Mohon tunggu...
Ani Istiqlalia
Ani Istiqlalia Mohon Tunggu... -

Penggemar salad

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perkenalkan, Namaku Angin...

1 Oktober 2014   22:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:45 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Entah dengan cara apa...harus kubahasakan luka ini,
dengan apa lagi??
Seperi kura-kura yang perlahan mendekati cahaya
Tertatih,
aku mencoba berdiri
sekuat rasa yang ku punya,
mengejarnya,
hingga waktunya batu karang mulai memipih,
sampai camar kehilangan arah pulangnya,
aku masih terus merangkak
bagai laba-laba dengan satu kakinya yang patah
serupa mata tanpa retina
sinar itu lambat-lambat menyirna
Aku dalam kepayahan,
ketika hembusan topan menerpaku hingga jatuh
Lagi,
kemudian lagi,
dan lagi
tak ada yang terdengar,
selain jeritku yang menggaung memantulkan kengerian di semua penjuru semesta.
Mungkin Ar-Rashy yang agung pun terguncang.
“Allahuakbar!!!“
Bibirku kelu menahan dinginnya masa.
gelombang-gelombang darah dalam tubuhku membatu tersihir olehnya
Berriak-riak,
Namun ku rasa bebintang di balik lembah sana
Hanya menertawakanku
Mengolok-olokku.
Saat malam mencapai puncaknya.
Dan tulang-tulang terasa lebih seperti es.
Tangan lembut-NYA mengusapku dari debuan sesal, lelah,
Menggiringku..
Bersama, bersembunyi di balik bukit,
mengintai bebintang yang masih dalam tawanya,
dan Dia berbisik lembut di telingaku,
“kamu tak pernah sendiri, selalu ada Aku selama kamu ingin selalu dekat dengan-KU.“
Ku buka mataku lebar-lebar,
kemudian ku lihat senyum-NYA,
mengantarku pada pagi.
Subhanallah..

Kepada hati
yang tak pernah letih untuk terus berharap

Maukah engkau mendengarkan saja, apa yang bersuara dari kalbuku?
Aku hendak memetik bebintang yang dulu pernah menertawakanku.
Mungkin dengan sedikit kemenangan atas mimpi yang kugenggam di tanganku. Tapi masih bolehkah aku membuka tirai kejujuran untuk waktu ini saja?
Lamat-lamat, masih ku rawat taman-taman kecil di beranda istana mini dalam dongengku. Selalu, tak pernah terlambat, untuk menyirami setiap bunga yang siap bermekaran. Ku jaga wanginya meski senja kadang mencuri indah warna saganya. Tak pernah menggerutu dengan terik yang berlebihan hingga membuat tangkai-tangkai bungaku mengering. Tak pernah mengeluh atas akar-akarnya yang kemudian membusuk dan mati. Yah... aku kembali, dengan sebungkus biji bunga yang bakal ku tanam sebagai pengganti. Terus, menyemaikan pupuk agar subur dan asri tiap aku menjumpa. Kau tahu??
Aku tersenyum menatap bunga-bungaku yang menawan, menyejukkan. Sama.
Sama, ketika pertama kali aku mengenalnya.
Apa kau juga tahu?? Bunga-bunga itu kutanam seperti aku menanam harapan atas kehadirannya. Menunggu ia bermekaran, seperti aku menunggu kedatangannya. Menjaga taman-taman itu seperti aku menjaga perasaan ini. Harapku, ia kembali dan taman-tamanku menyambutnya dengan semerbak wangi bunganya. Karena aku masih terkungkung dalam harapku.
Tetapi, seperti dalam syair-syair do’aku. Namanya kian menjauh. Dan aku harus selalu dekat pada-NYA. Mencoba ku ganti harap ini,
semoga, ia terus dalam lindungan_NYA
semoga, ia bahagia...


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun