Sejak tahun 2009 saya mulai tertarik dengan acara bincang-bincang politik di televisi dan mulai sekitar tahun 2012 saya mulai tertarik untuk menganalisa-analisa kondisi politik Indonesia.
Di dalam setiap momen-momen Pemilu ataupun Pilkada, salah satu sisi yang paling menarik menjelang Pemilu atau Pilkada adalah mengamati Survey-survey yang dilakukan berbagai Lembaga Survey baik untuk Hasil Survey Elektabilitasnya maupun Hasil Quick Count setelah Pemilu/Pilkada itu dilakukan. Dan dari sekian tahun pengamatan saya mencatat beberapa lembaga survey yang punya kredibilitas baik.
Lembaga Survey yang punya Kredibilitas baik umumnya dipimpin oleh Pengamat Politik yang independen dan mempunyai wawasan kebangsaan yang teruji. Biasanya dengan mempercayai kredibilitas pemiliknya kita bisa mempercayai kredibilitas Lembaga Surveynya.
Ada banyak nama pemilik lembaga survey yang memang punya kualitas mumpuni untuk membuat Survey. Saya sebut saja yang paling senior Denny JA. Lalu ada Burhanudin Muhtadi, lalu ada Hanta Yuda dan lain-lainnya.
Sengaja hanya tiga orang ini yang saya bahas karena dalam pandangan saya ketiganya cukup mewakili eksistensi dari berbagai lembaga survey yang ada. Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun Denny JA lebih senior tetapi saya lebih menyukai Hasil Survey yang dilakukan oleh Burhanudin Muhtadi dan Hanta Yuda.
Denny JA punya Lingkaran Survey, Burhanudin punya Indikator Politik dan Hanta Yuda punya Pol Tracking. Ketiganya selama ini sangat baik untuk hasil surveynya. Biasanya ketiga-tiganya saya pakai untuk memprediksi hasil pemilu ataupun pilkada.
KONTESTASI PILGUB DKI TERNYATA MEMBUAT ADA LEMBAGA SURVEY YANG BERUBAH
Berbicara Pilgub DKI 2017 tentu saja harus bicara soal Hasil Survey Elektabilitas dari berbagai Lembaga Survey. Saya tidak ingin membahas Lembaga Survey abal-abal. Buang-buang waktu ajah. Kkakakakaaaa. Begitu juga dengan Populi Center. Tahu sama tahu lah itu punya siapa. Malah menurut saya mendingan Survey Kedai Kopi yang baru muncul dibanding Populi Center.
Jadi memang saya hanya ingin membahas ketiga lembaga survey yang saya sebut diatas. Sayangnya untuk Denny JA sejak November 2016 kemarin kok Hasil Surveynya kok terkesan agak “menenggelamkan” Incumbent jadi saya mulai menggeser dikit Denny JA dari prioritas saya.
Sebaliknya Burhanudin Murtadi lewat Indikator Politiknya pada bulan November 2016 menampilkan Hasil Survey yang normal. Ini saya salut karena setahu saya Burhanudin Muhtadi itu dekat dengan Surya Paloh. Indikator Politik beberapa tahun lalu sering dibiayai oleh Metro TV.
Nah berbeda dengan Surveynya pada bulan November 2016 lalu dimana hasil survey Indikator Politik masih masuk akal buat saya, tetapi hari ini setelah membaca berita di media tentang Hasil Survey lembaga survey ini, kepala saya mulai terasa gatal dan ingin digaruk-garuk. Hahahahaha.
Nah kenapa kepala saya mendadak jadi gatal?
Mari kita bandingkan Hasil Survey antara Poltracking pada tanggal 19 Januari lalu dengan Hasil Survey Indikator Politik pada 25 Januari 2017 dan Survey LSI 17 Januari 2017.
Selisih tanggal antar masing-masing survey hanya dalam kisaran seminggu. Seminggu itu dalam perhitungan matematika saya tidak mungkin akan membuat perubahan Elektabilitas mencapai 1% dari masing-masing kandidat. Jadi seharusnya hasil survey ketiga lembaga survey ini tidak akan berbeda jauh. Paling maksimal hanya di kisaran 1-2% saja.
Cekidot yang berikut ya kawan :
1.Angka Elektabilitas Ahok pada Survey Indikator terkesan terlalu tinggi (Terlalu jauh perbedaannya). Ini aneh.
2.Selisih Angka Elektabilitas antara Anis dan Agus di Survey Indikator terlalu tipis perbedaannya. Hanya sekitar 0,2%.Ini juga terasa aneh. Bandingkan dengan 2 lembaga survey lainnya perbedaannya bisa diatas 2%.
3.Angka Responden yang tidak menjawab pada survey Indikator itu terlalu tinggi yaitu : 14,5%. Ini kurang memadai untuk sebuah hasil survey.
4.Metode Survey yang dipakai ternyata berbeda sendiri. Di Detiknews ditulis Metode yang dipakai stratified multistage random sampling. tetapi metode itu saya tidak kenal. Diantara 9 metode survey yang saya ketahui diantaranya ada metode stratified random sampling selain metode Multi Stage Random Samplingyang memang selama ini paling kompeten.
Kalau benar Metode yang dipakai Burhanudin Muhtadi adalah stratified random sampling, maka itu mengherankan buat saya. Apa alasan Burhanudin menggunakan metode yang lebih simple dari Multi Stage Random Sampling?
Apakah itu intruksi Metro TV untuk memakai Metode itu? Hahahahahaha.
Begicuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H