Ucapan ibunya menyadarkan Andi. Dia terdiam lama.
"Wani, sebaiknya kau tidak menentang orang tuamu. Aku tidak ingin kamu menjadi anak yang tidak berbakti yang akhirnya akan membuatmu sengsara."
Wani memandang Andi dengan tatapan kosong. Ayah dan ibu Andi tersenyum namun terasa ada nada perih.
"Wani, cinta tidak harus selalu memiliki. Demi kebahagiaanmu, biarlah cinta itu kita simpan di hati. Aku ingin melihat hidupmu bahagia."
"Andi...."
Tangis Wani pecah. Wani berdiri dan terhuyung dalam isak.
"Tidak apa Nak Wani. Mungkin lebih baik begitu. Biarpun engkau tidak menjadi mantu ibu, ibu sudah menganggapmu menjadi anak ibu sendiri. Mari ibu antarkan engkau pulang."
Ibu Andi menuntun Wani, dan benar-benar mengantarkan gadis itu pulang. Andi hanya bisa memandang kepergian gadis itu. Ada embun bening keluar dari kelopak matanya.Â
------
Sejak saat saat itu Andi tidak lagi mendengar berita Wani. Andi segera kembali ke Jakarta. Hatinya perih. Dia berusaha melupakan itu semua dengan berkerja lebih keras lagi. Sampai akhirnya tiga hari yang lalu dia mendapatkan surat undangan pernikahan Wani dengan tertulis satu pesan.
Andi, kamu harus datang dalam pernikahanku bila kamu ingin melihat aku bahagia.