Tapi kali ini tempatnya berbeda. Semua mata menyaksikan, semua telinga mendengar betapa Ahok memojokkan Rais Aam dari PBNU. Ini pelecehan besar. Dan ini memicu kemarahan mayoritas warga NU.
GP Ansor bereaksi keras, Mahfud MD, Aa Gym dan banyak ulama langsung marah kepada Ahok. Bagaikan bola salju kemarahan mereka memuncak hingga akhirnya para elit penguasa sadar ini situasi mulai berbahaya. Mau tidak mau Ahok dipaksa untuk menjilat ludahnya sendiri. Ahok harus minta maaf agar kekacauan tidak meledak.
Akhirnya Ahok dengan setengah hati meminta maaf kepada Kyai Haji Ma’ruf Amin. Perhatikan transkrip permintaan Ahok terdapat kata “Apabila”. Dan tidak seperti umumnya orang minta maaf, Ahok enggan mendatangi KH Ma’ruf Amin apalagi menempatkan dirinya dalam kerendahan hati.
Meskipun demikian KH Ma’ruf Amin sudah memaafkannya. Selesaikah masalahnya?
Secara institusi memang sudah tetapi secara masing-masing personal warga NU, sepertinya belum.
Kita tidak akan pernah tahu ada tidak sisa kemarahan yang masih terpendam di hati para warga NU. Sementara mayoritas warga muslim di Jakarta adalah keluarga besar tidak resmi dari kaum nahdiyin. Ini persoalannya. Dan ini masalah besarnya.
Menurut saya, sebenarnya pada bulan Januari lalu mayoritas umat Muslim Jakarta sudah memaafkan Ahok atas ucapannya di kepulauan Seribu. Tetapi ini terjadi lagi. Ahok menyerang ulama besar.
Yang saya kuatirkan adalah meskipun warga muslim Jakarta sudah memaafkan Ahok untuk kali ini tetapi di hati kecilnya sudah tidak percaya lagi pada Ahok.
Soal KJP dan KJS bila tanpa Ahok juga pasti bisa dijalankan oleh Agus atau Anies. Program itu sudah berjalan dan tidak mungkin dikurangi. Kalau ditambah bisa saja terjadi.
Dan itu artinya Ahok sudah bukan menjadi alternative pilihan warga DKI lagi , khususnya umat Muslim.
Perhitungan saya saat ini, Elektabilitas Ahok sudah jatuh sekali. Bukan tinggal 22% seperti paska aksi 411 dan 212. Mungkin bisa dibawah 20%.