Mohon tunggu...
Anhar Putra Iswanto
Anhar Putra Iswanto Mohon Tunggu... -

Menikmati Kopi dan Buku di Tepi Kota Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jawaban Saya atas Polemik Ucapan “Selamat Natal”: Orang Kristen Natal-an, Koq Kita yang Berdebat?

21 Desember 2014   21:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:47 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillahirrohmanirrohim

Saya memulai tulisan ini dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Esa. Apa yang saya tuliskan tidaklah lebih dari sedikit pengetahuan yang mampu saya jangkau. Karena itu, saya percaya kebenaran sesungguhnya kemabli kepada pemiliknya, Allah SWT.

Adalah sudah menjadi barang tradisi, bagi kita umat Islam, menjelang akhir tahun, dan perayaan Hari Natal, selalu muncul perdebatan perihal boleh atau tidaknya seorang Muslim mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada pemeluk agama Kristen. Sesegera mungkin, bagi mereka yang berkata HARAM, dalil-dalil naqli sudah dijejerkan demi memperkuat argumentasinya. Pun bagi yang BOLEH, dalil-dalil pun mulai diperdebatkan perihal kontekstualitasnya. Alhasil, kita seperti mengerecoki urusan agama lain. Seolah kita pula yang paling mengerti urusan agama orang lain.

Boleh lah kita berada pada kubu “HARAM”, ataupun “BOLEH”—saya sendiri berpendpat itu boleh. Marilah kita dudukkan perkaranya, tanpa harusnya mencari siapa yang paling benar diantara kita.

Persoalan Pendekatan

Pertama-tama, saya mengutip pendapat ahli sejarah Islam—yang bukan seorang Muslim. Ia adalah Bernard Lewis. Kalo saya berpijak pada yang lain seperti Iqbal, Abduh, Fazlur, Cak Nur, Gus Dur, dll—mungkin terkesan kurang adil. Pedapat orang yang bukan Muslim lebih cocok dalam hal ini, agar tidak disebut perasaan subjektiv terhadap Islam. Karena Islam juga persoalan rasa—maka tinggal dipilih saja, Islam menurut siapa yang cocok bagi kita.

Bernard Lewis, seorang orientalis yang pemikirannya tentang Islam banyak mempengaruhi fobia masyarakat Barat itu berpendapat. Kalo kita berbicara soal Islam, maka kita berbicara mengenai tiga hal yang berbeda: (1) Islam sebagai agama (dalam istilah Fazlur Rachman disebut Islam Normatif)—yaitu Islam sebagaimana yang tertera di dalam al-Quran dan Hadist yang diambil sebagai kaidah-kaidah hukum dalam kehidupan Islam. (2) Islam sebagai teologi—yaitu interpretasi-interpretasi orang atas al-Quran dan hadist yang bersifat tekstual ataupun kontekstual. Dan (3) Islam sebagai lintasan peradaban (atau istilah Fazlur, Islam historis)—yaitu lintasan peristiwa-peristiwa yang lebih bersifat sosiologis dalam peradaban Islam.

Nah, pada level manakah perdebatan kita tentang boleh atau haram untuk mengucapkan “SELAMAT HARI NATAL” itu? Dalam hemat saya, itu masuk dalam pembicaraan mengenai Islam sebagai teologi. Atau Islam—dalam berbagai interpretasi orang. Maka tinjauan analitisnya haruslah interpretatif—tidak bisa menggunakan pendekatan normatif—atau bahasa orang (maaf) awam, “itu tidak sesuai dengan al-quran dan hadist. Sepanjang pengathuan saya(hanya sedikit), tidak terdapat dalil yang berkenan tentang boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal. Kalo-pun ada, maka dalil-dalil itu adalah bentuk penafsiran interpretatif orang terhadap al-Quran dan hadis dari berbagai aspeknya. Di titik point ini saya ingin mengatakan—sama sekali—tidak terdapat korelasi persoalan aqidah dengan ucapan “Selamat Natal”.

Persoalan Syariat Aqidah

Mana yang kita sebut sebagai ISLAM dan mana yang kita sebuat sebagai PEMIKIRAN ISLAM—tentu lebih spesifik lagi, Pemikiran Islam menurrut siapa. Ini penting, agar tidak dicampur aduk, juga tidak tabrakan, karena jelas keduanya berbeda. para ahli logia dalam Islam atau yang disebut manthiqiyyun menilai penting untuk membedakan mana Islam dan mana umat Islam. Misalnya, terdapat seorang Muslim yang melakukan perbuatan zina, korupsi, atau kejahatan lainnya, tentu saja tidak dapat minta pertanggungjawaban kepada Islam, atau MUI. Itu menjadi perbuatan umat Islam—memang iya, tapi apakah itu Islam—jelas bukan. Sebab Islam tidak mengajarkan korupsi, zina. Atau istilah dalam pesantren, kita harus mampu membedakan antara al-khitab al-dini dan a-din itu sendiri.

Pembedaan ini bukan berarti Islam terpisah dengan wacana pemikiran Islam, tidak donk. Karena bagi saya—agama itu sendiri kalo tidak ada yang memikirkannya, tidak menjadi hukum-hukum yang perlu ditaati. Jadi pendapat yang dikemukankan oleh para ulama, intlektual, kyai tentang Islam—secara integratif—adalah bagian dari Islam itu sendiri. Tentu masksudnya pendapat yang sesuai al-Quran dan Hadist. Kalo ada ulama atau umat Islam mengatakan boleh mencuri, sudah pasti itu bukan Islam dan bukan pendapat tentang Islam itu sendiri.

Itulah sebabnya, dalam ilmu fiqh, perbedaan pendapat ulama sangat mudah untuk ditolerasi. Sejauh menyangkut furu’al-din atau cabang-cabang dalam Islam, perdebatan selalu ditolerirr dan tidak menjadi soal. Sementara dalam hal-hal yang pokok dalam Islam, tentu tidah=k harus ada perbedaan. Semua umat Islam harus satu pendapat. Apakh itu? (1) Syahadat—Islam di manapun, tetaplah satu dalam kredo syahadat. Tuhan tetap Allah, dan Muhammad adalah rasul-Nya, titik. (2) Kredo Ibadah—sholat, puasa, zakat, haji, dll masuk dalam kategori ini. Mau dia aliran apaun tetap saja harus sama dalam kredo ibadah ini. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa semua itu adalah wajib. (3) kredo Akhlak—yang tidak membedakan kita dengan Muslim dimana pun adalah akhlak. Tidak boleh Islam di Pakistan misalnya menybut berbohong, durhaka kepada orang tua itu baik, sementara Islam di Indonesia menyebutnya tidak baik, tidak boleh. Harus sama. (4) Kredo halal-dan haram pada makanan. Tidak boleh ada yang meyebut Babi haram, sementara yang lain tidak.

Dalam konteks ini, mengucapkan “Selamat Hari Natal” tidak termasuk dalam kredo aqidah umat Islam. Saya berpendapat, silahkan saja bagi yang mengucapkan, dan silahkan bagi yang tidak mengucapkan. Sebab itu tidak termasuk dalam kategori hukum-hukum Islam.

Persoalan Legalitas

Di dalam Islam sendiri terdapat perbedaan terkait dengan metodelogi penafisran al-Quran—bahkan metodelogi pembaharuan sebagaimana yang dilakukan Gus Dur dan Cak Nur (saya ragu pada orang2 yang mengaku muridnya Gus Dur, tapi mengaharamkan ucapan Natal). Sebagain dari para sarjana Islam (scholar) menyebut bahwa al-Quran bukanlah suatu kitab hukum. Tetapi al-Quran lebih merupakan ajaran-ajaran moral. Ada lagi yang menyebut bahwa al-Quran adalah kita yang berisi tanda-tanda atau simbol-simbol yang harus ditafsirkan untuk mencarai maksud (objectives) dan tujuan (ends) daripada ayat-ayat al-Quran. Saya sendiri lebih condong kepada yang kedua dan ketiga—bahwa—al-Quran adalah hudal linnas (petunjuk bagi manusia), hudalill muttaqin (petunjuk bagi orang2 muttakin). Maka—tidak dapat sebuah ayat-ayat itu dicaplok begitu saja untuk men-dalil-kan, atau seolah-olah meng-Islam-kan sesyatu pernyataan yang memang tidak tepat.

Dalam hal ini, mengucapkan “Selamat Natal” tidak dapat disebut sebagai penyimpangan dari al-Quran itu sendiri.

Persoalan Kristologis

Ada perdebatan yang sejak lama muncul, bahkan dalam tradisi Kristen sekalipun—bahwa—apakah Yesus disalib atau tidak disalib. Saya melihat perdebatan ini dibeberapa video youtbe antara Kristen-Islam—hasilnya—tidak memuaskan. Orang Islam merasa menang dengan argumentasi Quranik, sementara pihak Kristen merasa benar dengan argumentasi Bibel. Menurut saya—itu hanya persoalan otak-atik Quran dan Bibel saja. Atau perdebatan dalam (mereka) umat Islam yang memperdebatkan karena umat Kristen telah menjadikan Yesus sebagai Tuhan. “Yesus koq Tuhan”, kata grundelan sebagian orang. Para penafsir klasik menyebut bahwa yang disalib bukanlah Nabi Isa—melainkan seseorang yang dimiripkan wajahnya oleh Tuhan seperti Nabi Isa. Lalu Isa kemana? Kata mereka, di angkat ke Langit, lalu diturunkan mendekati kiamat. Jujur saja, ini membingungkan. Dan saya belum bisa menerima penjelasan ini. Kalo ada penjelasan yang lebih memadai boleh saya diajari.

Agak sedikit apolegetik, saya menyebutkan, jika terdapat persoalan-persoalan teologis dalam agama Kristen, apa pula hubungannya dengan saya? Maksudnya, jika terdapat kesalahan-keslahan dalam agama Kristen—maka—biarlah itu menjadi urusan agama mereka sendiri. Kenapa saya (kita) harus dibuat repot-repot. “Tapi mengucapkan, sama halnya mengimani”, kata teman. Saya jawab “Ah, itu hanya persasaan mu saja”.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun