"Tika, kamu ini masih waras toh nduk?"
Nenek memegangi tanganku. Nenek mencari-cari apa ada yang salah pada diriku. Nenek memandangku dengan perasaan cemas.
Aku malah menjadi bingung. Biasanya nenek akan marah-marah dan mengomel sepanjang hari bila ada yang tidak cocok dengannya. Lebih-lebih kalau soal pekerjaanku, nenek pasti merapal doa ocehan burung kenari yang tidak akan berhenti sepanjang hari. Kali ini, nenek malah tidak mengeluarkan wajah marahnya tetapi wajahnya memperlihatkan kecemasan.
"Nduk, apa tidak ada laki-laki yang bisa menggantikan tempatmu?"
Wah, mulai lagi ini. Bukan masalah laki-laki atau perempuan, ini masalah kesempatan. Kalau aku mundur tentu akan banyak orang lain yang akan mengisi.
"Tika, seharusnya seorang perempuan itu lebih anteng di rumah, tidak keluyuran ke tempat-tempat yang jauh seperti itu."
Kalau sudah begitu, aku tidak bisa membantah. Itu berarti nenek tidak mengijinkanku pergi. Entah apa yang harus aku lakukan.
------
"Tika! Tika! Tika!"
Tumben pagi-pagi nenek sudah berteriak-teriak memanggilku. Aku keluar dari kamarku. Kulihat nenek memegang surat kabar. Nenek melambaikan tangan sebagai isyarat bahwa dia ingin memperlihatkan sesuatu.
Benar juga! Nenek memperlihatkan sebuah foto. Foto seorang wanita separuh baya dengan judl berita: Seorang Fotografer Perempuan Mengungkap Budaya Kehidupan Wanita Dayak.