Konflik di Laut China Selatan sungguh mengusik kedaulatan Indonesia. Konflik ini timbul akibat klaim sepihak China dengan dalil historis yang tidak memiliki dasar hukum internasional. Laut China Selatan diklaim milik China dengan dalil "traditional fishing ground" yang telah ada sejak zaman Dinasti Han (sekitar abad ke-12 SM) hingga zaman Dinasti Ming (sekitar abad ke-16 M). Selain itu, China mengklaim kepemilikannya atas Laut China Selatan dengan menggunakan Sembilan Garis Putus-Putus yang dideklarasikan secara sepihak.
Klaim sepihak China kemudian mengusik kedaulatan Indonesia dengan adanya wilayah Indonesia yang turut diklaim China. Klaim sepihak China berdampak pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna. Jika mengacu pada frasa "NKRI harga mati" yang sering dikumandangkan di sekolah formal hingga seluruh lapisan elemen masyarakat Indonesia, klaim China adalah masalah besar bagi kedaulatan Indonesia.
Jika dikaji dari perspektif Sustainable Development Goals yang ditetapkan PBB pada 2015 untuk dicapai pada 2030, paling tidak Indonesia dirugikan dalam beberapa aspek yang berdampak buruk pada kedaulatan Indonesia. Pertama, dari perspektif SDG 14 tentang ekosistem laut. Kekayaan laut Indonesia terancam dieksploitasi. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna yang masuk dalam klaim sepihak China menyimpan banyak kekayaan flora dan fauna bawah laut. Klaim China dengan dalil "traditional fishing ground" untuk melanjutkan penangkapan ikan di Laut China Selatan menyebabkan penangkapan ikan yang masif dan berlebihan. Rusaknya habitat laut dan meningkatkan pencemaran laut akibat aktivitas manusia dari negara-negara yang saling klaim hak kepemilikan atas Laut China Selatan. Selain itu, kedaulatan Indonesia untuk mengeksplorasi sumber energi berupa cadangan minyak dan gas alam di ZEE Natuna pun turut terancam.
Padahal jika dilihat dari setiap indikator target pencapaian SDG 14, kelestarian ekosistem laut menjadi poin penting yang ditargetkan PBB ---yang didalamnya Indonesia, China dan negara yang berkepentingan di Laut China Selatan turut menyetujui setiap tujuan SDG tersebut. Misalnya pada SDG 14 indikator 14.4 yang mengatakan bahwa pada tahun 2020, setiap negara sudah harus secara efektif mengatur pemanenan dan menghentikan penangkapan ikan yang berlebihan, penangkapan ikan ilegal, dan praktek penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut. Meskipun demikian, target yang seharusnya dicapai pada tahun 2020 masih saja menjadi momok bagi Indonesia (tentunya bagi China dan negara lain yang terlibat konflik) dalam pengelolaan sumber daya kelautan akibat adanya konflik Laut China Selatan.
Selain SDG 14 indikator 14.4, pada indikator 14.c juga secara jelas menargetkan pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan lautan dan sumber dayanya. Target ini mengharuskan setiap negara patuh pada hukum internasional yakni United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Secara spesifik mengenai pelestarian dan pemanfaatan lautan dan sumber dayanya secara berkelanjutan.
Kedua, dari perspektif SDG 16: perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Konflik Laut China Selatan mengganggu perdamaian di kawasan. Eskalasi terbaru antara China dan Filipina meningkatkan ketegangan dan ketidakstabilan di Laut China Selatan. Hal ini tentunya berdampak pada kedaulatan Indonesia sebagai salah satu negara yang zona ekonomi eksklusifnya diklaim milik China secara sepihak. Padahal dalam salah satu indikator SDG 16, yakni indikator 16.7 menargetkan agar menjamin pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif serta representatif di setiap tingkatan oleh semua negara. Hal ini seharusnya dapat diimplementasikan dalam upaya menyelesaikan konflik Laut China Selatan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan.
Selain indikator 16.7, indikator 16.a juga menargetkan adanya kerja sama internasional untuk membangun kapasitas di semua tingkatan, khususnya di negara berkembang untuk mencegah kekerasan. Oleh sebab itu, harusnya semua negara mengutamakan upaya kerja sama regional maupun internasional dalam mengupayakan penyelesaian konflik di Laut China Selatan. Jika semua hal yang ditargetkan dalam SDG tidak diupayakan untuk dicapai, kedaulatan Indonesia tetap dalam ancaman dampak buruk adanya konflik di Laut China Selatan.
Oleh sebab itu, diperlukan solusi sebagai upaya penanganan konflik di Laut China Selatan dari perspektif SDG untuk mereduksi bahaya terhadap kedaulatan Indonesia. Solusi yang harus dikerjakan adalah solusi yang menyeluruh dalam relasi kemitraan, sebagaimana disyaratkan dalam SDG 17, yakni kemitraan untuk mencapai tujuan. Kemitraan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia adalah jenis kemitraan yang berfokus pada revitalisasi kemitraan global secara menyeluruh. Poin menyeluruh menjadi sangat penting setelah bercermin dari relasi perdagangan-investasi Indonesia dan China yang terus berkembang pesat namun timbul masalah ketika berkaitan dengan sektor politik. Seperti halnya ketika China secara sepihak mengklaim hak atas Laut China Selatan. Â Sebagai contoh, kedaulatan Indonesia terusik ketika konflik Laut China Selatan memanas meskipun realisasi investasi China ke Indonesia mencapai US$5,18 miliar pada tahun 2022, hanya kalah nominalnya dari Singapura.
Beranjak dari fakta tersebut, kemitraan yang lebih luas dan intens sangat perlu diusahakan kedua pihak. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara yang dirugikan harus memiliki inisiatif lebih. Jika mengacu dari perspektif SDG, terdapat beberapa upaya kemitraan yang dapat dilakukan. Pertama, memperkuat hubungan diplomasi. Hubungan diplomasi yang mengedepankan dialog harus diupayakan dengan serius dan intens.
Mengacu pada indikator 17.6 pada SDG 17 yang mensyaratkan untuk meningkatkan kerjasama Utara-Selatan (kerja sama antar negara maju-negara berkembang), kerjasama Selatan-Selatan (kerjasama antar negara berkembang), dan kerja sama triangular secara regional dan internasional maka upaya kemitraan harus segera diupayakan. Indonesia perlu intens menjalin kerjasama Utara-Selatan. Dalam konteks untuk menjaga kedaulatan Indonesia di ZEE Natuna, kerjasama diplomasi dengan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia perlu ditingkatkan dengan intensitas yang tinggi. Dalam menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat maupun Australia, Indonesia juga dapat mendorong kerja sama yang besar melalui wadah ASEAN agar secara kolaboratif mengusahakan perdamaian kawasan. Kerja sama Utara-Selatan ASEAN juga dapat dikembangkan dengan Uni Eropa melalui forum dialog untuk mengusahakan stabilitas kawasan, utamanya dalam meredam ketegangan di Laut China Selatan.
Kedua, Indonesia juga perlu secara aktif mempromosikan pembangunan berkelanjutan dalam mekanisme kerja sama Selatan-Selatan dengan China. Indikator 17.14 dalam SDG 17 mensyaratkan untuk meningkatkan keterpaduan kebijakan untuk pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dalam konteks konflik di Laut China Selatan merujuk pada upaya memadukan kebijakan untuk menjaga ekosistem lautan sebagaimana yang ditargetkan pada SDG 14 mengenai ekosistem lautan.
Indikator 14.c dalam SDG 14 menargetkan penerapan United Nations Convention on the Law of the Sea sebagai kerangka hukum untuk mengusahakan pelestarian dan pemanfaatan lautan dan sumber dayanya secara berkelanjutan. Upaya untuk menegakkan hukum internasional dalam konflik Laut China Selatan dapat diperjuangkan melalui forum PBB yang telah menghasilkan kesepakatan bagi semua negara untuk mencapai target SDG pada tahun 2030.
Indonesia perlu berupaya mendorong penegakan hukum internasional yang seharusnya dipatuhi oleh semua negara melalui forum PBB. Melalui forum PBB untuk menegakkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), paling tidak untuk menjamin hak Indonesia mengelola ZEE Natuna. Berhasil menegakan hukum internasional, utamanya UNCLOS maka Indonesia akan memiliki hak eksklusif untuk mengelola sumber daya alam di ZEE Natuna tanpa mengkhawatirkan kedaulatan Indonesia akibat klaim sepihak China di Laut China Selatan.
Akan tetapi, solusi yang ditawarkan dari perspektif SDG menjadi tantangan dalam upaya implementasinya mengingat setiap negara, utamanya Indonesia dan China memiliki dalil klaim dan kepentingan yang berbeda di Laut China Selatan. Selain itu, ketidakmampuan forum global seperti PBB dalam penegakan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menjadi tantangan dalam upaya penyelesaian konflik dari perspektif SDG.
Meskipun demikian, upaya menyelesaikan konflik di Laut China Selatan dengan solusi dari perspektif SDG tentu memiliki peluang untuk tercapai. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran global untuk mencapai target SDG pada tahun 2030. Kesadaran ini menuntun pada masifnya kerja sama internasional untuk mengatasi masalah global yang menjadi perhatian serius seperti isu perubahan iklim. Selain itu, solusi yang ditawarkan berupa upaya memperkuat hubungan diplomasi dan aktif mempromosikan pembangunan berkelanjutan dalam mekanisme kerja sama Selatan-Selatan dengan China berpotensi disambut baik berbagai pihak. Hal ini dikarenakan solusi dari perspektif SDG menawarkan upaya penyelesaian konflik secara damai.
Oleh sebab itu, diperlukan usaha yang maksimal untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan. Jalan diplomasi dan usaha mencapai pembangunan berkelanjutan melalui kerjasama Selatan-Selatan dengan China harus diupayakan. Sebab jika upaya yang dilakukan berhasil, stabilitas dan keamanan di kawasan akan terjamin. Tentunya Indonesia akan mendapat haknya secara eksklusif dalam mengelola sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif Natuna.
REFERENSI
- Annur, C. M. (2023, 11 Januari). Investasi Tiongkok di Indonesia melonjak 63% pada 2022. Pusat Data Ekonomi dan Bisnis Indonesia. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/11/investasi-tiongkok-di-indonesia-melonjak-63-pada-2022
- Bappenas. (2021). Buku Saku: Terjemahan Tujuan dan Target Global. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H