Mohon tunggu...
Angling Prasodjo
Angling Prasodjo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Angin dan badai itu yang menguatkan akar akar tumbuh menjadi pohon.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Efa anak Nyai

2 Oktober 2013   06:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sambil merenung ia melangkah lebih pelan dari biasanya. Hampir setiap hari keluar masuk kelas, dari jam ke jam, disepanjang usianya, sudah tak terhitung lagi berapa banyak langkahnya. Hampir usia mendekati pensiun, ia masih terus diberikan kemampuan melangkah. Tidak ada sesuatu yang luar biasa, hari masih berjalan seperti biasa. Hanya seorang muridnya, kadang suka tercenung dalam benaknya. Makin lama makin menarik perhatiannya. Ia tidak tahu mengapa. Anak itu juga tidak bermasalah di sekolah. Bertubuh kurcaci agak kuntet, berkulit bersih, anaknya termasuk pandai.

Begitu memasuki ruang kelas, ia langsung duduk di belakang meja guru. Terdengar anak murid secara serempak berdiri mengucapkan salam selamat pagi. Tatapannya tertumbuk buku absen, lalu disimaknya pelan. Ia berhenti pada nama anak itu. Eva. Ia baru menyadari, ternyata nama Eva tidak ditulis dengan huruf ‘v’, melainkan dengan huruf ‘f’, yakni Efa, lengkapnya Efa Sulandari Noah. Kenapa begini, pikirnya, ia mencermati sejenak nama itu.

Sulandari jelas nama Jawa dan sebuah nama yang bagus. Sedangkan Efa, dari mana nama ini ? Mengapa tidak ditulis dengan huruf ‘v’ seperti umumnya, yang berarti Eva atau Eve atau Hawa, Siti Hawa, Ibu manusia di dunia. Sementara Efa, apa ya artinya ? Efa, efe, eife, eifel, effa, ia tidak menemukan artinya. Yang pasti ia belum pernah menemukan arti dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris.

Anak itu dipanggilnya dengan lunak, “Eva, Eva, coba kemari, Eva.” Anak kelas tiga es’empe itu menghadap. “kemari, bu Guru mau tanya, tugasmu sudah selesai, kan ?”

“Sudah, bu !”

“Boleh bu Guru minta, coba tuliskan namamu dipapan tulis.” Murid kurcaci itu mengukir namanya di papan tulis, Efa, dengan ejakan huruf besar, kapital.

“Siapa yang memberi nama Efa padamu ?”

“Ibu saya, bu !”

“Kalau nama Sulandari juga Ibumu?”

“Iya, bu !” Cukup lugas Jawabannya, tanpa keraguan. Kedua nama itu berasal dari Ibunya.

Kelugasan itu makin mendorong keningnya mengerut. Apakah karena karena ketidak tahuan, lalu ditulis sekenanya, Efa ? Bagaimana tingkat ekonomi dan pendidikan orang tua anak itu kira kira.

Selang dua hari orang tua Efa diminta hadir. Kini makin jelas orang yang biasa mengantar sekolah tiap hari itu, usianya sekitar 65 tahunan. Tinggi sedang, penampilan rapi agak bongkok, nampak dari kalangan menengah umumnya orang komplek perumahan.

“Bapak dari Jawa juga, ya ? sapanya mempersilahkan duduk.

“Betul, bu....., Ibu dari mana ?”

“Saya dari Wates, pak...., bapak ?

“Saya dari Pati. Ibu panggil saya betul, ya ?”

“Maaf lho, pak, saya boleh tanya sedikit soal Efa.”

“Silahkan, bu, kenapa Efa ?”

“Mohon maaf lho, pak, ini mengganggu privacy bapak.”

“Ya ya, ya silahkan, tidak menjadi soal.”

“Efa ini anaknya baik dan pandai di kelas. Apa namanya benar ditulis Efa, begitu ?”

“Terima kasih.., ya benar, sejak awal memang ditulis Efa.” jawabnya kalem. Jawaban orang tua ini bagaimana, pikirnya. “sejak awal ?” sejak awal kapan ? Masih kurang begitu jelas.

“Apa Efa, maaf, anak bapak sendiri ?”

“Ya, anak saya, bu !  Ada yang penting dengan Efa, bu ?”

“Tidak apa apa, pak ! Efa tidak ada masalah. Saya sebenarnya hanya ingin dengar dari bapak, kenapa tulisan Efa tidak ditulis Eva, saya kira bapak lebih paham.” Ada yang agak disembunyikan dari bu Guru. Dan dikiranya orang tua Efa tidak  menangkap.

“Biasanya kan ditulis dengan huruf ‘v’, artinya Ibu Hawa, tapi kalau pake huruf ‘f’ saya belum tahu apa artinya.”

“Nama itu ada artinya, bu.”

“Apa artinya, pak ?”

“Maksud saya ada sejarahnya.”

“Ooh, begitu !” bu Guru agak terkesima. “saya terus terang berteka teki, pak, kan umumnya Eva, pake hurus ‘v’ bukan Efa pake huruf ‘f’.”

“Ya sudah, pak, kalau begitu. Saya terima kasih banyak, bapak sudah membuang waktu mau bertemu dengan saya,” sambungnya.

“Oo tidak apa apa, bu. Malah lain kali, saya yang akan minta waktu Ibu.”

***

Cukup menggelikan, sebuah nama bisa membuat urusan berkepanjangan. Berada dirumah bu Guru masih mencoba berbagi soal dengan suaminya. Bu Guru minta pendapat suaminya. Suami, disamping kurang perhatian, belum pernah menemui hal serupa. Malah menurutnya di jaman sekarang hal seperti itu tidak ada istimewanya.

Lain hari langkah bu Guru makin keluar garis. Ia sadar sudah diluar batas, orang lain mungkin melihatnya usil, namun ada dorongan yang membuatnya ingin tahu lebih jauh soal Efa. Pak Sidik, orang Betawi, sesama teman guru yang berdiam disekitar orang tua Efa, berhasil ditemukan. Pak Sidik menyatakan orang tua Efa orang baik, malah dianggap sebagai tokoh di tetangga sekitar, sering dan banyak diminta memberikan masukan dan saran. Malah suka terima tamu.

Bu Guru diam sejenak, berpikir.

“Pak Sidik pernah bincang bincang dengan bapak itu, siapa namanya ?

“Lumayan sering, orangnya supel, namanya pak Mashuri. Pandangan agamanya lurus, ada apa ini rupanya ? pak Sidik pun perlu bertanya. Bu Guru Katrin kemudian berbagi apa yang tengah dipikirkan.

“Oo begitu rupanya, ya ya....,” kebetulan pak Sidik mengetahui persoalannya. “Efa itu anaknya Nyai,” tambahnya dengan lunak.

Nyai ? Anak Nyai bagaimana ? Nyai itu istrinya pak Mashuri itu ?”

“Bukan, bukan begitu. Ceritanya agak panjang, mesti butuh waktu nih, untuk menceritakan, ini saya lagi mau ulangan.”

“Nanti aja istirahat kantor, ya ? bu Guru Katrin mendesak.

“Atau begini aja, biar lebih enak dari tangan pertama, usahakan nanti malam bisa ke pak Mashuri. Nanti bu Katrin saya dampingi, bagaimana ?

“Caranya bagaimana, ya ?

“Minta aja di drop dirumah pak Mashuri. Nanti saya tungguin didepan rumah pak Mashuri.”

Tiba didepan rumah, bu Katrin disongsong pak Sidik dan pak Mashuri. Ketiganya duduk diruangan tamu layaknya.  Berbasa basi sejenak, pak Sidik mengantarkan maksud tujuan kedatangan bu Katrin.

“Ooh, baik, terima kasih Ibu berkenan kemari. Apa yang bisa saya bantu, saya bantu. Mengenai soal Efa, ya bu, hehe...” sambut pak Mashuri.

“Ya ini, pak” sahut bu Katrin agak tersipu. “maaf malam malam, lho pak !”

“Gak apa apa. Baiklah saya minta waktu ya, pak Sidik,” terlihat pak Sidik mengangguk. “kalau memang kehendak Ibu ingin tahu anak saya, baik akan saya terangkan.”

“Hanya saja kalau boleh saya minta sedikit,” sambungnya. “biar bisa menghayati, Ibu dalam kondisi santai saja. Sebaiknya melepaskan beban pikiran, maksudnya saya, kalau Ibu sering mendengar istilah kosong, ya itu maksud saya.”

Sementara bu Katrin mulai kehilangan arah, pak Mashuri beranjak menuju kredensa. Belum pernah bu Katrin terlibat pertemuan seperti ini. Tidak praktis, rasanya tidak sabar. Tak lama mengalun suara dari tape usang, tembang Jawa melayang layang dalam bentuk megatruh.

“Bagaimana ? pak Sidik sendiri bisa menerima lagu Jawa ini, kan, bisa merasakan suasana lebih tenang ? bu Katrin dari Wates tentu tidak asing, kan, apa bener lebih tenang rasanya ?

Wah, benar, pak, lama sekali tak pernah dengar,” ujarnya sambil menyembunyikan ketenangan yang sedang dirasakan. Tak lama beranjak, pak Mashuri sudah jongkok disisi lain, tengah membakar dupa kayu Gaharu. Kemeluk dupa mulai naik ke udara. Isi ruangan mulai diliputi asap tipis samar samar.

Bu Guru Katrin sudah tidak lagi di ambang, sekarang sudah masuk dalam dunia yang lama tak dikenalnya. Diakui, hati terasa tenang, leram, damai rasanya. Perempuan guru itu merasa memasuki dunia lebih lambat, dan pelan. Lama sekali suasana ini tak pernah dijumpai. Tapi suasana ini dibuat, celetuknya dalam hati. “pak Mashuri, saya boleh bertanya ?”

“Boleh boleh, santai saja, silahkan !”

“Mengapa mesti menyetel tembang jawa, ada bakaran dupa juga ?”

“Oo..begini. Begini begini...”

“Bapak Ibu kalau ingin mengetahui anak saya, saya harus mengajak ke masa lalu. Saya harus bercerita dari awal, baru nanti akan jelas. Masa lalu yang para pelakunya sudah meninggal dunia,” jelas pak Mashuri. Lalu sambungnya.

“Agar suasana menjadi dua dimensi, sekalian biar cerita saya ada yang menjadi saksi, bapak Ibu juga bisa menjiwai ceritanya, perlu kehadiran jiwa jiwa lain di ruangan ini.”

“Jadi bapak menghadirkan ?” sela pak Sidik.

“Tidak. Saya tidak menghadirkan. Hadir atau tidak, itu terserah, saya tidak boleh memaksa, hanya suasananya saja saya sediakan untuk memudahkan bila anggaplah seseorang berkenan hadir.”

“Dupa dan tembang itu merupakan sarana, pak ?” perasaan bu Katrin mulai mencair.

“Ya benar ! Sarana atau media bisa apa saja, dan sarana yang paling bisa menembus dimensi lain adalah asap. Dari pada asap kayu bakar, tidak ada salahnya asap yang harum, hehe..., begitu kan bu, ya?”

“Oo begitu ya, pak ?” tegas bu Katrin.

“Logikanya begini, bu. Kalau orang kita omongin, kita rasanin, orangnya bisa merasa bisa juga tidak. Kalau orangnya peka biasanya tahu kalau dirinya tengah diomongin orang. Atau, adapula dengan jalan diberikan tanda tanda lain. Contohnya adalah kedut, kita kadang mengalami kedutan, atau telinga tiba tiba bunyi. Itu adalah tanda, di antara itu salah satunya tanda jika dirinya sedang diomongin orang. Bisa diterima ya, bu ?”

“Ya ya, pak, begitu ya, pak ! Maklum ya, pak, saya kurang paham soal begitu begitu.” diam diam dipandanginya pak Mashuri berkali kali.

“Nah, demikian pula, bukan hanya orang hidup, orang yang sudah meninggal pun ada yang diberikan kemampuan mendengar. Apalagi bagi yang peka, bila diberikan ijin Tuhan, dia bisa ikut mendengarkan apa yang tengah diperbincangkan orang yang masih hidup.”

“Oh....,” bu Katrin agak kaget. Pandangannya ditebar mengamati isi ruangan. Pak Mashuri dilihatnya nampak tenang tenang, biasa biasa saja. Baginya tidak biasa, pak Mashuri biasa saja. Seorang tokoh dan paham agama ? Orang ini memiliki etika batin, pikirnya. Ketidak sabarannya masih diambang pintu menunggu bagaimana cerita pak Mashuri.

***

Hati siapa tidak terpesona, bahkan tidak sedikit yang tergiur, melihat sabetan selendang, parasnya mengikuti alunnya, begitu lembut dan mengalun tipis. Bergerak meliuk, pinggul agak merendah siap menyambut ajakan. Tipis dan lembut, dalam buaian kasmaran. Orang Jawa menyebut gerakan srimpi, srempet, terserempet, gerakan yang menyinggung sangat tipis. Tidak dipungkiri ada semburat birahi meski tipis didalamnya, antara nafsu, gemas, kasih sayang dan keinginan memiliki. Kepiawaian itu mengundang seseorang menjadi korban perkelahian.

Laki laki yang tergila gila dengan ledek tayub itu bernama Soerip. Nampaknya Soerip tidak sendirian karena seorang Indo, peranakan Belanda campuran, yang bertugas sebagai Sinder Tebu juga tak kalah gilanya. Bagi ukuran seorang Sinder, Soerip tidak ada apa apanya, karena banyak centeng yang siap membela dibelakang Sinder. Dengan sok kuasa seorang penjajah, Sinder mengambil paksa ronggeng tayub, dijadikan sebagai Nyai atau gundik seorang Sinder.

Kemenangan itu ternyata tidak lama. Kira kira tidak lebih dari dua tahun, Sinder pongah itu menemukan ajalnya ditangan centengnya sendiri, akibat persoalan yang tidak begitu jelas. Bisa dimaklumi suasana pedesaan waktu itu, orang orang kembali gempar mendengar berita itu. Nyai yang sudah menjadi janda kembali menjadi rebutan.

Soerip tidak sudi menerima kekalahan untuk kedua kalinya. Cepat cepat Soerip melakukan penyelidikan ke kota dan Nyai janda diculik dibawa kabur meninggalkan desanya entah kemana. Para kompeni kehilangan jejak.

Sekian lama tanpa ada berita, Nyai janda akhirnya pulang kembali tanpa Soerip disampingnya. Disisinya dituntun seorang bocah yang kemudian diketahui sebagai anaknya, hasil perkawinan dengan Soerip. Anak perempuan itu diberi nama Sulandari.

Sebagai gadis dusun umumnya, Sulandari termasuk perempuan ayu. Tidak kalah menariknya dengan Nyai. Belum sampai 20 tahun, Sulandari sudah dipersunting orang seberang, seorang saudagar rempah. Tak lama Sulandari hamil hingga melahirkan. Anaknya lahir perempuan, mirip ibunya malah lebih putih, dalam kondisi kritis. Sulandari tidak tertolong, usai melahirkan Sulandari meninggal.

Dibalik ketenarannya, hidup Nyai ternyata penuh liku. Setelah ditinggal mati suaminya, ia harus membesarkan Sulandari seorang diri. Begitu ditinggal Sulandari, ia kembali membesarkan cucunya seorang diri. Dari pada suami Sulandari tidak mampu merawat, anak itu kemudian diambilnya. Anak Sulandari sempat dibawah asuhannya cukup lama, barang 7 tahun.

Bisa dibayangkan bagaimana suasana pedusunan pada waktu itu. Ketika disitu ada Nyai janda ayu, dengan seorang bocah yang tak kalah cantiknya, orang kampung mana yang tidak tahu, setidak tidaknya nama Nyai sudah tidak asing. Orang orang kemudian menyebut anaknya Sulandari itu sebagai anaknya Nyai Efa.

Nyai penari ledek itu nama aslinya Ipah. Tetapi karena pernah hidup bersama Sinder, barangkali mengikuti lidah Belanda, nama itu lalu menjadi Efa. Mungkin Sinder suaminya biasa memanggilnya Efa. Jadi nama Efa itu adalah nama Nyai Efa, nenek si Efa.

Nyai Efa meninggal karena usia lanjut, menyusul suaminya dan anaknya yang sudah mendahului. Efa kemudian diambil oleh anak Soerip yang lain, waktu itu Efa baru masuk kelas satu esde.

“Sampai disitulah jalan cerita murid bu Katrin yang bernama Efa itu. Yang dimaksud anaknya pak Soerip disitu tidak lain adalah saya sendiri, dari lain Ibu, istri pertama. Jadi Soerip adalah ayah saya sendiri yang berputra 6 orang, dan saya jatuh nomor 3. Untuk mengenang nenek dan Ibunya, saya memilih mempertahankan nama itu dan saya nisbatkan menjadi bernama lengkapnya Efa Sulandari. Dan dari saya ada imbuhan Noah, jadilah nama Efa Sulandari Noah.”

Sejak awal suasana ruangan ikut terbawa cerita pak Mashuri. Rasanya seperti menempuh perjalanan cukup jauh dan lama sekali. Ruangan seolah hening berbau harum. Yang terdengar lebih banyak tarikan nafas bu Katrin dan pak Sidik.

***

“Demikian, bu, yang bisa saya ungkapkan ke Ibu menyangkut latar belakang keluarga saya. Semua ini saya sampaikan apa adanya sesuai riwayat yang telah berlangsung.” Pak Mashuri mengakhiri uraiannya dengan tenangnya, takdzim.

“Kalau Ibu bisa merasakan, barangkali bisa mengatakan adanya kehadiran.”

“Bisa, pak !” Jawaban bu Guru Katrin spontan agak mengherankan.

“Oo ya syukur, alhamdulillah kalau Ibu peka.”

“Saya bisa merasakan tetapi tidak bisa melihat, pak. Ada dua perempuan yang hadir ditengah kita.”

“Ya syukurlah kalau bisa merasakan !”

“Bagaimana caranya supaya saya bisa lebih tajam, pak ? Apa ada cara yang bisa ditempuh ?

“Bisa, dan biasa saja, tidak begitu sulit.”

“Caranya ?”

“Ibu kan sudah punya modal, yang sering disebut naluri. Naluri keibuan. Selama ini naluri itu bisa on, bila terjadi sesuatu hal penting yang berkaitan dengan bapak atau suami dan anak. Ibu akan diberi rasa dalam bentuk firasat.”

“Ya saya juga paham itu, lalu caranya gimana, pak ?” desak bu Katrin agak sembrono.

“Caranya bisa dimulai dengan latihan setiap hari mau memperhatikan disekitar Ibu. Antara lain, kondisi alam, perubahan cuaca, angin, mendung, kondisi rumah, tingkah laku dan kebiasaan anak dan suami, pepohonan, burung, tingkah laku kucing, hewan ternak, ada tidaknya tamu dan lain sebagainya.”

“Banyak juga ya, pak ?” bu Katrin termangu membayangkan uraian pak Mashuri cukup banyak. Apakah karena nama Efa itu yang menyeret dirinya memperoleh pengetahuan baru dari pak Mashuri, pikirnya merenung sambil mengangguk angguk pelan. Ditebarkan lagi pandangannya sekeliling ruangan. Bau asap dupa sudah tidak seberapa semerbak. Suasana seolah kembali ke sediakala sehari hari.

“Ya Ibu bisa memulai dari sedikit sedikit. Setiap hari sebaiknya dibiasakan dalam keadaan waspada. Nanti benar tidaknya terletak pada pengalaman sendiri secara berulang ulang. Misalnya Ibu memelihara kucing dirumah. Gerakan kucing banyak beragam, tetapi ada gerakan kucing yang menurut perasaan kita waktu itu agak aneh. Setelah itu diperhatikan, apa yang akan berlangsung. Bisa hari itu, bisa besuknya, tetapi tidak lebih dari tiga hari, sesuatu pasti berlangsung. Nah, selanjutnya kejadiannya diingat ingat atau kalau mau bisa dicatat.”

Selanjutnya.

“Seperti gunung meletus. Semula orang tidak tahu kapan  gunung akan meletus. Karena sering mengalami gunung meletus, sekelompok penduduk kemudian melakukan pengamatan. Dan akhirnya penduduk memiliki pengetahuan baru, yaitu tanda tanda ketika gunung hendak meletus. Mulai dari tanda tanda alam, adanya gempa bumi, keluarnya lava, hingga tanda tanda binatang, harimau turun dari hutan, burung beterbangan pindah sarang, tak lagi banyak berkicau hingga banyak ular ditemukan mati di sungai, semua itu adalah tanda tanda yang bisa dipelajari dari latihan.”

“Didalam Islam, hal ini termasuk bagian dari ilmu kauniyah.”

Benak bu Katrin kini bisa menalar, jangan jangan antara pengetahuan yang didapat dengan rasa penasaran terhadap nama Efa memiliki hubungan. Sebab kalau didalami menjadi nampak tidak lazim timbul penasaran hanya karena sebuah nama, soal penulisan nama. Apalah arti nama seorang murid dari sekian banyak murid. Sebaliknya, apa memang iya, untuk memperoleh pengetahuan seperti itu harus memerlukan sabab musabab. Seberapa penting pengetahuan itu ? benaknya masih berputar, perlu waktu lagi.

Ia pun bisa memahami, mengapa nama muridnya tetap ditulis Efa. Ternyata memang bukan berasal dari nama Eva atau Siti Hawa, melainkan dari nama Ipah. Ipah atau nama panggilan dari Suripah, mungkin Latipah, bisa juga Sunipah.

Pantaslah, pikirnya di kepala, pak Mashuri dianggap sebagai orang bijak. Pak Mashuri lebih mempertahankan tulisan Efa, dari pada Eva, walaupun dirinya mungkin lebih setuju tulisan Eva. Semua itu demi menghormati asal usul si anak. Bu Guru Katrin bisa memahami,” setiap anak harus mempunyai asal usul yang jelas !”

“Jadi anak itu memang benar tidak mengenal ibunya yang asli ?”

“Ia masih punya sedikit ingatan pada Nyai Efa sebagai ibunya. Tapi Ibu cukup paham anak seusia 7 tahun, ingatan dengan mudah timbul tenggelam. Apalagi kebetulan istri saya bisa mengambil hatinya, memori si Efa lebih banyak dipenuhi istri saya sebagai ibunya. Terhadap Nyai Efa, anaknya sudah lupa lupa ingat.” Ditatapnya bu Katrin nampak bernafas lega sambil tersenyum.

“Maaf ini, pak..., saya jadi pengin tahu lebih jauh.”

“Tidak apa apa, silahkan !”

“Kapan kapan boleh bertanya lebih jauh mengenai Kauniyah ?

“Ooh, sudah barang tentu boleh, dengan senang hati, sebisanya, hehe...”

‘Tapi, pak, sedikit aja, pak ! Sering dibilang media itu syirik, pak, gimana tuh, pak ?’

“Oo ya, sering mendengar hal itu. Singkatnya, media itu tidak syirik, yang syirik itu orangnya, pemahamannya, kebiasaannya. Kalau direnungkan mana ada sesuatu di dunia ini yang mampu menyamai Tuhan. Dan memang Tuhan tidak bisa diserupai apa pun. Dalam soal ini memiliki keterkaitan dengan hati sanubari dan istilah ketergantungan. Istilah pertolongan, bantuan, kolaborasi, bisa menjadi wilayah abu abu, grey area. Kapan kapan Ibu kemari lagi karena uraiannya cukup panjang, perlu waktu cukup, biar Ibu nanti gamblang betul.”

***

Oktober-01, 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun