Mohon tunggu...
Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Daging Kurban Sebagai Kado Ulang Tahunnya

30 Agustus 2017   18:52 Diperbarui: 9 September 2017   03:39 1943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gema takbir berkumandang  seolah puncak kubah saling sahut menyahut menandakan hari Raya akan tiba. Kali ini, Idul Adha sedang menyambut umat islam. Idul Adha tahun ini sangat spesial bagi Bu Ratih, istri tercinta Pak Rahmat karena bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke 54. Akan tetapi Bu Ratih merupakan seorang yang pelupa, begitu pula mengenai ulang tahunnya esok.

Beralaskan tikar yang memanjang dan beratapkan alang, mereka berdua menikmati kemeriahan malam takbiran di luar sana dari dalam surga sederhana mereka yang berada di pinggir kampung dan sedikit jauh dari pemukiman. Ditemani sebuah lampu pelita, mereka berdua lelap dalam dinginnya malam. Tak lama kemudian Pak Rahmat bangun dari tidurnya dan langsung teringat ulang tahun bidadari tercintanya sambil meneteskan air mata. Ia menyadari, selama bertahun-tahun mereka hidup dalam bahtera rumah tangga, belum sekalipun ia merayakan ulang tahun istrinya. 

Jangankan sebuah perayaan, sebuah kado pun baru sekali ia berikan yaitu pada tahun pertama mereka menikah. Itu pun dari hasil berhutang. Wajar saja, keduanya berasal dari latar belakang keluarga tak mampu. Ia khawatir tidak sempat merayakan ulang tahun istrinya disisa umurnya tersebut. Akhirnya ia membuat sebuah rencana untuk merayakan ulang tahun istrinya esok hari, yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha karena keterbatasan ekonomi jadi tak mampu sepertinya untuk membeli daging ataupun bahan makanan lainnya. Mengingat tahun-tahun kemarin mereka mendapatkan jatah daging kurban, jadi ini kesempatan yang harus dimaksimalkan. Setelah itu ia pun kembali melanjutkan tidurnya.

Pasangan kekasih ini telah  mengikat janji suci pernikahan sejak 24 tahun silam. Saat itu Pak Rahmat berusia 29 tahun, akan tetapi pernikahan mereka tidak dikaruniai anak. Pekerjaan sehari-hari mereka ialah sebagai pengrajin sapu lidi. Pak Rahmat bertugas mengumpulkan lidi kelapa, kayu, dan tali serta menjual sapu lidi yang sudah jadi. Sedangkan Bu Ratih bertugas untuk membuat sapu lidinya.

Fajar pun tiba. Bu Ratih membangunkan Pak Rahmat dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang sambil membelai rambut pria tua itu yang mulai memutih. Keduanya lalu salat subuh berjamaah di rumah.

"Allaahuakbar, Allaahuakbar, Allaahuakbar, Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd"

Tak lama kemudian suara takbiran mulai terdengar dari berbagai penjuru. Memanggil Umat Islam datang ke masjid untuk menunaikan salat Idul Adha. Pak Rahmat dan Bu Ratih pun bergegas ke masjid. Setelah selesai salat, Pak Rahmat menyuruh Bu Ratih untuk pulang terlebih dahulu karena ia masih mau beritikaf sebentar. Akhirnya Bu Ratih pun pulang untuk menyiapkan sarapan mereka nanti. Pak Rahmat sengaja lebih lama di masjid dengan maksud lain yaitu untuk mendapatkan kupon daging kurban. Akan tetapi hal yang dinantinya itu tak kunjung datang, ini tak seperti biasanya. 

Akhirnya dengan penuh rasa kecewa pak Rahmat pulang kerumah. Ia pun bingung akan rencana yang telah ia atur semalam. Sesampainya di rumah, Bu Ratih langsung menyambutnya dengan senyuman sederhana sambil menyuguhkan sepiring nasi putih dan segelas teh hangat. Keduanya pun menyantap sarapan yang sangat sederhana tersebut dengan penuh rasa syukur. Setelah itu, Bu Ratih memberikan sebuah kertas kecil kepada pak Rahmat.

"ini apa buuk?" kata pak Rahmat

"itu kupon daging kurban paak. Tadi di perjalanan pulang dari masjid pak RT memberikan itu ke saya" jawab Bu Ratih

Pak Rahmat sangat gembira sambil mengucap syukur dalam hati, akan tetapi ia tidak menunjukkan kegembiraannya itu pada istrinya. Di kupon tersebut tertulis waktu pengambilan daging kurban jam 13.00. Selesai sarapan, Pak Rahmat pergi menjual sapu lidi buatan istrinya. Dengan penuh semangat, ia melangkah keluar rumah dengan kaki kanan sambil mengucap "Bissmillahirrohmanirrohim" sementara 15 batang sapu lidi berada di bahunya dengan harapan hari ini sapu lidinya laku terjaul semua agar dapat membeli sebuah kado untuk bidadarinya. 

Akan tetapi sudah 2 jam lebih dia berjalan keliling kampung sambil meneriaki "Sapu Lidi", belum satu pun sapu lidinya laku. Ia pun beristirahat sejenak di bawah pohon kemudian mengeluarkan kupon daging kurbannya, ia memandang kupon itu dengan penuh rasa bahagia dan tak sabar. Ia pun melanjutkan perjalanannya sampai ke kampung sebelah. Terik menyengat membakar ubun-ubun serta aspal panas yang memanggang telapak kakinya tak membuat ia menyerah untuk terus berjalan demi mendapatkan rupiah. Tak terasa, waktu salat dzuhur akan tiba dan belum ada satu pun sapu lidinya yang laku. Kemudian ia berjalan menuju masjid untuk menunaikan salat dzuhur berjamaah. 

Dalam perjalanannya ia meneteskan air mata karena ia merasa hari ini sedikit lebih berat dari hari-hari kemarin. Selesai salat, ia merasa suatu hal yang janggal. Sabar dulu, "kupon". Kuponnya mana?? Ia bertanya pada dirinya sambil memeriksa seluruh tubuhnya. Ternyata kuponnya hilang. Kembali ia meneteskan air mata, hatinya sangat terpukul, ia kecewa, pikirannya kacau disebabkan kupon daging qurbannya hilang. Ia menangis di hadapan Allah, memohon agar diberikan jalan kepadanya untuk merayakan hari ulang tahun istrinya. Satu jam ia memohon sambil menangis di dalam masjid. Ia sudah tak kuat lagi untuk jalan, seluruh tubuhnya gemetar. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar, saat itu jam telah menunjukan pukul 13.20.

Dari sudut masjid, ia melihat orang berbondong-bondong menukar kupon dengan seplastik daging kurban. Pemandangan yang sungguh indah, tidak terlalu ramai, tidak berdesak-desakan, semuanya antre dengan rapi dan tertib. Ia membayangkan kalau saja kuponnya tidak hilang pasti saat ini ia sedang berada di tengah-tengah orang yang berbagia di sana. Kembali air matanya menetes dan hatinya terpukul sambil mengatakan dalam hati "Yaa Allah aku bersyukur akan hari ini, walaupun perayaan ulang tahun istri yang sangat aku cintai batal, tapi tidak mengurangi sedikit pun rasa cinta ku pada-Mu. Karena aku jauh lebih mencintai mu dari pada istri ku". 

Kemudian ia pergi melanjutkan perjalanannya menjual sapu lidi. Rupanya hari ini Allah SWT benar-benar ingin menguji keimanan Pak Rahmat. Sampai hampir memasuki waktu ashar pun sapu lidinya belum ada yang laku terjual. Akhirnya ia sampai pada batasnya, ia pun menyerah dan putus asa, hilang harapannya. Bagaimana tidak, ia telah berkeliling kampung mendatangi setiap rumah menawarkan sapu lidinya akan tetapi tidak ada satupun yang membeli sapu lidi tersebut. Ia pun mampir ke masjid untuk menunaikan salat asar. Setelah selesai salat, ia bergegas pulang ke rumah. Ditengah perjalanan, ia bertemu dengan pak RT.

"Kenapa tadi pak Rahmat ndak nukar kupon di masjid? Udah dapat daging apa belum?" kata pak RT

"Belum pak. Kupon saya hilang" jawab Pak Rahmat sambil meneteskan air mata.

"Yaa Allah pak, kenapa ndak langsung ke saya ajaa tadi?? hmmm yaudah ini bapak ambil punya saya aja" sambil menyodorkan kantong plastik berisi daging kurban

Air mata pak Rahmat kembali menetes setelah mendapat daging kurban dari pak RT. Perasaan yang ada dalam hatinya bercampur aduk, sulit menggambarkan perasaannya dalam kata-kata. Ia pun bergegas pulang. Sampai ke rumah, istrinya langsung menyambutnya dengan senyum manis dan tatapan yang menyejukkan hati yang merupakan penyemangatnya, wajar saja ia begitu bersemangat. Kemudian istrinya menanyakan daging tersebut agar dapat segerah diolah untuk dijadikan makan malam. Akan tetapi Pak Rahmat menyuruh Bu Ratih untuk melanjutkan pekerjaannya kemudian istirahat saja. 

Hal tersebut dikarenakan pak Rahmat sendiri yang ingin memasak untuk istrinya kali ini buat perayaan ulang tahunnya nanti. Pak Rahmat mengolah daging kurban tersebut menggunakan rempah-rempah seadanya saja. Setelah semua masakan rampung, saat itu telah masuk waktu salat maghrib. Mereka berdua pun salat berjamaah di rumah. Setelah selesai, pak Rahmat menggandeng tangan Bu Ratih menuju ruang makan dan menyuruhnya untuk menunggu. Beberapa saat kemudian, Pak Rahmat masuk dengan membawa semangkok sup sambil menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun" dengan mata penuh dengan linangan air mata. 

Setelah itu ia menaruh sup tersebut lalu mengecup kening instrinya sambil mengucapkan "selamat ulang tahun bidadari ku, aku minta maaf karna hanya ini yang dapat aku berikan kepadamu, daging kurban sebagai kado ulang tahun mu". Bu Ratih pun tak mampu berkata apa-apa dan tak kuasa menahan haru sehingga ia juga larut dalam tangisan kebahagiaan. Kemudian mereka saling berpelukan dan mengucap syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah mereka peroleh khususnya hari ini.

"Maka Nikmat Tuhanmu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan??"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun