Mohon tunggu...
Ki Suki
Ki Suki Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Seorang yang suka menulis dan menggambar.

Hidup ini selalu indah saat kita bisa melihatnya dari sudut yang tepat, sayangnya seperti melihat sebuah kubus kita hanya mampu melihat paling banyak tiga sisi dari enam sisi yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Konspirasi Tingkat Tinggi

23 Januari 2015   18:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:31 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14219839301945537023

Lanjutan dari cerita sebelumnya Bertemu Teman Lama.

Pertemuan Ki Bahuwirya dan Ki Kendil diwarnai dengan pertarungan antara mereka berdua dan para pendeta membuat Ki Bahuwirya bertanya-tanya. Apa ada di balik ini semua. Terlebih lagi tadi saat bertarung, dia mendengar salah satu pendeta berkata akan melenyapkan empat tokoh selatan-timur-barat-utara termasuk Ki Bahuwirya yang merupakan tokoh silat paling disegani di daerah timur. Itu sebabnya Ki Bahuwirya bertanya pada Ki Kendil Sang Dewa Tertawa yang memang punya wawasan lebih luas tentang apa yang terjadi di dunia persilatan.

Ki Kendil mengajak Ki Bahuwirya ke tempat yang sepi di pinggiran sungai Bengawan Solo. Lalu mereka duduk di batu-batu yang ada di tempat itu.

"Ki Bahuwirya, apakah kau masih ingat dengan pertemuan kita terakhir di puncak Mahameru? Dengan Serigala Perogoh Nyawa yang ternyata adalah Pangeran Merak dan gurunya Pendeta Seribu Dewa?" Tanya Ki Kendil.

"Iya. Tadi aku juga melihat ilmu Cakar Terbang Perogoh Nyawa. Itu sebabnya aku segera turun tangan membantumu." Kata Ki Bahuwirya.

"Itulah. Untung tadi engkau datang Ki Bahuwirya. Kalau tidak bisa-bisa nyawaku sudah jadi roh gentayangan di sungai Bengawan Solo hahahahahahaaa..."

Lalu diam sejenak. Ki Bahuwirya menunggu.

"Aku sudah beberapa hari di sini. Tanpa sengaja aku lihat anak-anak murid Padepokan Muara Bengawan Solo mengeroyok orang-orang dari wilayah barat dan dengan kejam membantai mereka. Orang-orang yang dibantai itu ada yang aku kenal sebagai murid dari Ki Gumelar. Aku merasa ada yang aneh. Tidak ada permusuhan antara padepokan Muara Bengawan Solo dan Ki Gumelar. Itu sebabnya aku turun gelanggang."

Ki Kendil kembali diam sejenak. Dia menghela nafas.

"Saat aku melerai, anak-anak murid padepokan Muara Bengawan Solo menyerangku dengan beringas. Dari ilmu yang mereka pakai ternyata bukan ilmu gelombang air yang bisa dipakai oleh orang-orang Padepokan Muara Bengawan Solo. Ilmunya agak aneh. Untung akhirnya aku bisa mengalahkan mereka. Namun sejak hari itu, setiap hari aku dihadang oleh orang-orang aneh dan terakhir oleh para pendeta tadi itu."

"Lalu bagaimana dengan anak murid Ki Gumelar?" Tanya Ki Bahuwirya yang lebih tertarik pada keselamatan seseorang.

"Ada beberapa yang selamat. Kemudian mereka aku suruh kembali ke Ki Gumelar saja. Aku juga menitip pesan pada mereka bahwa orang-orang yang membantai mereka itu bukan anak-anak murid Padepokan Muara Bengawan Solo. Semoga mereka bisa sampai ke guru mereka dan menceritakan semuanya. Ohya, selama ini aku mendengar anak-anak murid Padepokan Muara Bengawan Solo sering bertindak kejam dan sewenang-wenang pada siapapun. Tetapi dari kejadian itu, aku yakin ada kelompok lain yang bermain." Kata Ki Kendil melanjutkan.

"Lalu apakah kau tahu siapa pendeta-pendeta itu?" Tanya Ki Bahuwirya penasaran.

"Sebelumnya aku berhadapan dengan para pengemis-pengemis yang ilmunya kejam. Penampilan mereka seperti para pengemis Bambu Kuning, tetapi aku yakin mereka bukan pengemis Bambu Kuning. Pengemis Bambu Kuning selalu bersenjata tongkat bambu, tetapi mereka ada yang membawa golok, pedang, parang dan pisau terbang. Untung aku bisa mengalahkan mereka. Sayang, aku tidak bisa mengorek informasi dari mereka karena keburu mereka bunuh diri dengan menelan semacam pil."

Ki Bahuwirya terkejut mendengar ada obat untuk bunuh diri.

"Lalu, kemarin aku bertemu dengan seseorang yang berpakaian petani. Dia mengatakan agar aku lebih hati-hati karena akan ada banyak yang akan membunuhku karena aku tahu terlalu banyak. Aku tidak tahu siapa orang itu. Hanya saja dia berpesan agar aku menghindar kalau bertemu dengan para pendeta berbaju jingga. Katanya, mereka itu para pendekar kiriman yang ilmunya sangat tinggi, bahkan ada yang lebih tinggi dari Pendeta Seribu Dewa."

"Apakah orang itu Ki Banyu Aji sendiri?" Tanya Ki Bahuwirya setengah bergumam.

"Bukan. Orang itu bukan Ki Banyu Aji. Aku kenal sekali dengan suara daan perawakannya, bahkan dalam sekali lihat aku tidak bisa ditipu." Jawab Ki Kendil.

Ya! Ki Bahuwirya sangat yakin dengan perkataan Ki Kendil. Dia tahu kemampuan Dewa Tertawa dalam menyamar, mungkin saat ini tidak ada yang bisa menyamainya. Tetapi, siapa orang yang memberi pesan pada Ki Kendil itu? Apakah Manusia Dewa?

"Bagaimana perawakan orang itu?" Tanya Ki Bahuwirya penasaran.

"Orangnya biasa. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Usianya sekitar 20 purnama di atas kita. Kulitnya agak hitam. Suaranya agak serak."

Ah! Itu bukan manusia dewa yang dijumpai oleh Ki Bahuwirya di puncak Mahameru. Tetapi siapa orang ini? Ki Bahuwirya mencoba mencari-cari siapa tokoh yang bersuara serak dan berkulit agak hitam. Ki Karpa? Apa mungkin Ki Karpa? Bukankah Ki Karpa sudah meninggal beberapa saat sebelum pertemuan di puncak Mahameru? Banyak pertanyaan menggelayut di pikiran Ki Bahuwirya.

Untuk tahu jawabannya, mari kita ikuti di cerita selanjutnya.

------
Ditulis oleh Ki Suki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun