Mohon tunggu...
Angko M. Yazid R.M.
Angko M. Yazid R.M. Mohon Tunggu... lainnya -

CoffeeLover. Sebenarnya lebih suka nyimak. Terpaksa menulis demi bisa ikut #TurunTangan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Orasi Damai, Perubahan Prabowo? Saya Tetap Pilih Jokowi!

4 Juni 2014   21:21 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:21 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini tulisan pertama saya di Kompasiana, moga berkenan sebagai bahan diskusi.

Banyak yang menilai Prabowo lebih baik dari pada Jokowi dalam orasi damai mereka di KPU. Selama ini kita mengenal Prabowo sebagai sosok yang kalau berpidato suka meledak-ledak, jauh dari damai, bahkan dengan sadar melontarkan idiom-idiom yang mendiskreditkan pihak lawannya.

Saya pribadi pernah sarankan ke Sekjen Sekretariat Bersama Nasional (Sekbernas) Prabowo, kebetulan ada link ke dia karena sesama anggota grup FB besutan Yusran Dharmawan, agar sebagai pemimpin dia tidak suka mengumbar bahasa yang menyulut, soalnya kalau pemimpin itu bicara A-B, di pengikut akan jadi A-Z. Semua bilang ingin kampanye yang jauh dari fitnah dan kampanye hitam, tapi dia sering tidak bisa jaga kata-kata. Baguslah kalau kritikan ini, yang tentu juga disampaikan oleh banyak pihak lainnya, diperhatikan pihak Prabowo. Mungkin juga memang Prabowo seperti itu, pidato yang berbahasa menyerang hari kemarin berubah damai hari ini karena kesadarannya sendiri dan bukan karena kritikan masyarakat. Saat awal saya menyampaikan kritikan tentang itu, jawaban pak Sekjen, “Prabowo tidak perlu dinasehati, dia lebih tahu”. Soal hati kita tidak tahu, apa tulus atau pencitraan. Tapi paling tidak, INI SUDAH BAGUS, KARENA AKAN ADA PENGARUH POSITIF KE PENGIKUTNYA.

Soal pilihan ke Jokowi atau Prabowo, rakyat yang teliti tidak hanya akan termakan pidato, Jokowi bukan ahli pidato tidak seperti Prabowo yang memang kerjanya pidato. Jokowi kerjanya aksi, dan Prabowo tidak punya sama sekali apa yang bisa dia andalkan untuk berargumen dengan Jokowi soal aksi dan prestasi. Mari kita pikir-pikir lagi beberapa isu "positif" yang sering digembar-gemborkan tentang Prabowo, dan "prestasi" Beliau.

Kepiawaian Prabowo yang sering diungkit di bidang militer, tidak menaikkan haibah, citra TNI. Tidak adanya haibah itulah yang bikin negara kita tidak ditakuti tetangga. Kejagoan dia di medan tempur yang digembar-gemborkan itu juga bohong karena dia tidak pernah bertempur. Perang melawan sipil itu bukan bertempur.

Jokowi terbukti tegas dalam keputusan-keputusannya, Prabowo tidak lebih dari itu, ketegasan itu bukan suara keras.

Soal keberagamaan, yang selama ini jadi isu kontra Jokowi mulai dari masa pilgub, juga dipertanyakan. Jelas keduanya haji. Amien Rais bilang, Prabowo rajin shalat. Demikian juga kesaksian pihak Jokowi tentang ketaatan Jokowi. Jelas keluarga Jokowi semua adalah haji dan hajjah. Namun apakah keduanya mengerti hukum-hukum agama atau praktik yang afdal, itu dipertanyakan. Beberapa kali kita mendengar isu ada yang kurang dari pemahaman mereka, meskipun ketidaktahuan Prabowo bahwa laki-laki yang harus mengimami perempuan adalah hal yang keterlaluan. Namun ini tidak jadi masalah, karena mereka bisa belajar lagi soal itu. Ini adalah hal yang akan mereka pertanggungjawabkan secara pribadi kelak, tidak di dunia ini. Tapi, menghembuskan isu atau menggunakan isu agama untuk kepentingan kekuasaan menunjukkan orang seperti apa Prabowo sebenarnya. Ini jadi soal integritas.

Soal integritas jelas Prabowo ada masalah, berkali-kali dia memberikan ilusi kepada rakyat hal yang justru bertentangan dengan kenyataan dia. Lima hingga sepuluh tahun ini dia bicara kesederhanaan, petani, nelayan, buruh, dan pasar, dan kenyataannya dia tidak berbuat apapun untuk mereka, dan menjadikan mereka hanya sebagai slogan politik. Ini boleh dipandang sebagian orang hanya masalah pencitraan, dan Jokowi juga dituduh pencitraan. Tapi bagi sebagian yang kritis, ini adalah politisasi kemiskinan, yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang pekertinya dipertanyakan.

Dia juga bicara nasionalisasi aset dan buntut-buntutnya, sementara dia titisan gurunya kapitalis di Indonesia, lihat nasabnya biar memengerti. Hasim, adiknya, dalam pidato di USINDO, dengan bangganya mengatakan “saya ini kapitalis dan saya bangga jadi kapitalis”.

Sejatinya mereka pro korporasi, tapi yang dicitrakan selama ini pro rakyat.

Dia bicara macan-macanan, namun dia lari dikejar entah hantu apa ke Jordan.

Dia bicara anti-Amerika, pidato Hasim jelas menyebutkan Gerindra memberikan tempat yang spesial bagi Amerika dalam kredonya.

Mereka bikin tenda besar namun, seperti implisit dalam jawaban Mahfud MD di Mata Najwa, hakikatnya apa yang mereka lakukan adalah keterpaksaan pragmatis.

Saya tidak memilih Prabowo bukan hanya karena baiknya Jokowi. Saya tidak memilih Prabowo karena moralitas yang saya pahami tidak memudahkan saya untuk menerimanya. Prabowo, dari sisi integritas, bagi saya tidak putih, dia kelabu, dan bekal pelajaran agama yang saya pelajari bertahun-tahun nyantri menyulitkan saya menaruh kepercayaan kepada orang yang kelabu. Seperti dicontohkan para ulama hadits yang berjalan menjelajahi seluruh kawasan Arabia dan Jalur Sutra demi menyibak putihnya profil seorang tokoh sebelum percaya akan periwayatannya, saya menerapkan prasyarat yang sama untuk memberi kepercayaan kepada seorang calon pemimpin. Dalam filsafat hukum Islam, mencegah mudharat lebih didahulukan daripada mencari manfaat, dan saya tidak yakin tidak ada mudharat dari seorang berkepribadian kelabu. Hal ini ditambah pilihan apakah saya percaya sistem Kapitalis dapat menyejahterakan seluruh rakyat atau menguntungkan para konglo korporasi. Saya mengerti di sini jelas dualisme dan pragmatisme partai-partai, terutama parpol Islam, yang berkoar-koar menolak kapitalisme dan neo-liberalisme, namun memilih berkoalisi dengan Gerindra.

Saya mengerti, sahabat-sahabat saya banyak yang bersikeras memilih Prabowo, dan ini hanya karena sejak awal termakan fitnah isu SARA. Fitnah adalah satu-satunya cara yang bisa mereka manfaat untuk melemahkan posisi Jokowi di mata rakyat luas, yang suka tidak suka memang masih gampang termakan isu. Isu SARA ini jahat dan bodoh, tapi memang efektif, karena dengan isu ini orang tidak disentuh rasionya, yang disentuh adalah emosinya.

Satu hal yang benar-benar menjadi concern saya, adalah bahwa bisa jadi kemenangan pemilu akan ditentukan oleh uang dan birokrasi, dan untuk itulah tenda besar itu dibangun. Mudah-mudahan rakyat yang netral dan berhati nurani mau dan mampu menjaga agar uang korporasi tidak menentukan hasil pemilu kita kali ini, demi Indonesia yang lebih bermartabat dan agar kita tidak malu jadi bangsa yang jalan di tempat di tengah geliat dinamis dunia.

Salam Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun