Kalau kita bertanya tentang siapa tokoh ludruk di Surabaya, maka akan banyak nama bermunculan seperti Cak Kartolo, Cak kancil, Cak Munawar, Cak Momon, Cak Markeso, Cak Durasim dan masih banyak yang lain. Semua nama-nama itu termasuk legenda ludruk yang pernah mengi khasanah budaya bangsa ini. Nama cak Markeso bisa jadi paling akrab di telinga orang Surabaya. Nama yang merakyat dan punya cerita tersendiri.
Cak Markeso adalah salah satu maestro ludruk di Surabaya. Namanya terpatri dalam gedung balai budaya yang ada di kampung Kentandan, tepat di tengah kota Surabaya. Namun di balik itu, banyak kisah menyedihkan dalam perjalanan hidup sang maestro.
Cak Markeso terkenal dengan ludruk ontang-anting atau ludruk garingan atau ludruk monoplay, yaitu ludruk yang dimainkan sendirian. Kalau jaman sekarang seperti stand-up comedy. Meskipun dimainkan sendirian, permainan ludruk cak Markeso tetap memberikan hiburan yang asyik di jamannya.Â
Bahkan, di balik permainan ludruknya itu banyak pesan moral yang diberikan. Uniknya, meskipun banyak kritik sosial yang disampaikan, Cak Markeso tidak pernah menyinggung soal politik dan pemerintahan. Cak Markeso lebih banyak menyajikan kritik sosial yang menyangkut kehidupan rakyak kecil.Â
Ludruk ontang-anting (saya lebih suka menggunakan istilah ini karena ini yang sering disebut oleh cak Markeso) merupakan salah satu budaya viral di jamannya. Banyak kesempatan untuk bergabung dengan grup-grup ludruk, tetapi Cak Markeso lebih memilih bertahan dengan ludruk ontang-anting.Â
Pada era 70-80an, siapa yang tidak kenal dengan cak Markeso. Permainan ludruk ontang-anting cak Markeso mampu menghibur semua kalangan. Namun ternyata dengan nama yang terkenal itu, kehidupan cak Markeso tetap berada dalam kesulitan ekonomi yang bisa jadi sehari makan sehari tidak.
Cak Markeso dan istrinya tinggal di rumah kontrakan yang kecil. Mereka hanya mengandalkan hasil dari ludruk. Seiring waktu, ludruk ontang-anting semakin ditinggalkan terlebih dengan kemajuan teknologi pertelevisian. Cak Markeso tetap bertahan dengan ludruk ontang-antingnya.Â
Setiap hari cak Markeso harus berjalan dari kampung ke kampung untuk menawarkan jasa permainan ludruknya. Itu sebabnya dia lebih mudah dikenal oleh masyarakat Surabaya. Namun tanggapan semakin sepi. Tak jarang dalam satu hari tidak mendapatkan uang sepersenpun. Namun itu bukan berarti Cak Markeso merasa miskin. Dia tetap konsisten dengan pegangannya.Â
Kini, ludruk ontang-anting sudah lama tiada seiring perginya sang maestro. Tetapi gaungnya masih terasa, bahkan anak-anak di kampung-kampung yang ada di Surabaya, masih mengenal nama Markeso. Boleh jadi nama ini adalah nama umum untuk masyarakat Surabaya. Bahkan kalau ada teman yang lucu, maka sering kali dipanggil Markeso.
Cak Markeso bukan hanya artis jalanan, tetapi artis alam yang lahir dari rahim kehidupan masyarakat kecil di Surabaya. Beliau sudah menanam sebuah budaya yang mau tidak mau sudah menjadi bagian dari masyarakat Surabaya. Jadi kisah tragis kehidupan Cak Markeso bukan lagi kisah tragis karena memang dari kisah itu, Cak Markeso tumbuh menjadi seorang maestro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H