9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab tersebut ada yang berkembang dengan pesat dan dianut di berbagai belahan dunia Islam, dan ada juga yang surut bahkan hilang karena kurang mendapat pengikut seperti mazhab yang dirintis Imam Daud bin Ali al-Asbahani al-Bagdadi (w. 270 H) yang sering disebut mazhab Zahiry, Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu’Amr Abd al-Rahman bin Muhammad al-Auza’iy atau mazhab Auza’iy, Mazhab al-Thabari (w. 320 H), Mazhab al-Laits yang dibina oleh Abu Haris al-Laits bin Sa’ad al-Fahmi (w. 174 H) dan sebagainya.
Mazhab yang terus berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya empat mazhab, yaitu:
1. Mazhab Hanafi yang rintis oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Pemikiran hukum mazhab ini bercorak rasional (ahl al-ra’yu). Hal ini disebabkan karena mazhab bermula di Kufah (Irak) yang terletak jauh dari Madinah. Irak, sebelum Islam, adalah pusat kebudayaan, tempat bertemu dan berkembangnya filsafat Yunani dan Persia. Setelah Islam, Irak menjadi pusat berkembangnya berbagai aliran politik, ilmu kalam dan fikih seperti Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Pada masa Abu Hanifah, Kufah menjadi salat satu pusat aktifitas fikih para mujtahid generasi tabi’it tabi’in. Sebelum generasi tabi’in, Kufah menjadi tempat Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) yang dikirim oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M) untuk mengajarkan Islam dan memutuskan masalah-masalah hukum. Pendekatan dan metode yang digunakan untuk memecahkan hukum adalah dengan ra’yu (pendapat/nalar) karena ia sangat ketat dalam menerima hadis, analogi (qiyas), dan istihsan (qiyas khafi). Mazhab Hanafi terkenal sangat ketat untuk menerima hadis karena pada masa itu banyak muncul hadis-hadis palsu seiring dengan perpecahan politik yang dialami umat Islam. Banyak hadis yang diciptakan kelompok tertentu untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing. Mazhab ini banyak berkembang di Mesir, Suriah, Libanon, Turki, Tunisia, Turkistan, India, Pakistan, Afganistan, Balkan, Cina, Rusia dan Irak.
2. Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (179 H). Pemikiran mazhab ini banyak dipengaruhi oleh sunnah yang cenderung tekstual. Imam Malik termasuk periwayat hadis, karyanya yang paling monumental adalah al-Muwaththa’ (kumpulan hadis yag bercorak fiqh). Dalam merumuskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan al-hadis, Imam Malik menggunakan metode sebagai berikut: a) tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima hadis. Jika Abu Hanifah hanya menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau paling tidak pada tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad bahkan hadis ahad yang mursal asal periwayatannya orang yang terpercaya. Hadis ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas, sehingga ia lebih banyak menggunakan hadis daripada ra’yu; b) ‘Amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah), karena mereka dianggap orang yang paling tahu tentang al-Quran dan penjelasan-penjelasan Rasulullah; c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut Imam Malik, jika tidak ada hadis sahih dari Nabi saw yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah, maka pernyataan sahabat dapat dijadikan sumber hukum. Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa para sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat maupun tujuan ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya al-Quran dan mendengar langsung penjelasan Rasulullah s.a.w.) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan kepentingan umum terhadap suatu permasalahan hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Quran dan al-hadis baik yang mendukung maupun yang menolak. Tujuannya adalah untuk menarik kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan menghindari madarat (daf’ al-madharrah); e) Al-zari’ah, yaitu mempertimbangkan perkataan dan perbuatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan lain. Perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan haram, hukumnya haram, sedang perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan halal hukumnya juga halal; f) Qiyas. Apabila suatu masalah tidak ditemukan ketentuannya dalam al-Quran, al-hadis, perkataan sahabat atau ijma’ ahl al-Madinah maka Imam Malik memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu menyemakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang jelas hukumnya karena keduanya ada persamaan illat. Mazhab Maliki ini tersebar dan diikuti di berbagai wilayah seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol dan Mesir.
3 Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 M). Metode dan pendekatan yang digunakan untuk meng-istinbath-kan hukum adalah: a) al-Quran dan al-hadis merupakan sumber pokoknya sebagaimana mazhab-mazhab lain meskipun cara pandang mereka terhadap kedua sumber tesebut seringkali berbeda. Menurut Imam Syafi’i, al-Quran dan hadis mutawatir berada dalam satu martabat, karena sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Quran. Keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Quran; b) Ijma’. Ijma’ yang dimaksud Imam Syafi’i adalah kesepakatan ulama suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di satu negeri saja dan bukan ijma’ kaum tertentu saja; c) Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nas dengan hukum yang ada dalam nas karena adanya persamaan illat. Mazhab Syafi’iyah ini berkembang di negara-negara seperti Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Makkah, Arab Selatan, Bahrain, Afrika Timur dan Asia Tengah.
4. Mazhab Hanbali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 M). Selain berdasar al-Quran dan sunnah dan pendapat sahabat, ia juga menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if (dalam tingkatan hasan asal perawinya tidak pembohong); qiyas jika terpaksa (‘inda “arrah). Mazhab ini banyak berkembang di Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan Arab Saudi. Dari berbagai mazhab yang ada, karakteristik penafsiran mazhab-mazhab tersebut dapat disederhanakan menjadi dua kecenderungan besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Para ahli hukum Iraq seperi Imam Abu Hanifah, karena berbagai alasan, dianggap terlalu ketat dalam menerima hadis sebagai dasar hukum, sehingga lebih banyak menggunakan akal . Sedang ulama Hijaz seperti Imam Malik bin Anas lebih longgar untuk menerima hadis sebagai dasar hukum, meskipun hal ini tidak berarti mereka menolak akal sama sekali.
Manna’ al-Qaththan, penulis buku Tarikh Tasyri’ al-Islami, memberi penjelasan lebih lanjut mengenai perkembangan ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Dalam kaitan perkembangan ahl al-ra’y di Iraq, dia memberi bebapa penjelasan: 1) Tasyi’ di Iraq dipengaruhi oleh pemikiran rasional Ibnu Mas’ud sebagaimana telah disinggung di atas; 2) Hadis yang berkembang di Iraq lebih sedikit jumlahnya dibanding hadis yang berkembang di Hijaz. Sementara permasalahan-permasalahan hukum yang berkembang di Iraq jauh lebih kompleks; 3) Fuqaha’ Iraq berhadapan dengan orang-orang Parsi yang sudah mempunyai peradaban dan kemampuan berfikir maju. Keadaan ini dapat mendorong munculnya permasalahan-permasalahan hukum baru yang belum ditemukan ketentuannya pada masa Nabi saw; 4) Iraq merupakan tempat tinggal kebanyakan orang-orang Syi’ah dan Khawarij sebagai imbas (akibat) dari perpecahan politik yang terjadi dalam Islam. Perpecahan tersebut segera diikuti debat teologis untuk melegalisasi (mengesahkan) kelompoknya masing-masing yang sering pula diikuti dengan penciptaan hadis-hadis palsu. Kondisi ini ikut mendorong Iraq untuk lebih selektif dalam menerima hadis.
Sedangkan berkembangnya aliran ahl al-hadis di Hijaz dikarenakan beberapa hal: 1) Pengaruh dari metode yang menekankan pada hadis sementara mereka menjauhkan diri dari penggunaan akal dan qiyas kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa; 2) Hijaz merupakan gudang hadis dan praktik sahabat karena di daerah inilah Nabi saw bermukim dan menyampaikan ajarannya; 3) Di Hijaz tersebut sedikit sekali ditemukan problem hukum yang menuntut kreativitas berfikir, karena mereka jauh dari pengaruh Parsi dan Romawi; 4) Hijaz jauh dari tempat munculnya fitnah dan pertentangan keagamaan. Atas dasar alasan-alasan tersebut tidak mengherankan jika di kedua wilayah yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam tersebut menampakkan corak yang berbeda.
Dalam pandangan umat Islam pada umumnya, bermazhab sering dibedakan dengan berijtihad. Bermazhab sering diidentikkan dengan melakukan taqlîd (mengikuti tanpa mengetahui sebab).
Sehingga, ada kesan bahwa bermazhab tidak memerlukan ijtihad, tidak menyentuh kekinian, dan menjadikan masa lalu sebagai “doktrin” dan “dogma” agama. Demikian halnya, berijtihad tidak perlu mengikuti pendapat ulama masa lalu, hanya mengandalkan potensi akal untuk melihat kenyataan hari ini saja. Kedua polarisasi itu perlu direformasi dengan menghadirkan konsep baru dalam berijtihad dan bermazhab.