Mungkin bagi sebagian orang, menjadi pemimpin itu hal yang mudah. Tinggal utus bawahan, beri perintah dan semuanya pasti beres, mudah dilihat. Tapi, mereka tak mengetahui bagaimana aku harus memutar otak setiap saat.Â
Memimpin sebuah tim maupun negara, kukira cara kerjanya sama. Kita harus bisa bertahan di antara tuntutan dari para "elit" yang lebih tinggi dari kita.Â
Aku sudah menjalani ini lebih dari sepuluh tahun. Memimpin sebuah negara bernama Joypu, sedikit pun tidak pernah aku merasakan tidur nyenyak, makan enak, atau merasa aman di setiap harinya.Â
Selalu ada pihak kuat yang mendikteku ini dan itu. Tuntutan sempurna mungkin masih bisa aku ikuti. Tapi, ketika mereka memintaku untuk menyetir sebuah kehancuran, aku menyerah untuk itu.Â
"Dean, kau sudah tau konsekuensinya, kau juga sudah tau mereka akan meminta ini. Kenapa kau tidak mundur saja? Cari atasan lain yang lebih manusiawi, kau tidak perlu lagi bekerja dengan iblis seperti dia," ucap kakakku, Mianan. Iya, dia sangat tau cara kerja dunia ini, dia juga tau bagaimana kehidupan manusia disetir atas kemauan dan keserakahan mereka yang mengatasnamakan raja dari para pemimpin.Â
"Tidak semudah itu, aku tidak mungkin meninggalkan mereka begitu saja. Ini tanggung jawabku, biarkan aku mencari celah untuk membela rakyatku. Mereka tidak tau apa-apa, aku tidak ingin menjerumuskan banyak orang," jawabku.Â
"Mau sampai kapan, Dean? Jika seperti ini terus, kau akan mati sebelum negara ini terbentuk." Suara kakakku meninggi, ia marah, aku tidak bisa mengelak.Â
Memang benar, jika seperti ini terus negara yang aku inginkan tidak akan berdiri sesuai rencana. Tapi, jika aku melawan dan memberontak, bukan hanya negara ini yang tidak akan terbentuk, tapi dunia ini juga bisa dihancurkan oleh mereka. Â
"Aku akan bekerja lebih keras lagi, Kakak. Aku yakin aku bisa, negara ini pasti akan berdiri dengan kokoh meskipun bukan aku yang memimpin nantinya."
Mianan melirikku, rahangnya terjatuh mendengar jawaban dari mulut kecilku ini. "Lalu, untuk apa kau berjuang mati-matian, jika pada akhirnya kau mati, Dean? Kau mungkin lupa, bukan hanya rakyatmu yang membutuhkan perhatian dan kehadiranmu, tapi juga ada keluarga dan anak-anakmu yang setiap saat berdoa untukmu. Apa kau bahkan pernah sadar akan hal itu? Apa kau pernah menengok sedikit saja pada mereka? Tidak, bukan? Kau hanya fokus pada rakyatmu, kau terlalu fokus dengan kesejahteraan orang lain, dan mengabaikan kesejahteraan dirimu sendiri. Lawan, Dean! Ini waktunya kau bertindak, jangan terus menurut ketika mereka menuntut ini dan itu padamu. Lawan, Dean! Lawan!"