Mohon tunggu...
Angin Sepoi
Angin Sepoi Mohon Tunggu... lainnya -

hanya kabar angin..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado dari Tuhan

28 Februari 2014   16:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu Si Buyung terlihat sedang duduk di batu yang agak menjorok ke sungai. Siang-siang seperti ini sungai sedang sepi. Bagus sekali untuk menyepi. cuaca cerah membuat burung-burung bernyanyi riang. Buyung membuka sendal, kemudian mencelupkan kaki ke dalam sungai. meresapi kesejukan air yang mengalir jernih sambil memandangi ikan yang berenang melawan arus. Ah, sayang sekali tadi tak membawa pancing, buyung membatin.

"Jangan terlalu di tepi nak, nanti kau jatuh.." sebuah suara mengejutkan Buyung.

Eh, siapa itu? Seorang bapak tua. Buyung memperhatikan sambil mengernyitkan kening. Bapak tua itu terus berjalan. di tangannya tergenggam peralatan pancing sederhana. Jorannya terbuat dari ranting bambu. Di bahunya tergantung tas lusuh. beberapa meter ke hulu si bapak lalu duduk di tepi sungai, di bawah pohon beringin. Mulai memasang umpan, melempar ke sungai dengng asal-asalan, lalu menancapkan jorannya di tanah. sementara dia sendiri kemudian tiduran bersandar pada pohon dg wajah ditutupi topi pandan lebar.

Kenapa bapak itu melarang saya duduk di tepi sungai sedangkan dia sendiri juga duduk di tepi sungai? Buyung agak jengkel. Siapa bilang saya yang di tepi sungai, sungai ini yang di tepi saya. Eh tapi siapa itu ya? baru kali ini bapak itu terlihat disini.. Buyung bertanya-tanya dalam hati. Eh, lihat tuh.. Pancingannya baru saja menangkap seekor ikan besar. Padahal saya sendiri jarang sekali berhasil menangkap ikan sebesar itu. Beruntung sekali bapak itu.

Sementara bapak tua itu mulai memasang umpan lagi, lalu kembali menancapkan pancingnya di tanah. Membiarkan pancingnya bermain dengan arus air. Tak lama berselang pancingnya sudah berhasil menangkap ikan kedua. wah! sangat beruntung, bisa dikatakan ajaib!, pikir Buyung. Si Buyung terus memperhatikan. bapak tua itu mengumpulkan ranting-ranting kering di sekitar pohon. setelah dirasa cukup. Bapak tua itu membuat tungku sederhana dari batu-batu yang banyak bertebaran di pinggir sungai. Wah, sepertinya si bapak mau membakar ikan hasil tangkapannya tadi. Mendadak perut si buyung bernyanyi. Di sana, bapak tua itu mulai menyalakan api. Lalu turun ke sungai membersihkan ikan hasil tangkapannya. Lalu naik kembali ke darat. membuka tas lusuhnya. rupanya si bapak membawa bumbu-bumbu untuk ikan bakarnya di dalam tas itu. Setelah dibumbui ikan tersebut di tusuk dg bilah bambu. kemudian dipanggang di atas bara. Aroma ikan bakar segera tercium, membuat si buyung menelan ludah. Perut Buyung bernyanyi kembali.

Seperti mengetahui apa yang sedang dirasakan Si Buyung, bapak tua itu tersenyum kepada Buyung. Lalu melambaikan tangannya. tentu saja si buyung senang sekali. dengan bersemangat Si Buyung buru-buru bangkit dari duduknya. tapi, kegembiraannya telah menghilangkan kewaspadaannya. Buyung kurang memperhatikan pijakannya. Buyung terpeleset. kehilangan keseimbangan. dan,

"Byuuurrr!" Buyung jatuh ke dalam sungai.

Untunglah air tidak sedang deras. Untunglah kepalanya tidak membentur batu. Tapi Si Buyung tidak memikirkan itu. Buyung takjub. Bagaimana mungkin Bapak itu bisa mengatahui bahwa saya akan jatuh? Wah jangan-jangan beliau orang sakti. hm.. Siapa beliau sebenarnya? Buyung perlahan naik ke darat. Sebuah tangan terulur membantunya. ternyata bapak tua tadi. Buyung meraih tangan itu, satu tangan lagi berpegangan pada bibir sungai. Belum sempat mengucapkan terimakasih, bapak tua itu sudah mendahului bicara,

"Sudah kukatakan tadi, jangan terlalu di pinggir. nanti kau jatuh hehehe.. Kau malah bilang, sungai yang di pinggir kamu. Bukan kamu yang dipinggir sungai.."

"Hah! bagaimana bapak tahu? Saya kan cuma bicara dalam hati saja?"

"hehehe.. Di tempat sesepi ini semua suara terdengar nyaring nak. kecuali jika kau tidak bersungguh2 mendengarnya.."

"Eng..". buyung kehilangan kata-kata.

"Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan. Keringkanlah bajumu dulu. Jemur diatas batu sana. Mari kita makan siang dengan ikan bakar. Tadi aku membawa dua bungkus nasi dari rumah.." Bapak tua itu segera melangkah ke tempatnya semula.

Buyung mengikuti saran bapak tua itu. Menjemur baju di atas batu. Lalu mendekat ke arah perapian. rupanya disana telah terhidang nasi yang dibungkus daun pisang dengan lauk ikan bakar yang masih mengepulkan asap di atas piring plastik, dilengkapi sambal, irisan tomat dan mentimun segar. Betul-betul menggiurkan.

"mari kita makan. simpan dulu pertanyaan-pertanyaanmu itu hehehe.." bapak tua itu seperti mengetahui kebingungan buyung.

"ini untuk saya pak?" tanya buyung.

" Tentu saja.. Untuk siapa lagi? Hanya ada kita berdua disini. Ayo dimakan, selagi hangat.." Bapak tua itu mempersilahkan sekali lagi sambil tersenyum.

"Trimakasih pak.." tanpa menunggu disiruh untuk ketiga kalinya Si Buyung segera menyerbu hidangan itu.

Tak menunggu waktu lama, hidangan itupun ludes tak bersisa. Bapak tua itu memotong dua buah kelapa muda. Memberikan salah satunya kepada Si Buyung. Sekali lagi mulut Si Buyung terpaksa bungkam. Padahal tadi Si Buyung ingin mengajukan protes. Kalau bapak tua itu sudah mengetahui bahwa saya akan jatuh, kenapa dia tidak memperingatkan dengan lebih bersungguh-sungguh?

Seperti mengetahui suara hati Si Buyung, bapak tua itu hanya tersenyum sambil geleng-geleng.

“Kamu tentu merasa tidak senang dengan kenyataan bahwa kamu ternyata harus jatuh ke sungai itu. Lalu melimpahkan kesalahan padaku, kenapa aku tidak lebih bersungguh-sungguh memperingatkanmu sebelum itu terjadi. Padahal itu adalah keputusan Allah yang tidak dapat dirubah oleh siapapun. Kita hanya bias menerima dan mengambil hikmahnya..” jelas bapak tua itu.

Si Buyung jadi merasa bersalah sendiri. Merasa dipergoki. Bapak ini orang berbahaya, pikir Buyung.

“hehehe.. Sudahlah. Yang penting sekarang kamu sudah belajar dari apa yang kamu alami. Itu lebih penting bagimu daripada menilai-nilai orang lain..” kata bapak tua itu tetap sambil tersenyum.

“bagaimana maksud bapak?” Tanya buyung.

“kamu tentu berpikir bahwa jatuh ke sungai itu adalah suatu kesialan bagimu. Hati-hatilah dengan pikiranmu anak muda. Apapun keputusan Allah pastilah untuk kebaikan diri kita. Hanya saja kadang-kadang pikiran kita memang tidak sanggup membedahnya. Boleh jadi sesuatu yang menimpa terlihat negatif, tapi di balik itu tersembunyi rahasia Yang Maha Penyayang. Maka kita selalu dianjurkan untuk berpprasangka baik padaNYA. Jika ingin menjadi hamba yang selalu bersyukur, jarak pandangmu harus menembus sampai kesana..”

Buyung merenungi kata-kata bapak tua tak dikenal itu. Bapak tua bicara lagi,

“suatu ketika ada seorang buta yang berjalan menuju mesjid dengan meraba-raba dengan tongkatnya karena tidak ada yang menuntunnya. Ketika hampir sampai di mesjid, si orang buta itu tersandung. Ia jatuh tersungkur dengan kepala berdarah. Ketika ia masuk ke mesjid tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, kecuali Rasulullah. Rasulullah bertanya, “kenapa kepalamu berdarah?”. Orang buta itu menjawab, “tadi saya terjatuh ketika dalam perjalanan ke sini..”. Rasulullah memanggil orang buta itu mendekat, lalu mengusap-usap luka di kepalanya. Rasulullah lalu berkata, “insya Allah, setengah dosa-dosamu sudah diampuni Allah..”. alangkah senangnya hati si orang buta. Dia jadi lebih bersemangat datang ke mesjid. Suatu hari dia kembali mengalami kejadian serupa. Kakinya tersandung, ia tersungkur. Tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, tiba-tiba sebuah tangan menangkapnya. Si orang buta kaget, lalu bertanya, “ siapa kamu?”. Si pemilik tangan yang telah menyelamatkannya itu menjawab, “aku iblis..”. si orang buta bertambah kaget, “kenapa kamu menyelamatkanku?”. Iblis menjawab, “aku tidak ingin dosamu yg setengah lagi terhapus..”. Nah, kamu renungilah kisah itu. Kamu nilailah mana yang positif, mana yang negatif? Cerita itu cukup sederhana untuk dipahami..”

Buyung tertunduk. Bapak tua itu kembali bercerita,

“atau yang sedikit lebih rumit. Tahun lalu sungai ini pernah mengalami banjir banding. Sebuah desa di bawah sana tersapu. Tak sedikit kerugian yang dialami penduduk. Sebahagian orang mengeluh. Sebahagian malah berkata, “wajar saja sungai itu meluap. Yang tersapu hanyut itu kan wilayah maksiat..”. Lidah mereka ringan mengatakan itu karena bukan mereka yang ditimpa musibah itu. Sementara penduduk pantai dekat sungai itu bermuara malah bersyukur. Kenapa? Mereka merasa do’a-do’a mereka dijawab Tuhan. Sudah lama mereka kesulitan mencari minyak tanah untuk memasak. Memang di daerah itu sedang terjadi kelangkaan minyak tanah. Harga minyak tanah melonjak dua kali lipat dari biasa. Sementara mereka tidak mampu untuk membeli kompor gas. Mereka hanyalah nelayan miskin yang untuk kehidupan sehari-hari saja kadang perlu berhutang sampai suami pulang membawa ikan. Mereka tentu sangat bersyukur ketika banjir banding itu membawakan hadiah dari Tuhan berupa kayu-kayu yang sangat banyak. Kayu itu dapat mereka manfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak selama berbulan-bulan kemudian.. Nah, kamu lihatlah. Betapa misteriusnya kerja Tuhan. Sebuah kado dariNya kadang berisi hukuman, peringatan dan sekaligus hadiah. Setiap apa yang terjadi dapat kita jadikan alat untuk menghitung-hitung diri sendiri, bukan untung menilai-nilai orang lain. Apakah yang sedang diberikan Allah pada diri ini? hukumankah? Peringatankah? Hadiahkah? Jika itu hukuman, mari segera minta ampun, jika itu peringatan, berarti kita sering lupa, mari eratkan pegangan kembali padaNya. Jika itu hadiah, bersyukurlah, maka akan ditambah, tapi jangan pernah menjadikan hadiah dariNya sebagai tujuanmu. Tetaplah memandangNya, sebab Dia tak pernah berpaling darimu..”

Buyung semakin tertunduk.

“silahkan kau renungi, aku mau pulang dulu..” kata bapak tua itu.

“eh, tunggu dulu pak..” Buyung tersadar, dia belum sempat berkenalan.

Buyung bangkit dari duduknya. Berbalik mencari-cari bapak tua tadi. Tapi yang dicari sudah tak terlihat di sana. Buyung tercengang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun