Mohon tunggu...
Ani Ramdhan
Ani Ramdhan Mohon Tunggu... lainnya -

Kalau kamu suka baca, sebaiknya cari pasangan itu yang sehobi. Yakni sama-sama suka baca. Nah, emang apa alasannya? Gak nyambung kali! Yaah, boleh di coba deh. Jika suatu ketika kalian sama-sama garing dan ngebosenin, setidaknya tidak dengan apa yang kalian baca itu. #quotengawur:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ba'da Magrib

3 April 2012   15:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:04 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333465790850674192

[caption id="attachment_172564" align="aligncenter" width="300" caption="gambar:hair3.blogspot.com"][/caption]

Aku berlari dengan senyum buncis yang sumringah. Ya, sebentar lagi.  Kakiku berjalan semakin cepat. Pintu itu sudah dekat. Pintu kayu berwarna cokelat tua, yang masih sama ketika dulu  kutinggalkan. Kuletakkan dua koper  yang kubawa di depan almari kaca besar. Tempat istimewa ketika aku masih belia.

Poster kecil yang masih sama, kudapati tetap melekat di pojok kiri atas kaca dengan ukuran dua kali lipat tinggi badanku.  Bergambar sosok lelaki dengan alis tebal dan mata yang membulat.  Artis dari Punjab yang ketampanannya selalu membius  siapa saja yang hendak bercermin di depan kaca, sepertiku. Kemudian aku bertanya kepadanya. Hai, kaca. Siapa yang paling cantik di dunia ini? Eh, di depan kaca ini? Hihi, aku selalu tertawa ngikik di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Setidaknya hal ini sempat membuat Ibuku cemburu.

.

“Ealah ndhuk, tibakne kamu sudah pulang toh!”

“kok gak nyalami aku?”

“Piye kie?”

Seorang wanita tua mengenakan jarik lurik menyapaku. Rambutnya  rata dirayapi uban. Melambai ke arahku.  Tangannya berayun seperti daun yang tertiup angin. Mengisyaratkan seruan  atau mempersilahkan kehadiran. Entahlah, aku tak begitu paham.

Yang aku ingat, kemudian aku semakin mempercepat gerak langkahku. Bukan lagi memburu pintu-pintu itu. Bukan.  Aku ingin segera mendekat dengannya. Wajahnya. Senyumnya, memang tak lagi sama. Ah, tapi itu bukan masalah lagi buatku. Apalagi kebiasaannya yang selalu meludah di depan pintu. Aku sama sekali tak lagi mempermasalahkannya. Ya, setidaknya aku sudah sampai pada usia ini. Kurasa memang tak pantas lagi  untuk aku selalu berseberangan dengannya.

“Mbah, sebentar lagi ya?”

Setengah berteriak aku menatap ke arahnya. Kurang beberapa langkah lagi. Ya, aku meyakinkan hati.  Aku ingin segera sampai di dekatnya. Memegang wajahnya, kemudian menciumnya.  Sama seperti ketika kecil dulu pernah kulakukan. Meski kini lipatan-lipatan kulit yang berkerut pada dahinya,  sudah tak bisa lagi menutupi masa senjanya.

Ah, hah! Apa-apan ini?  Mendadak  kakiku tak bisa digerakkan. Seakan seseorang sengaja mengeratkan seutas tambang  pada pergelangan kakiku.  Aku sama sekali tak bisa berpindah tempat. Semakin kucoba memberontak, Terasa tambang itu semakin keras dieratkan. Hah! Aku semakin heran.

“Belum waktunya, ndhuk…!”

Dengan senyum yang memucat, tangannya melambai. Meninggalkanku sendiri yang masih berusaha lepas dari tambang-tambang yang mengikat kakiku.  Bantalku terjatuh, ketika  waktu bersamaan terdengar  sayup-sayup  seruan azan dari hape yang selalu otomatis aku pasang  alarm set sholat lima waktu. Isya’ time now, don’t be lazy! Tertulis  jelas pada layar hapeku. Klik. Ku matikan alarm!

*Niatnya mau bikin status di facebook, kok malah kepanjangan gene* ^___^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun