Mohon tunggu...
Ani Ramdhan
Ani Ramdhan Mohon Tunggu... lainnya -

Kalau kamu suka baca, sebaiknya cari pasangan itu yang sehobi. Yakni sama-sama suka baca. Nah, emang apa alasannya? Gak nyambung kali! Yaah, boleh di coba deh. Jika suatu ketika kalian sama-sama garing dan ngebosenin, setidaknya tidak dengan apa yang kalian baca itu. #quotengawur:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jakarta Bukan Hong Kong

28 Oktober 2011   15:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:21 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deru mobil merayap dengan kecepatan rata-rata. Raga kami masih berpagut kaku. Aku duduk sebangku dengan sahabat yang bertaut usia sekitar dua kali umurku, Om Handoko. Lelaki Padang, sosok tangguh yang terkenal sebagai jelajah rantau ada padanya yang selalu bersemangat. Berbincang apa saja. Kabar tanah air selang waktulima tahun yang sudah ku tinggalkan. Tentang bocah-bocah jalanan yang semakin merayap di jantung kota. Pemerkosaan menimpa gadis-gadis ‘terpilih’ yang terjadi di angkot-angkot malam. Sampai banderol cabai yang harganya melangit, bisa mengalahkan banderol bensin perliternya.

Sementara di sebelah kiri sopir, lelaki bertubuh tambun yang selalu santun, Om Edi Baskoro. Kesibukannya mengajar di salah satu universitas terkemuka negeri ini, tak membuatnya harus memilah diri dalam berkawan. Bercerita apa saja mengenai kondisi politik tanah air. Menceritakantawar-menawar antara beberapapartai politik dalam menyusun suatu kabinet koalisi, lebih dikenal dengan nama politik dagang sapi. Haha, aku tertawa setelah mendengarnya. Ternyata bahasanya merakyat sekali ya Om?

“Ada yang lebih merakyat lagi ndhuk. Masih kenal si kancil kan?”

“Ha, apa hubungannya Om?” Tanyaku heran.

“Bagaimana sifatnya?”

“Cerdik dengan segala macam tipu daya?” Sahutku ringan.

“Haha, pinter ndhuk. Politik kita banyak di isi pemain sepertisi kancil, yang kamu kenal itu.” Urainya gamblang. Seisi mobil mengiyakan.

Di bagian belakang ada kamu dan Arif, temanmu. Lajang jawa yang mempunyai rupa seperti artis korea. Kulitnya putih, hidungnya tak kalah dengan perawakan keturunan. Dan sepertinya, tak pantas kalau dia hanya tidur di kost-kost an. Seperti ceritamu, tentangnya kepadaku. Nasib saja yang membuatnya berbeda.

***

“Nda, mau makan di mana?”

“Terserah.” Jawabku dengan senyum simpul.

“Kok terserah sih,Nda mau makan apa?”

“Perutku masih kenyang, kok. Tadi dapet lunch di Pesawat.”

“Resto Padang yuk?”.

Dan kami mengiyakan saja. Berpuluh piring menu makanan disajikan. Lelehan minyak dan santan yang mengental itu membuatku mual. Lima tahun sudah berlalu di hariku tanpa santan, sambal dan tetek bengeknya yang berbau Indonesia banget itu. Paling banter, yang bisa kuuber adalah sambel goreng tempe di Toko Baru, daerah Newterritorries. Dan itupun harus antri, bahkan berebut. Tidak terbayang kan, untuk dapat membuat lidah bergoyang saja harus antri?

“Oh, mungkin lidahnya sudah berubah seperti orang cina ya mbak? Makanan senikmat ini kok di sia-siakan, haha...?” Sopir yang kusewa menyatu dalam bincang kami. Menyantap beberapa sajian dengan lahap. Keringat mengucur dari pelipisnya yang legam. Nampak raut kelelahan dalam rona wajahnya. Pekerja keras.

***

Setelah rampung dengan segala urusan, akhirnya aku berpisah dengan para sahabat. Menghabiskan hari bersama sosok berbeda, menyisakan kesantakzim yang tak dapat terganti oleh apapun. Sosok yang luar biasa.

“Sekarang mau ke mana, Nda?”

“Ancol. Aku ingin pergi ke sana. Bukankah ini tempat yang indah di kotamu?”

“Siap, tuan puteri. Apa sih, yang tidak kulakukan buatmu hehe...”

Aku hanya tersipu melihat mimik wajahmu yang  mendadak lucu. Kutepuk pelan punggungmu yang bidang. Paling tidak, kamu telah mencairkan kelu lidah yang tak dapat berkata dengan mudah. Bahkan, sebongkah karang yang tiba-tiba menyekat di bilik hati kita, tiba-tiba engkau hancurkan dengan senyum berlesung di pipimu.

***

“Pokoknya teh botol sosro!” Aku tidak hanya merengek. Setengah memaksa tak ada lagi jaim-jaim an.

“Eh, tahu gak sudah lima tahun loh, aku tidak merasakan nikmatnya teh ini, hehe...?” Tak terasa kebekuan di antara kami semakin mencair. Seperti cairan teh botol sosro yang tak terasa sudah mengalir melalui kerongkonganku yang kering. Suhu Jakarta panas.

***

“Nda, kenapa tidak memanggil namaku?”

“Eh, ehm...memangnya kenapa?” Mendadak aku tegang.

“IndraGading Ganika. Masih ingat namaku kan, Nda?”

“I, iya...”

“Nda, kan bisa panggil nama. Atau, panggil nama sayang seperti biasanya.”

“Ehm, hun aku pengen minum es kelapa muda?”

“Hehe, gitu dong Nda. Didengarnya enak kan?. Kami pecah dalam tawa. Tatap mata pun bukan lagi segan.

Siang itu kita sempat berbaur sebentar di konser musik legendaris idolaku, di Ancol. Tanpa kesengajaan. Dan inilah mukjizat Tuhan yang sering kita lupakan. Bahwa, perasaan normal dan sering terjadi dalam ketidak sengajaan seringmembuat kita lupa bahwa itu adalah anugerah.

“Panas. Pindah yuk!” Sahutku.

“Jalan ke Mall yuk. Hunting apa saja yang penting ada diskonanannya.” Kembali, kami disatukan dengan tawa yang membahana. Dan hanya kita berdua. Seolah jemari kita menyatu tanpa perekat. Menggenggam dunia tanpa batas jeda.

“Mulai sekarang, dunia milik kita berdua, Nda. Yang lainsuruh ngontrak saja. Hahahaha....” Aku tak kuasa menahan tawa oleh tingkah jenakamu.

***

Kotamu macet ya? Panas. Berdebu. Padat. Aku menggerutu dan kamu hanya tersenyum. Indonesia Nda, itulah jawabmu ringan. La Gus Te. Sebuah toko roti besar dengan brand ternama dari Italia. Aku menikmati roti panggang bertabur kismis. Segelas orange juss melengkapi. Dan aku tahu, kamu tidak suka roti. Bilamana saja kamu dapat berubah. Tetapikamu tidak.

Petang kedua di kotamu. Aku berdiri di tepi jembatan gantung yang berkerumun penjaja makanan. Martabak telor sudah ada di genggamanmu. Panas. Tetapi tetap lahap untuk kamu santap. Dan kamu bilang ‘inilah makanan kesukaanmu’.Lagi-lagi kamu bisa membuatku tersenyum dengan tingkah spontanitas itu.

Pluk!

Kertas pembungkus itu ‘terlantar’ di pelataran parkir. Aku protes. Kenapa harus dibuang sembarangan? Haha, gak pa-pa kok Nda. Tuh, tukang sapunya. Ada noh! Jemarimu menunjuk ke arah tukang sapu renta itu. Ku ambil pembungkus martabak itu. Ku lempar sigap ke tempat sampah di arah lima kaki dari posisiku semula. Tuh, kan! Gampang kan? Aku mendadak sewot karena permasalah kecil ini.

“Ini Jakarta, Nda. Kotaku. Sudah tiga puluh tahun aku hidup dan dibesarkan di sini.!Aku mengerti bagaimana menjadi empu di kandang si Tuan?”

Aku diam. Aku memang tak mengenal kotamu...

[caption id="attachment_140112" align="aligncenter" width="571" caption="google.com"][/caption]

Kamar. 22.46.28.10.11

Newterritories, Ketika kita mulai menyatu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun