Sesuatu hal yang baru tidak selalu dapat diterima atau dilakukan dengan mudah. Tadinya ada teman sekarang sendirian. Tadinya manual sekarang serba otomatis dan online. Tadinya ramai sekarang sepi. Tadinya banyak sekarang tidak terlalu banyak.Â
Masih banyak lagi. Apakah itu perubahan yang memang kita inginkan sendiri, terpaksa dialami karena kondisi, atau memang diharuskan melakukannya. Beberapa diantara kita mungkin merasa adanya perubahan itu akan membuat menjadi lebih baik, tapi ada juga yang merasa menjadi beban.
Perubahan akan selalu ada, bahkan untuk hal yang kita pikir bersifat permanen. Sebuah filosofi Yunani kuno, Heracletos (540 -- 480 seb. M), mengatakan "tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri". Dalam realitanya perubahan akan selalu terjadi, atau malah perlu terjadi, dalam semua hal walaupun terkadang hanya berubah tingkatannya saja.Â
Ini kenapa kita perlu kemampuan untuk beradaptasi. Proses adaptasi ini dimulai dari menyadari perubahan tersebut, menganalisa, menerima, dan pada akhirnya menyesuaikan dengan perubahan tersebut.
Di tahap awal dimana kita menyadari adanya perubahan tersebut, ada berbagai respon yang bisa terjadi. Respon tersebut bisa menolak, meragukan, atau bahkan langsung menerima. Penolakan atau keraguan wajar terjadi apalagi jika perubahan tersebut ada di hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan, suatu norma bahkan budaya. Ini berarti merubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru.Â
Kesadaran untuk merubah kebiasaan bisa dari eksternal dan internal diri kita. Kita bisa saja langsung menyadari dan menerima perubahan kebiasaan ini karena diri kita sudah memahami pentingnya, atau perlunya, perubahan tersebut. Atau bisa saja karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik selain menerima perubahan itu.Â
Namun ada juga yang perlu dibantu dari pihak eksternal untuk proses penerimaan ini. Pihak eksternal bisa dari keluarga, rekan, kolega, lingkungan, sampai ke sistem jika kita berbicara perubahan kebiasaan di skala lebih luas.
Proses ini tetap akan kembali ke diri kita, karena diri kita adalah inti dari segalanya. Apa yang bisa kita lakukan apabila kita merasa tidak bisa menerima, mengikuti atau menjalani kebiasaan baru tersebut?
Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Namun sebelumnya kita perlu mengukur kadar emosi dan ego kita. Baik emosi dan ego memang diperlukan namun kita perlu mengelolanya secara tepat agar tidak mempengaruhi kenetralan, logika dan perasaan kita.Â
Satu hal lagi yang menurut saya sangat diperlukan, yaitu kejujuran kepada diri kita sendiri. Tapi saya tidak tahu bagaimana mengukurnya. Just be honest to yourself. Dengan jujur kepada diri sendiri akan memudahkan kita untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kebiasaan baru tersebut.Â
Setelah kita bisa mengelola emosi dan ego kita secara tepat, kita bisa mencoba menanyakan ke diri kita sendiri beberapa pertanyaan. Misalnya faktor apa saja yang membuat kita tidak menerima perubahan kebiasaan ini. Seberapa kuat apabila kita mencoba untuk menjalaninya.Â
Apa yang terjadi jika kita menerima kebiasaan baru ini. Apa rugi dan untungnya untuk kita. Dan seterusnya. Kita bisa mencoba membuat daftar pertanyaan dan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itu kenapa perlu menjaga dan mengelola ego dan emosi, karena proses ini hanya bisa dilakukan apabila kita dalam kondisi tenang dan tidak bias.
Kita juga bisa mendiskusikan dengan orang lain, memperbanyak bertanya pada orang atau pihak lain. Nah, sebetulnya di proses ini kita juga harus mawas diri. Kenapa? Karena ini sama dengan memilih lingkungan pertemanan, memilih kemana jalan yang kita tuju, memilih persepsi dan pola pikir yang akan kita pegang. Kita secara tidak langsung akan bercermin pada lingkungan terdekat kita atau lingkungan yang kita percayai.Â
Jadi menurut saya kalau mau bertanya ke pihak eksternal terkait perubahan kebiasaan yang kita hadapi, pastikan lingkungan eksternal ini bisa mendukung kita atau memberikan support, dan bisa memberikan opini secara netral atau memberikan opini yang lebih beragam. Opini-opini inilah yang nanti bisa digunakan untuk bahan perenungan dalam menentukan sikap kita.
Untuk beberapa orang mencoba secara langsung perubahan kebiasaan baru tersebut bisa menjadi alternatif untuk menentukan sikap atau tingkat penerimaan. Walaupun mungkin pada akhirnya mau tidak mau harus membiasakan diri terhadap perubahan kebiasaan tersebut.Â
Dengan mencoba langsung menjalaninya bagi beberapa orang bisa meningkatkan "adrenalin" dan menjawab rasa penasaran. Jika target akhirnya perubahan baru ini harus dibiasakan, maka kita bisa mengkombinasikan antara hasil setelah mencoba kebiasaan baru tersebut dengan pemikiran kita.Â
Pemikiran kita ini bisa diperoleh dari opsi bertanya kepada diri sendiri, berdialog dengan lingkungan eksternal atau hal-hal lain yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan afirmasi dari diri kita.
Membiasakan sebuah kebiasaan baru adalah sebuah proses. Dalam proses tersebut, kalau kita mau lebih melihat secara mikro, kita akan menemukan seperti apa karakter kita dalam menyikapi perubahan kebiasaan tersebut. Tindakan, sikap, pola pikir, dan keputusan kita mencerminkan diri kita.Â
Apakah dalam prosesnya itu berat ataupun ringan, sulit ataupun mudah, semua adalah proses yang mempengaruhi pembentukan kepribadian. Pada akhirnya kita diharapkan bisa berkompromi atau menyesuaikan diri dengan perubahan. Toh bukankah perubahan akan selalu tetap ada?
Nie, 01Jun2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H