Akan tetapi sudah 2 jam lebih dia berjalan keliling kampung sambil meneriaki "Sapu Lidi", belum satu pun sapu lidinya laku. Ia pun beristirahat sejenak di bawah pohon kemudian mengeluarkan kupon daging kurbannya, ia memandang kupon itu dengan penuh rasa bahagia dan tak sabar. Ia pun melanjutkan perjalanannya sampai ke kampung sebelah. Terik menyengat membakar ubun-ubun serta aspal panas yang memanggang telapak kakinya tak membuat ia menyerah untuk terus berjalan demi mendapatkan rupiah. Tak terasa, waktu salat dzuhur akan tiba dan belum ada satu pun sapu lidinya yang laku. Kemudian ia berjalan menuju masjid untuk menunaikan salat dzuhur berjamaah.Â
Dalam perjalanannya ia meneteskan air mata karena ia merasa hari ini sedikit lebih berat dari hari-hari kemarin. Selesai salat, ia merasa suatu hal yang janggal. Sabar dulu, "kupon". Kuponnya mana?? Ia bertanya pada dirinya sambil memeriksa seluruh tubuhnya. Ternyata kuponnya hilang. Kembali ia meneteskan air mata, hatinya sangat terpukul, ia kecewa, pikirannya kacau disebabkan kupon daging qurbannya hilang. Ia menangis di hadapan Allah, memohon agar diberikan jalan kepadanya untuk merayakan hari ulang tahun istrinya. Satu jam ia memohon sambil menangis di dalam masjid. Ia sudah tak kuat lagi untuk jalan, seluruh tubuhnya gemetar. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar, saat itu jam telah menunjukan pukul 13.20.
Dari sudut masjid, ia melihat orang berbondong-bondong menukar kupon dengan seplastik daging kurban. Pemandangan yang sungguh indah, tidak terlalu ramai, tidak berdesak-desakan, semuanya antre dengan rapi dan tertib. Ia membayangkan kalau saja kuponnya tidak hilang pasti saat ini ia sedang berada di tengah-tengah orang yang berbagia di sana. Kembali air matanya menetes dan hatinya terpukul sambil mengatakan dalam hati "Yaa Allah aku bersyukur akan hari ini, walaupun perayaan ulang tahun istri yang sangat aku cintai batal, tapi tidak mengurangi sedikit pun rasa cinta ku pada-Mu. Karena aku jauh lebih mencintai mu dari pada istri ku".Â
Kemudian ia pergi melanjutkan perjalanannya menjual sapu lidi. Rupanya hari ini Allah SWT benar-benar ingin menguji keimanan Pak Rahmat. Sampai hampir memasuki waktu ashar pun sapu lidinya belum ada yang laku terjual. Akhirnya ia sampai pada batasnya, ia pun menyerah dan putus asa, hilang harapannya. Bagaimana tidak, ia telah berkeliling kampung mendatangi setiap rumah menawarkan sapu lidinya akan tetapi tidak ada satupun yang membeli sapu lidi tersebut. Ia pun mampir ke masjid untuk menunaikan salat asar. Setelah selesai salat, ia bergegas pulang ke rumah. Ditengah perjalanan, ia bertemu dengan pak RT.
"Kenapa tadi pak Rahmat ndak nukar kupon di masjid? Udah dapat daging apa belum?" kata pak RT
"Belum pak. Kupon saya hilang" jawab Pak Rahmat sambil meneteskan air mata.
"Yaa Allah pak, kenapa ndak langsung ke saya ajaa tadi?? hmmm yaudah ini bapak ambil punya saya aja" sambil menyodorkan kantong plastik berisi daging kurban
Air mata pak Rahmat kembali menetes setelah mendapat daging kurban dari pak RT. Perasaan yang ada dalam hatinya bercampur aduk, sulit menggambarkan perasaannya dalam kata-kata. Ia pun bergegas pulang. Sampai ke rumah, istrinya langsung menyambutnya dengan senyum manis dan tatapan yang menyejukkan hati yang merupakan penyemangatnya, wajar saja ia begitu bersemangat. Kemudian istrinya menanyakan daging tersebut agar dapat segerah diolah untuk dijadikan makan malam. Akan tetapi Pak Rahmat menyuruh Bu Ratih untuk melanjutkan pekerjaannya kemudian istirahat saja.Â
Hal tersebut dikarenakan pak Rahmat sendiri yang ingin memasak untuk istrinya kali ini buat perayaan ulang tahunnya nanti. Pak Rahmat mengolah daging kurban tersebut menggunakan rempah-rempah seadanya saja. Setelah semua masakan rampung, saat itu telah masuk waktu salat maghrib. Mereka berdua pun salat berjamaah di rumah. Setelah selesai, pak Rahmat menggandeng tangan Bu Ratih menuju ruang makan dan menyuruhnya untuk menunggu. Beberapa saat kemudian, Pak Rahmat masuk dengan membawa semangkok sup sambil menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun" dengan mata penuh dengan linangan air mata.Â
Setelah itu ia menaruh sup tersebut lalu mengecup kening instrinya sambil mengucapkan "selamat ulang tahun bidadari ku, aku minta maaf karna hanya ini yang dapat aku berikan kepadamu, daging kurban sebagai kado ulang tahun mu". Bu Ratih pun tak mampu berkata apa-apa dan tak kuasa menahan haru sehingga ia juga larut dalam tangisan kebahagiaan. Kemudian mereka saling berpelukan dan mengucap syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah mereka peroleh khususnya hari ini.
"Maka Nikmat Tuhanmu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan??"