang dibutuhkan disini adalah dialog antar umat beragama dan bukanlah dialog agama. Berdialog merupakan kebutuhan hakiki dari manusia sebagai makhluk sosial. Dialog tersebut lebih diarahkan kepada terciptanya pertemuan pribadi-pribadi yang bentuk konkretnya berupa kerjasama demi kepentingan bersama. Tujuan dari dialog ini adalah memberi informasi dan nilai-nilai yang dimiliki untuk membantu pihak lain yang akan mengambil keputusan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

            Pemerintah memainkan perannya pada saat dialog dan musyawarah yang dilaksanakan tokoh-tokoh agama sebagai penengah dan pelindung. Dalam membentuk kerukunan di Desa Wonorejo pemerintah memberikan pengaruhnya yaitu pada saat diterapkannya P4. P4 telah memberikan pendidikan secara moral tentang keragaman agama dan bagaimana menyikapinya. Pendekatan pemerintah dengan cara memberikan peluang mereka untuk membangun kerukunan dalam masyarakat, melalui penyuluhan-penyuluhan P4. Penyuluhan tersebut terjadi sekitar tahun 1980-an. Ajaran P4 masih terlihat hasilnya meskipun telah punah sejak lama. Pemerintah pada saat itu juga mengucurkan dana lebih untuk pengembangan agama-agama.

Proses pertentangan tersebut membantu mewujudkan tatanan masyarakat yang selaras dan saling menghormati. Sehingga perbedaan agama yang ada di Desa Wonorejo tersebut sudah dianggap hal yang biasa. Keterkaitan antara masyarakat lingkungan dan pemerintah memberikan kesempatan untuk mengembangkan suasana beragama yang kondusif. Dari ketiga elemen tersebut memberikan peranan yang sangat penting dalam pembangunan stabilitas kehidupan beragama di Desa Wonorejo

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerukunan Umat Beragama

Kerukunan merupakan kebutuhan yang paling penting dalam masyarakat multikultur. Kerukunan umat beragama di Desa Wonorejo terbentuk oleh berbagai macam faktor. Faktor yang paling sederhana adalah kesadaran mereka akan pentingnya hidup rukun diantara berbagai macam keyakinan. Masyarakat Desa Wonorejo sangat sadar bahwa mereka harus saling menghormati kepada umat lain dan kegiatan-kegiatan keagamaan umat lain. Mereka menggap bahwa agama itu hanya untuk diri sendiri dengan kata lain mereka tidak boleh merendahkan agama orang lain dan memaksakan agama kepada orang lain.

Kesadaran Semua Umat Akan Pentingnya Kerukunan 

Masyarakat Desa Wonorejo menyadari bahwa mereka berada di lingkungan yang memiliki masyarakat dengan berbagai macam keyakinan. hal yang paling mendasar untuk membentuk kerukunan adalah tidak pernah mempermasalahkan keyakinan orang. Karena agama adalah hak asasi manusia. Karena kesadaran mereka ini lah yang membuat mereka merasa bersatu dan merasa saling memiliki.

Dasar Agama yang Kuat dan Saling Menghormati

Masyarakat yang beragama memiliki akidah atau dasar-dasar untuk berkelakuan. Dengan dasar tersebut mereka memiliki landasan untuk bermasyarakat. Ajaran agama adalah ajaran bagi pribadi masyarakat. Bila dalam masyarakat memiliki berbagai macam agama mereka harus menghormati dan tidak untuk menjadikan agama lain gunjingan.Kerukunan juga bersumber dari orang-orang yang berakidah luwes, yaitu akidah yang bisa menyesuaikan dengan lingkungan.

Agama bukanlah sebuah tujuan dalam hidup tapi agama adalah sarana untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Menurutnya agama akan menjadikan manusia egois dan anarkis bila agama dijadikan tujuan karena amanusia akan merasa agamanya yang paling benar dan akan menyalahkan mereka-mereka yang tidak memeluk agamanya. Sedangkan agama sebagai sarana menyebabkan manusia lebih menghargai dan menghormati orang lain.

Interaksi dan Komunikasi Antar Umat Beragama

Faktor yang juga sangat berpengaruh dalam pembantukan kerukunan adalah interaksi dan komunikasi yang ada dalam masyarakat. Interaksi dan komunikasi tersebut dapat membentuk sebuah pandangan baru tehadap agama umat lain dan membuka pandangan baru untuk menghormati agama lain. Menghormati dan menghargai tersebut juga ditunjukkan dalam bentuk sikap. Antara lain saling mengunjungi dan berkomunikasi dalam sebuah kegiatan. Misalnya hampir semua masyarakat mengatakan bahwa pada saat hari raya agama apapun mereka saling mengunjungi. Pada saat hari raya baik itu Natal, ataupun Idul Fitri semua masyarakat ikut berkeliling untuk memberikan selamat.

            Komunikasi merupakan cara yang tepat yang mereka pilih untuk menghindarkan kesalah-pahaman. Dibentuklah Forum komunikasi antar tokoh-tokoh agama. Kegiatan konkrit mereka adalah doa bersama yang diadakan pada saat syururan panen di bulan Juni setiap tahunnya. Kegiatan tersebut dilaksanankan bersama-sama dan di pusatkan di Makam / Petilasan Mbah Jelun.

Tradisi ritus hidup masih dilakukan masyarakat secara umum bahkan tidak mengenal batasan agama. Selamatan terutama selamatan kematian sudah dianggap sebagai adat. Selamatan kematian dari hari ke tiga, tujuh hari, empat puluh hari seratus sampai seribu hari baik dari agama Islam, Kristen, dan Katholik juga memperingatinya selamatan desa telah menjadi bagian dari adat Desa Wonorejo yang setiap tahun dilaksanakan. Bukan hanya selamatan kematian namun selamatan desa, pernikahan, kelahiran juga menjadi adat atau kebiasaan yang tidak dapat ditinggalkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa disebagian lingkungan (dusun) selamatan pada saat Maulid Nabi Muhammad yang seharusnya hanya diperingati orang Islam juga diperingati umat lain.

Kerja Sama Antar Umat Beragama

Kerja sama yang dibangun masyarakat pun memberikan arti tersendiri pada terbentuknya kerukunan diantara mereka. Kerjasama tersebut sering kali diwujudkan dalam pembangunan rumah maupun pembangunan tempat-tempat ibadah. Menurutnya gotong royong untuk membangun rumah sudah menjadi tradisi atau kebiasaan akan saling membantu. Namun saat ini sebagian dari gotong royong tersebut juga dipekerjakan kepada orang lain.

Pembangunan tempat ibadah juga dilakukan secara bersama-sama. Masyarakat Desa Wonorejo yang saling membantu membangun masjid atau mushala. Misalnya pada saat pembangunan mushala utara Dusun Wonorejo, dari umat Budha juga ikut membantu baik dari tenaga maupun material.

Pemerintah

Pemerintah juga berpendapat bahwa kerukunan tersebut merupakan hasil jerih payah yang diupayakaanya. Kerukunan di Desa Wonorejo ini terbentuk atas budaya yang telah melekat pada masyarakat dan dibantu oleh pemerintah sebagai payung dan pelindungnya. Kerukunan belum merupakan nilai terakhir, tetapi baru merupakan suatu sarana yang harus ada untuk mencapai tujuan yang lebih jauh yaitu situasi aman dan damai.

Pemikiran yang Muncul Akibat Terbentuknya Kerukunan Beragama

Kesadaran masyarakat Desa Wonorejo akan pentingnya kerukunan menjadi landasan dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat Desa Wonorejo telah mengenal sikap saling menghormati sebagai sebuah tradisi dan norma. Perbedaan agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang baik diantara mereka merupakan hasil dari keyakinan mereka yang kuat dan tradisi saling menghormati tersebut.

Tradisi saling menghormati tersebut dikukuhkan dengan interaksi dan komunikasi diantara pemeluk agama yang berbeda. Interaksi tersebut bukan hanya tertumpu pada tokoh-tokoh yang tergabung dalam subuah forum kerukunan namun, lebih dari itu masyarakat juga telah terbiasa meniadakan pebedaan beragama dan keyakinan dalam interaksi sehari-hari. Interaksi dan komunikasi tersebut diwujudkan dalam berbagai kerja sama antar umat beragama.

Kerukunan yang terbentuk tersebut membangun sebuah tatanan kehidupan yang penuh dengan toleransi, saling menghormati, saling pengertian, dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.

Abdullah, Taufik. 1989. Agama Sebagai Kekuatan Sosial: Sebuah Ekskursi di Wilayah Metodologi Penelitian. Dalam "Metodologi Penelitian Agama", penyusun Taufik Abudullah dan M. Rusli Karim (ed). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Hendropuspito. 2006. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Robertson, Roland (ed). 1988. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: CV. Rajawali.

Suryabrata. 1988. Metodologi Penelitian. Jakarta: Aksara Baru.

Yaqin, M.Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural. Cross-Cultural Understanding untuk demokrasi dan keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun