[caption id="attachment_172564" align="aligncenter" width="300" caption="gambar:hair3.blogspot.com"][/caption]
Aku berlari dengan senyum buncis yang sumringah. Ya, sebentar lagi. Kakiku berjalan semakin cepat. Pintu itu sudah dekat. Pintu kayu berwarna cokelat tua, yang masih sama ketika dulu kutinggalkan. Kuletakkan dua koper yang kubawa di depan almari kaca besar. Tempat istimewa ketika aku masih belia.
Poster kecil yang masih sama, kudapati tetap melekat di pojok kiri atas kaca dengan ukuran dua kali lipat tinggi badanku. Bergambar sosok lelaki dengan alis tebal dan mata yang membulat. Artis dari Punjab yang ketampanannya selalu membius siapa saja yang hendak bercermin di depan kaca, sepertiku. Kemudian aku bertanya kepadanya. Hai, kaca. Siapa yang paling cantik di dunia ini? Eh, di depan kaca ini? Hihi, aku selalu tertawa ngikik di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Setidaknya hal ini sempat membuat Ibuku cemburu.
.
“Ealah ndhuk, tibakne kamu sudah pulang toh!”
“kok gak nyalami aku?”
“Piye kie?”
Seorang wanita tua mengenakan jarik lurik menyapaku. Rambutnya rata dirayapi uban. Melambai ke arahku. Tangannya berayun seperti daun yang tertiup angin. Mengisyaratkan seruan atau mempersilahkan kehadiran. Entahlah, aku tak begitu paham.
Yang aku ingat, kemudian aku semakin mempercepat gerak langkahku. Bukan lagi memburu pintu-pintu itu. Bukan. Aku ingin segera mendekat dengannya. Wajahnya. Senyumnya, memang tak lagi sama. Ah, tapi itu bukan masalah lagi buatku. Apalagi kebiasaannya yang selalu meludah di depan pintu. Aku sama sekali tak lagi mempermasalahkannya. Ya, setidaknya aku sudah sampai pada usia ini. Kurasa memang tak pantas lagi untuk aku selalu berseberangan dengannya.
“Mbah, sebentar lagi ya?”
Setengah berteriak aku menatap ke arahnya. Kurang beberapa langkah lagi. Ya, aku meyakinkan hati. Aku ingin segera sampai di dekatnya. Memegang wajahnya, kemudian menciumnya. Sama seperti ketika kecil dulu pernah kulakukan. Meski kini lipatan-lipatan kulit yang berkerut pada dahinya, sudah tak bisa lagi menutupi masa senjanya.
Ah, hah! Apa-apan ini? Mendadak kakiku tak bisa digerakkan. Seakan seseorang sengaja mengeratkan seutas tambang pada pergelangan kakiku. Aku sama sekali tak bisa berpindah tempat. Semakin kucoba memberontak, Terasa tambang itu semakin keras dieratkan. Hah! Aku semakin heran.
“Belum waktunya, ndhuk…!”
Dengan senyum yang memucat, tangannya melambai. Meninggalkanku sendiri yang masih berusaha lepas dari tambang-tambang yang mengikat kakiku. Bantalku terjatuh, ketika waktu bersamaan terdengar sayup-sayup seruan azan dari hape yang selalu otomatis aku pasang alarm set sholat lima waktu. Isya’ time now, don’t be lazy! Tertulis jelas pada layar hapeku. Klik. Ku matikan alarm!
*Niatnya mau bikin status di facebook, kok malah kepanjangan gene* ^___^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H