Dalam era informasi ini, banyak sekali tulisan-tulisan beredar dan kita bisa mendapatkan pengetahuan dengan mudahnya, kita juga bisa menulis tulisan kita sendiri dengan mudahnya. Masalahnya, kemudahan ini pun menjadikan buku-buku yang diterbitkan menjadi berkurang kualitas isinya, dan tidak jarang kita menemukan buku yang isinya tidak bermanfaat. Akhirnya buku hanya sekedar menjadi komoditas pemasaran saja, namun sedikit sekali buku-buku yang dikenang oleh sejarah dijadikan pembelajaran dari masa ke masa.
Setiap penulis tentu mengharapkan tulisannya dapat bermanfaat bagi orang lain. Namun, lebih dari itu, kita sebagai penulis menginginkan agar tulisan kita bisa bermanfaat tidak hanya sekarang, tapi terus menerus dari masa ke masa. Ketika kita meninggal, dunia akan terus mengingat kita lewat karya.
Dengan kondisi dunia kepenulisan yang penuh kompetisi ini, semakin lama kita lupa apa tujuan awal kita menulis. Kita akhirnya menuliskan apa saja yang bisa laku di pasar, melupakan isi dan bobot tulisan. Buku-buku yang kita terbitkan akan laku sekali jual saja, tapi tidak pernah menjadi karya besar kita, yang bisa membuat kita diingat dunia. Jika kita menuliskan karya yang berkualitas, maka sukses akan mengikuti. Lalu bagaimana caranya?
Ibnu Khaldun, seorang sejarawan besar Islam, menuliskan karya besar dalam bukunya berjudul Muqaddimah. Buku ini telah menjadi rujukan utama ilmu-ilmu sejarah, dan terus digunakan hingga sekarang. Dalam pendahuluan buku itu, Ibnu Khaldun memberikan kita hikmah bagaimana ia bisa menghasilkan karya besar tersebut.
Muqaddimah
Muqaddimah karya Ibnu Khaldun berisi tentang ilmu sejarah, bagaimana sejarah bisa bermanfaat bagi kita untuk memahami kebenaran masa lalu, atau bahkan memprediksi masa depan. Ia menuliskan ini karena melihat sarjana generasinya dan selanjutnya tidak menelaah sejarah dengan baik. Lewat karyanya, dia berharap akan membuka pikiran dan membuat sejarawan yang akan datang lebih kritis dalam melihat sejarah, tidak sekedar mengutip tanpa memberikan analisa kritis. Dia mempersembahkan karyanya tersebut untuk perpustakaan, yang kemudian digandakan untuk dibaca para ilmuan.
Kita bisa belajar banyak hal dari Ibnu Khaldun. Bagaimana agar bisa menjadi penulis sukses dan menciptakan karya-karya besar.
1. Tidak Menginginkan Harta dan Ketenaran
Standar sukses yaitu menjadi orang kaya dengan berbagai bidang dan profesi sudah menjadi paham yang dianut oleh mayoritas masyarakat modern. Kita ingin menjadi penulis yang sukses--dimaknai dengan penulis yang tulisannya bisa menjadi best-seller, mendapatkan royalti banyak dan menjadi artis dadakan seperti J.K. Rowling. Nama kita akan terpatri dalam sejarah, plus jadi milyuner. Memang menginginkan harta dan ketenaran tidak bisa dipungkiri zaman modern seperti ini.
Coba kita tengok Ibnu Khaldun. Pada zamannya, menulis buku tidak diperjualkan seperti di toko-toko buku seperti sekarang. Tapi ingat, Ibnu Khaldun memberikan karyanya ke perpustakaan, bukan berarti memberikan secara gratis ke perpustakaan. Memberikan ke perpustakaan pada saat itu artinya memberikan karya kepada Raja, dan apabila Raja menganggap karya tersebut bagus, akan diberikan uang yang banyak oleh Raja, sekaligus kelas sosial dan ketenaran. Bahkan pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah sebelumnya, menulis buku akan digaji dengan emas seberat buku itu.
Mari kita bayangkan, mungkin tidak sedikit para cendikiawan yang menginginkan harta dan kedudukan yang diberikan langsung oleh Raja. Sama seperti sekarang orang banyak menginginkan gaji banyak dari royalti dan jadi populer seperti artis. Tantangan untuk mengendalikan motivasi berkarya bisa jadi sama, meskipun konteks kita dan zaman Ibnu Khaldun berbeda.